Ritual Pamungkas
“Wethon-mu apa, nduk?” tanya orang tua ceking hitam di depan Lastri.
Wanita itu tidak langsung menjawab. Ia pandangi sosok mbah Suryo yang masih duduk merapal mantra-mantra sambil terpejam. “Ehm… selasa wage, mbah.” jawabnya kemudian.
Lelaki tua itu mengangguk-angguk sembari membalik-balik buku tebal yang ada di hadapannya. Rambut, kumis dan jenggotnya sudah memutih sebagian. Tapi fisiknya masih kelihatan sangat bugar. ”Nama lengkap?” tanyanya lagi.
“Lastri, mbah… Sulastri,” Lastri bisa melihat jari-jemari orang itu yang panjang dan hitam-hitam saat membalik buku, terlihat sangat angker dan menjijikkan.
”Terus nama ibumu?“ tanya mbah Suryo lagi. Para dukun memang selalunya menanyakan nama ibu kandung pasiennya.
”Triyatmini, mbah.” Gadis berwajah tirus itu menjawab tanpa berani menatap wajah mbah Suryo. Tapi Lastri bisa memastikan kalau laki-laki itu begitu tinggi, hampir 180 cm. Ia paling hanya sepundaknya kalau berdiri berjajar.
“Bapakmu Lasijo, gitu?” tebak mbah Suryo.
Tapi ternyata salah. “Bukan, mbah. Bapak saya Tugiran.” jawab Lastri. Perempuan berjilbab itu masih menundukkan mukanya.
“Ehm, baik,” mbah Suryo berdehem, berusaha mengembalikan wibawanya. ”Kamu tunggu dulu, mbah mau nyiap-nyiapkan dulu. Nak Lastri masuk kamar situ.” laki-laki tua itu beranjak dari bale-bale dan meninggalkan Lastri seorang diri.
Lastri masuk ke kamar yang ditunjuk oleh mbah Suryo. Sebuah ruangan tak berjendela yang hanya diterangi lampu bohlam kecil. Aroma kembang kanthil menyeruak menusuk hidung. Lastri mengambil posisi duduk bersila di muka meja kecil. Ada pernak-pernik perdukunan di situ.
Tak lama kemudian, mbah Suryo masuk, sekarang bajunya hitam-hitam dan mengenakan ikat kepala merah, persis seperti pendekar yang ada di film-film silat jadul. Mbah Suryo duduk dihadapan Lastri lalu menyalakan kemenyan. Seketika itu pula aromanya menyeruak ke seisi ruangan. Asap putih membumbung ke langit-langit kamar.
Mbah Suryo mulai berkomat-kamit sambil sesekali menaburkan butiran menyan. Lastri tetap menunduk, matanya mulai pedih.
“Lihat sini, nduk. Mbah tahu kamu ke sini karena laki-laki bukan?”
Lastri coba memberanikan diri melihat lawan bicaranya itu, tapi tetap tak mau menatap mata mbah Suryo. “Betul sekali, mbah. Kekasih saya direbut gadis lain. Ehm… saya ingin dia kembali, mbah.” jawab Lastri pelan. Diamatinya wajah mbah Suryo yang masih terpejam berkomat-kamit. Meski brewok dan bercambang tebal, namun laki-laki itu masih meninggalkan gurat-gurat sisa ketampanan masa mudanya.
Di daerah ini, mbah Suryo dikenal sebagai orang pintar yang sanggup menyelesaikan berbagai masalah. Banyak orang dari jauh mencari dia. Entah untuk penglaris dagangan, interview pekerjaan, orang-orang yang sedang terbelit kasus hukum, atau pun wanita-wanita putus cinta seperti Lastri ini.
“Ehm…” mbah Suryo membuka matanya. “Siapa nama laki-laki itu, nduk?” dia bertanya sambil menatap Lastri dengan tajam.
“Wisrawan, mbah… Wisrawan Adi Satrio.” jawab Lastri kembali menunduk. Ia jadi salah tingkah sendiri diperhatikan seperti itu.
Mbah Suryo mengelus jenggot putihnya sambil menerawang, seolah-olah berpikir. “Hmm... sepertinya gadis itu sudah mengguna-gunai kamu, nduk. Itulah kenapa Wisrawan sampai tega meninggalkan kamu.” jawabnya kemudian.
“Ah, benarkah, mbah?” tanya Lastri kaget. Ia tidak pernah membayangkan kalau sampai ada guna-guna yang masuk ke dalam dirinya. ”Apa berbahaya, mbah?” tanyanya ketakutan.
“Memang berbahaya kalau tidak cepat disingkirkan. Apabila tubuhmu tidak kuat, bisa-bisa kamu jadi gila, hilang akal, stress, dan ujung-ujungnya depresi. Bahkan kalau sudah fatal, bisa bunuh diri, nduk!” kata mbah Suryo memperingatkan.
”Saya tidak mau, mbah.” Lastri sudah ingin menangis begitu mendengarnya.
”Semua orang juga tidak mau terkena guna-guna.” jawab mbah Suryo.
”Apa tidak bisa dihilangkan, mbah?” tanya Lastri penuh harap.
Mbah Suryo mengangguk. ”Ada, kamu tenang saja.”
”Kalau begitu, cepat lakukan, mbah!” pinta Lastri cepat.
”Tapi ada syaratnya, nduk...” lanjut mbah Suryo.
Lastri mengangkat mukanya dan memandang laki-laki tua itu. ”Syaratnya sulit apa nggak, mbah?” tanyanya lemas.
”Tergantung guna-gunanya. Kalau untuk kasusmu, cuma ritual pembersihan sama pemasangan susuk. Nanti akan kuberikan juga perlindungan buat pacarmu agar tidak diganggu lagi sama gadis-gadis lain.” mbah Suryo menjawab kalem.
”Begitu ya, mbah.” Lastri menimbang-nimbang, tampak berpikir sejenak.
”Bagaimana, nduk, kamu mau?” tanya mbah Suryo, tidak memberi Lastri kesempatan untuk berpikir.
Memutuskan dengan ragu-ragu, takut akan kehilangan mas Wisrawan-nya tersayang, perempuan berjilbab itu pun mengangguk. ”Baik, mbak. Saya bersedia.”
Mbah Suryo manggut-manggut mengiyakan. ”Bagus! Sekarang dengarkan omonganku; kamu harus menuruti semua perintahku agar ritual ini berhasil. jangan membantah sedikitpun. Mengerti?!!”
”I-iya, mbah.” sudah kepalang tanggung, Lastri tidak bisa mundur sekarang.
“Baiklah. Sekarang, buka bajumu.” perintah mbah Suryo dingin.
Lastri terkejut dengan permintaan laki-laki tua itu. Reflek tangannya bergerak untuk menutupi tonjolan buah dadanya yang membusung indah. “T-tapi, mbah…” rengeknya.
Mbah Suryo diam menunggu, matanya terpejam.
Lastri bingung dan tampak ragu-ragu. Badannya mulai panas dingin keringetan.
“Nggak usah semua, atasannya saja.” pinta mbah Suryo kemudian.
Lastri tertunduk. Dia tak punya pilihan lain, tidak mungkin untuk menolak lagi. Ketakutan kehilangan orang yang dicintai mengalahkan akal sehatnya. Jadi pelan, satu per satu kancing baju mulai ia buka. Lalu diletakkannya baju itu dipangkuannya. Tubuh Lastri yang putih mulus bak pualam, kini hanya dibalut rok panjang dan jilbab lebar saja. Sepasang payudaranya yang begitu kenyal dan padat tampak tegak ditopang oleh beha krem bermotif bunga. Ia segera menundukkan mukanya, tak kuasa untuk menatap mata mbah Suryo lebih lama lagi.
Anehnya, dukun tua itu seperti tidak terpengaruh oleh pemandangan indah yang tersaji di hadapannya. Ia tetap memejamkan mata sambil mulutnya terus komat-kamit merapalkan mantra. “Nduk, apapun yang kamu rasakan nanti, jangan dilawan, karena itu bisa menggagalkan ritual kita!” kata mbah Suryo kalem.
Belum sempat Lastri menjawab, telapak tangan laki-laki itu sudah bergerak menelusuri tubuhnya, seperti sedang meraba. Lastri terkejut karena merasakan sentuhan-sentuhan di buah dadanya, padahal mereka sama sekali tidak bersentuhan. Mbah Suryo memegangnya dari jauh!
”Hei, apa-apaan ini?!” tanyanya dalam hati.
Wanita itu mulai berkeringat. Butiran peluh perlahan mengalir di lehernya yang jenjang dan putih mulus. Usapan di buah dadanya kini berubah menjadi pijitan dan remasan keras yang perlahan namun pasti mulai membangkitkan gairahnya. Beha tipis yang ia kenakan sama sekali tidak bisa melindunginya. ”Mbah?!” Lastri berkata diantara desah nafasnya.
”Sst... diam!” hardik mbah Suryo. Tidak jauh beda dengan Lastri, keadaannya juga sudah tak karuan. Wajahnya yang tirus bermandikan keringat, nafasnya sudah mulai terengah-engah seperti orang kesurupan, sementara tonjolan misterius tampak membumbung di depan selangkangannya. ”Biar kuselesaikan ritual ini, nduk!” ujarnya parau.
Nyala bohlam yang ada di atas langit-langit berkedap-kedip, lalu tiba-tiba padam. Semuanya menjadi gelap. ”Mbah?!” panggil Lastri lagi saat merasakan sentuhan misterius menjalar di kakinya. Sentuhan nikmat mulai dirasakan wanita cantik itu di bagian paha dan bokongnya, berusaha untuk menyingkap rok panjangnya agar ikut terbuka. ”Hsshh... mbah!” ia mendesah lagi. Tanpa Lastri sadari, tubuhnya mulai gemetar dan menggeliat.
Mengetahui libido Lastri yang mulai meningkat, mbah Suryo makin memberanikan diri mengusap-usap pangkal paha wanita cantik itu sambil sesekali tangannya menyetuh bibir vagina Lastri yang masih terbungkus celana dalam. ”Guna-guna ini cukup kuat, nduk, dan sudah merasuk jauh ke dalam darahmu.” ia berkata sambil menggelitik lubang vagina Lastri menggunakan jempolnya.
Menggelinjang kegelian, Lastri melenguh dan semakin melebarkan kakinya, memberikan ruang lebih luas bagi mbah Suryo untuk menyentuhnya. Rok panjangnya sudah tergulung sampai ke perut, memperlihatkan paha mulus dan bukit vaginanya yang basah dan membusung. “A-apa yang harus saya lakukan, mbah?” tanyanya sambil menggeliat.
”Lepas celana dalammu, nduk! Aku harus mengambil guna-guna itu langsung dari sumbernya.” tegas laki-laki tua itu.
”Lakukan, mbah. Bantu aku untuk melepasnya.” Lastri agak sedikit mengangkat pinggulnya saat tangan yang tak kasat mata mulai menariknya turun hingga ke dengkul. Rasa takut karena guna-guna ditambah desir kenikmatan yang terlanjur ia rasakan akibat sentuhan jari-jemari mbah Suryo, membuat Lastri sama sekali tak melawan. Ia sepenuhnya berada di bawah kendali dukun tua itu.
Mbah Suryo terbelalak tak percaya saat berhasil menarik celana dalam Lastri hingga terlepas. Meski masih ada meja kecil yang memisahkan tubuh mereka, ia bisa menyaksikan betapa mulus tubuh Lastri yang duduk pasrah di hadapannya. Wanita itu tengah terdiam menundukkan kepala, menunggu untuk disentuh, dengan susu dan selangkangan yang sudah terbuka lebar, siap untuk dinikmati.
Jadi, dengan sikap serius seolah melakukan ritual sesungguhnya, mbah Suryo kembali berkomat-kamit. Dengan ketinggian ilmunya, ia kembali menyentuh tubuh Lastri dari jauh. Pelan tangannya mulai menelusuri bongkahan payudara Lastri yang bulat dan membusung, diremas-remasnya sebentar untuk merasakan teksturnya yang empuk dan kenyal, sebelum akhirnya hinggap di putingnya yang sudah mengeras, dan memilinnya dengan keras hingga membuat Lastri merintih dan mendesis tak karuan. ”Mbah, oughhh... ehhs...!!”
Puas disitu, mbah Suryo memindahkan tangannya ke perut Lastri yang langsing dan rata. Dia mengusap-usapnya sebentar, tetapi kemudian kembali lagi ke atas, ke arah payudara Lastri yang baru saja ditinggalkannya. Tampaknya, ia ketagihan oleh rasa buah dada wanita cantik itu. Mbah Suryo kembali meremas-remasnya, bergantian kiri dan kanan sambil tak lupa menjepit dan memilin-milin putingnya.
”Ehsss... mbah!” Lastri terpejam dan menggelinjang merasakan sentuhan langsung telapak tangan kasar mbah Suryo di kulit mulusnya. Tidak cuma meremas payudara, tangan laki-laki itu juga mulai menelusur ke bawah untuk mengelus dan mengusap-usap belahan selangkangannya.
”Hss... hahh... hahh... mbah!!” Nafas Lastri menjadi semakin berat manakala sentuhan gaib tangan mbah Suryo mulai menjelajahi bibir vaginanya. Ia sebenarnya ingin melawan dan menolak, tetapi rasa takut akan guna-guna dan kenikmatan yang sedang melanda tubuh sintalnya, mengalahkan perasaan risihnya. Apalagi saat mbah Suryo mulai membelai lebih intens permukaan vaginanya, ia semakin terbenam dan tak kuasa lagi untuk memberontak. Bahkan yang ada, cairan vaginanya mulai merembes keluar dan meleleh semakin banyak, membuat permukaan kemaluannya menjadi semakin licin dan basah.
“Ahhhsss...” Lastri mendesis dan menjerit kecil, tak kuasa menahan gejolak birahinya yang semakin tak terbendung. Kenikmatan sentuhan mbah Suryo pada tubuhnya membuatnya melayang. Di bawah, ia merasakan sesuatu menguak bibir vaginanya dan mengocok cepat disana, sementara di atas, hal yang sama terjadi pada puting susunya; benda mungil kemerahan itu terasa dipilin dan dipijit-pijit keras, sambil buah dadanya diremas-remas, padahal sama sekali tidak ada tangan yang hinggap disana!
Lastri tidak bisa menjelaskan keanehan itu, karena di saat yang sama ia merasakan libidonya semakin memuncak. Itu disebabkan oleh sesuatu yang basah dan hangat, yang mulai menyapu-nyapu bibir vaginanya. Benda lunak bertekstur kasar itu berusaha menerobos masuk untuk menjelajahi lubang kemaluannya.
“Ouhh... ahhss... mbah, apa yang mbah lakukan?” Lastri terperanjat saat menyadari lidah mbah Suryo yang menjulur-julur panjang. Pria itu melakukannya dari sana, tapi kenapa rasa gelinya bisa sampai kesini?! Aneh, Lastri benar-benar tak habis pikir dibuatnya. Dan ia makin terpojok dan terjepit saat mbah Suryo menemukan klitorisnya dan tanpa membuang waktu, langsung menghisapnya dengan rakus. ”AAHHHHH... mbah!!!” Lastri menggelinjang dan menjerit keras. Tubuhnya kelojotan kesana kemari merasakan lidah hangat mbah Suryo yang menyapu cepat di belahan vaginanya.
“Tahan, nduk! Ini agar guna-gunamu keluar semua.” kata mbah Suryo menenangkan. Kepalanya terus berputar-putar dengan lidah terjulur untuk meneruskan jilatannya pada vagina sempit milik Lastri.
”I-iya, mbah!” mengangguk mengerti, Lastri pun memejamkan matanya dan melebarkan kedua kakinya, membiarkan mbah Suryo meneruskan ritual yang sangat memberi kenikmatan pada dirinya itu. Toh ia melakukannya dari jauh, tidak menyentuhku sama sekali! pikir Lastri dalam hati. Tanpa ia sadari, tangannya berusaha menekan kepala tak kasat yang berada di selangakangannya agar menjilat lebih dalam dan keras.
Melihat itu, mbah Suryo berkata. ”Sabar, nduk. Harus dilakukan dengan pelan-pelan!” Selesai berkata, kembali ia menggerakkan tangannya untuk meraih dan meremas-remas payudara Lastri yang menggantung indah. Sambil terus menjilat, mbah Suryo mempermainkan benda bulat padat itu dengan kedua tangannya.
”Aughhhh... mbah! Aku... arghhhh!!” Lastri makin menjerit dan menggelinjang. Diserang atas bawah seperti itu membuatnya makin merintih dan memekik nyaring. Tubuh montoknya kelojotan, sementara keringat makin membasahi tubuh mulusnya.
”Lepaskan, nduk! Jangan ditahan. Kita sudah hampir berhasil!” kata mbah Suryo begitu mengetahui keadaan pasiennya. Ia terus menggarap tubuh Lastri dari jauh dengan ketinggian ilmunya.
”Ehmm... iya, mbah!” Lastri melenguh. Ia mulai merasakan sensasi aneh di sekitar lubang vaginanya, seperti ada hawa panas yang menjalar dari dalam perutnya dan berkumpul disana. Hawa panas itu terus mendesak, dan semakin lama menjadi semakin tak tertahankan lagi.
”Lepas, nduk! Jangan ditahan lagi!!” perintah mbah Suryo dengan jilatan semakin keras. Dia juga mencengkeram bulatan payudara Lastri semakin kencang.
Tidak tahan lagi, Lastri pun akhirnya menjerit keras. ”AARRGGHHHHHHHHHH.... MBAAAHHH!!!” pinggulnya berputar, sementara tubuhnya kelojotan kesana-kemari saat kumpulan hawa panas itu meledak, mengantarnya menuju orgasme yang begitu nikmat dan melelahkan.
Mbah Suryo segera meraih mangkok yang ada di bawah meja dan digunakannya untuk menampung cairan Lastri yang menyembur keluar. ”Keluarkan semua, nduk! Keluarkan!!” perintahnya sambil berusaha menampung sebanyak mungkin.
Saat Lastri berhenti terkejang-kejang dan sekarang diam terengah-engah, mbah Suryo menunjukkan mangkok di tangannya yang kini terisi setengah penuh. ”Lihat warnanya, begitu hitam.” kata dukun tua itu.
Lastri terkejut melihatnya; memang hitam, dan sepertinya sangat kental sekali! ”I-itu guna-gunanya, mbah?” tanyanya takut sekaligus lega. Lega karena ia sudah berhasil mengeluarkan guna-guna itu dari dalam tubuhnya.
”Iya, sekarang kamu sudah bersih.” mbah Suryo mengangguk.
”Eh, t-terima kasih, mbah.” Lastri berusaha tersenyum meski tubuhnya masih sangat kaku dan lemah. Ia berusaha membenarkan pakaiannya yang masih terbuka dan acak-acakan, yang memperlihatkan semua auratnya.
“Bagaimana rasanya, nduk?” tanya mbah Suryo kemudian.
“Hmm... nikmat, mbah.” jawab Lastri tanpa sadar.
”Bukan itu!” mbah Suryo mendelik. ”Maksudku, bagaimana rasanya setelah guna-gunamu kutarik keluar?!”
“Oh, itu... ehm, agak ringan, mbah. Tubuh saya jadi enteng sekarang.” Lastri tersenyum malu. Ia menarik rok panjangnya ke bawah agar mbah Suryo tidak lagi memandangi paha dan pinggulnya yang masih telanjang.
Mbah Suryo menarik nafas panjang. “Kalau begitu, sekarang pakai bajumu, nduk!” laki-laki itu menyalakan lilin yang ada di atas meja dan berpaling, memberi kesempatan pada Lastri untuk memakai pakaiannya kembali.
”Emm, iya. Terima kasih, mbah.” Lastri menatap tajam gigi-gigi hitam mbah Suryo saat laki-laki tua itu berbicara. Dengan cepat ia memakai kemeja lengan panjangnya agar tubuhnya yang sintal kembali tertutup.
Suasana begitu hening, hanya sesekali terdengar lolongan anjing dari kejauhan. Rumah mbah Suryo berada paling atas di antara rumah-rumah warga di dusun terpencil ini. Jaraknya pun berjauhan, dipisahkan kebon-kebon Jati yang daunnya mulai meranggas karena kemarau. Bau kotoran manusia kadang tercium terbawa angin kering. Di dusun tertinggal ini, hampir tak ada warga yang mempunyai jamban.
“Sudah, mbah?” Lastri memberanikan diri untuk berkata. Ia sudah sopan lagi sekarang; memakai baju panjang dan jilbab lebar yang mempercantik penampilannya.
Mbah Suryo manggut-manggut lalu menjawab. “Sekarang masuk ke ritual yang kedua, nduk. Kamu mesti dipasangi susuk agar pacarmu berpaling lagi padamu. Ini juga ada tiga kerikil yang mesti kamu simpen di kantong sebagai penangkal guna-guna.”
Lastri mengangguk. “Iya, mbah.”
”Sekarang kamu ke sumur belakang, mandi lah, ada sedikit air di sana. Trus ganti pakaianmu dengan kain ini,” mbah Suryo menyerahkan lipatan kain batik warna coklat tua kepada Lastri. ”Setelah itu kita mulai ritual pemasangan susuknya.”
***
Lima belas menit kemudian, Lastri masuk kembali kamar. Tubuhnya hanya dililit kain batik tadi, membuat puting susunya yang menonjol membekas dengan jelas. Rambutnya tergerai basah. Tangannya membawa baju, jilbab dan rok panjang yang sebelumnya ia pakai. Rupanya selagi dia mandi, mbah Suryo sudah menyiapkan segalanya. Ada hamparan tikar dan sebuah bantal di lantai. Lastri bergidik melihat semua itu. Tubuhnya mematung. Mbah Suryo sendiri duduk bersila membelakanginya. Tangannya memegang sebuah botol sambil merapal mantra.
Mengetahui kehadiran Lastri, laki-laki itu kemudian berkata “Rebahkan badanmu di tikar itu, nduk.”
Lastri melakukannya. Pelan dia telentang di lantai yang beralaskan tikar sesuai petunjuk dari mbah Suryo.
“Jangan malu, aku akan membalurmu dengan minyak bulus ini.” kata mbah Suryo sambil beringsut mendekati tubuh montok Lastri yang hanya berbalut kain. Dengan mulut komat-kamit membaca mantra, ia mulai menyapukan minyak itu; jari-jari kasarnya mengurut perlahan betis Lastri, lalu merambat naik ke arah paha. Kali ini ia tidak menutup matanya. Tak berkedip, mbah Suryo menatap tubuh mulus Lastri yang tergolek pasrah di hadapannya.
Lastri merinding, bulu romanya berdiri, badannya mulai gemetar, tapi mulutnya serasa terkunci saat laki-laki tua itu menambah minyak dan mengurut lembut kulit pahanya, bergantian kiri dan kanan. Kain batik yang yang cuma sebatas pinggul membuat mbah Suryo sangat leluasa untuk melakukan itu.
”Ehmm... mbah?!” desah Lastri saat mbah Suryo menarik salah satu kakinya untuk ditaruh di atas pangkuan.
”Sstt... diam, nduk!” bisik dukun tua itu sambil tangannya kembali memijat paha Lastri, pijatan yang semakin lama menjadi kian lemah, hingga akhirnya berubah menjadi elusan dan usapan lembut yang sangat membangkitkan gairah. Dan Lastri tidak sanggup untuk melawannya.
”Ahh... mbah!” desah perempuan cantik itu. Dengan kakinya, Lastri bisa merasakan sesuatu yang keras mulai menggeliat di selangkangan laki-laki tua itu; penis mbah Suryo yang sudah mulai ngaceng dan tegang!
Mengetahui Lastri yang sudah pasrah sepenuhnya, tangan dukun mesum itu semakin berani naik menjelajahi pangkal paha Lastri, sesekali menyentuh celana dalam perempuan alim itu.
“Ehss..!!” Lastri mendesah merasakannya, tapi tidak menolak. Bahkan saat mbah Suryo mulai menyingkap bagian bawah kain batiknya dengan sangat pelan, ia juga diam saja. Suasana begitu hening, hanya nafas mbah Suryo yang sudah mulai berat yang terdengar cukup nyaring.
Tak berkedip laki-laki tua itu menatap paha dan perut Lastri yang kini terbuka cukup lebar di hadapannya. ”Indah sekali, nduk!” gumam mbah Suryo tanpa sadar saat menatap gundukan daging nikmat milik Lastri yang masih terbungkus celana dalam katun tipis. Tampak noda hitam mulai membayang di depan selangkangan wanita cantik itu, menunjukkan kalau Lastri juga sudah mulai terangsang.
Tidak menyahut, Lastri kembali mendesah saat mbah Suryo kembali mengusap-usap paha putih mulus miliknya. ”Aaghhh...!!” dirasakannya usapan halus di pangkal pahanya, dan terus berlanjut ke lubang vaginanya yang masih terbungkus celana dalam. ”Auhhh... mbah, geli!!” nikmat sentuhan jemari mbah Suryo membuat Lastri merintih dan menggeliat sambil melebarkan kedua kakinya.
Merasa berhasil menaklukkannya, mbah Suryo menggeser tubuhnya ke samping agar wajahnya bisa menemukan selangkangan Lastri. Dengan sangat perlahan ia menarik celana dalam Lastri ke samping hingga ia bisa melihat vagina perempuan itu dengan lebih jelas. Lubang mungilnya sudah tampak basah dan lengket. Belahannya masih tampak mungil, tapi begitu merah dan mengkilat. Rambut-rambut halus tumbuh sembarangan di sekitarnya, tapi bukannya bikin kotor, malah makin menambah daya tariknya. Inilah vagina terindah yang pernah dilihat oleh mbah Suryo; begitu utuh dan sempurna! Tetap dengan posisi duduk di lantai, laki-laki tua itu lalu merunduk dan menempatkan wajahnya tepat di tengah kedua kaki Lastri yang melebar.
”Aughhh!!” rintih Lastri ketika merasakan sapuan lidah hangat mbah Suryo di bibir vaginanya, membuat ia menggelinjang kegelian. Wanita itu kembali mendesis sambil menyebut nama sang dukun, ”Mbah! Oughhh...” pinggulnya bergerak-gerak mengimbangi irama jilatan.
Yakin kalau Lastri sudah benar-benar terbuai, mbah Suryo memberanikan diri menurunkan celana dalam yang dipakai oleh Lastri. Kini akses lidahnya menjadi semakin bebas, dengan rakus ia jilati vagina Lastri yang semakin mekar dan membasah.
Lastri yang merasakan lidah panjang mbah Suryo menyusup-nyusup di bibir vaginanya, menekuk tubuhnya dan memekik lirih untuk menahan sensasi nikmatnya. “Auhmm… mbah! Aku nggak tahan!” ia sudah hilang kendali, tubuhnya sudah sepenuhnya dilanda birahi sekarang.
Di bawah, penis mbah Suryo terasa semakin tegang, tapi ia masih tidak punya niat untuk menyetubuhi Lastri sekarang, masih belum waktunya. Ia masih ingin terus menjilati vagina Lastri untuk beberapa lama, sampai akhirnya laki-laki tua itu berkata, “Sudah, sekarang buka kainmu, nduk. Mbah akan memasang susuk emas pada badanmu.” Mbah Suryo lalu berdiri dan berjalan ke lemari kecil di ujung ruangan untuk mengambil sesuatu. “Kalau sudah tengkurap ya!” perintahnya tanpa menoleh.
Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, Lastri melakukannya. Perlahan ia mulai melepas kain yang membalut tubuh sintalnya, juga BH dan celdamnya, diletakkannya semuanya di bawah meja, lalu tidur tengkurap, persis seperti yang diperintahkan oleh mbah Suryo.
Mbah Suryo berlutut di sampingnya. Tangannya menggapai bokong Lastri yang bulat dan menyapukan minyak bulus yang ia pegang ke atasnya, lalu meratakannya dengan meremas-remas bokong Lastri lembut. Laki-laki itu juga menuangkan minyaknya ke punggung Lastri, dan mengurutnya perlahan seirama dengan pijatannya; mulai dari tengkuk, pundak, sampai pinggang Lastri yang ramping, lalu turun ke betis perempuan cantik itu.
“Enghh... mbah! Hegghh...” Darah Lastri menggelegak, jantungnya bergerak cepat, sementara tubuhnya meliuk-liuk penuh kenikmatan. Tangannya meremas-remas bantal, tubuh polosnya berkilat-kilat karena cahaya dia lilin. Perlakuan mbah Suryo benar-benar membuatnya melayang.
“Gimana rasanya, nduk?” tanya mbah Suryo sambil tersenyum dan melucuti pakaiannya sendiri. Ia keluarkan penisnya yang sudah menegang dahsyat dari kungkungan celana dalam. Telanjang ia berdiri di sebelah Lastri dan berbicara, “Sudah, sekarang tinggal masukin emasnya. Habis ini rampung. Balikkan badanmu, nduk.” perintahnya kemudian.
“Mbah, isin aku, mbah. Malu!” meski sudah terbuai oleh nafsu, tapi Lastri enggan menuruti begitu saja perintah sang dukun. Ia masih ingin mempertahankan statusnya sebagai wanita terhormat untuk yang terakhir kali.
“Lha, gimana tho? Ini syaratnya, nduk. Tanggung!” suara mbah Suryo meninggi. Penisnya yang tegang tampak mengacung tegak hingga ke pusar; besar dan panjang sekali, berwarna coklat kehitaman. Jembutnya yang tumbuh semrawut di bagian pangkal, makin menambah kesan sangarnya. “Cepat balik, kita tidak punya banyak waktu!!” melihat tubuh Lastri yang molek dan montok membuat laki-laki tua itu menjadi tidak tahan lagi.
“Matikan lilinnya dulu, mbah. Aku malu.” kata Lastri lirih.
“Ya wes,” jawab mbah Suryo. Lalu ia melangkah menuju lilin yang ada di meja dan meniup apinya hingga padam. Gelap segera menyelimuti bilik kecil itu. “Sudah, nduk?” ujar mbah suryo sambil mengusap-usap mesra bokong bulat Lastri.
“Iya, mbah.” perlahan Lastri membalikkan tubuh sintalnya, telentang. Bisa dirasakannya mbah Suryo mengambil posisi setengah berlutut di ujung kakinya.
“Dengar baik-baik, inti dari ritual pamungkas ini adalah sikap pasrah!!” nada suara mbah Suryo berubah berat dan berwibawa. Ia memegangi penisnya dan perlahan mulai mengarahkannya ke bibir vagina Lastri yang licin dan basah.
“Ehmm… mbah!” Lastri melenguh saat mbah Suryo menyundul-nyundul dan menggesekkan ujung tumpulnya disana. Ia segera mengangkat pinggulnya agar penis itu bisa lebih cepat masuk ke dalam lubang kemaluannya.
“Biarkan para dewa bekerja melalui emas yang aku masukan melalui jalan lahir milikmu ini, nduk. Paham?!” kata laki-laki tua itu sambil menindih tubuh molek Lastri dan mulai menghisap puting susu wanita cantik itu dengan penuh gairah.
“Pa-paham, mbah.” jawab Lastri pelan. Ia sudah merasakan birahi puncak yang amat sangat dan begitu ingin dipenuhi. Pinggulnya semakin naik mengejar penis besar milik mbah Suryo. Ia juga merangkulkan kakinya ke pinggang laki-laki tua itu dan menarik ke arah dirinya agar mbah Suryo segera menjejalkan batang penisnya.
Tapi itu tidak berhasil, karena mbah Suryo memang sengaja menahannya. Alih-alih mendorong, ia malah kembali meracau dengan mantra-mantra bahasa jawa kunonya. “Mbah akan menyalurkan energi padamu, nduk. Supaya dirimu kuat dengan ‘pegangan’mu ini.” kata laki-laki tua itu.
Lastri mengangguk. ”Cepat lakukan, mbah. Aku sudah tidak tahan lagi!!”
“Buka kakimu agak lebar, nduk. Tekuk ke atas!” mbah Suryo merangkul tubuh molek Lastri dan mulai mendorong ujung penisnya masuk ke vagina mungil gadis itu.
Lastri yang sudah ingin sekali merasakan penis itu memenuhi vaginanya, segera menuruti perintah itu. Dia membuka dan menekuk kakinya agar mbah Suryo lebih mudah untuk melakukan penetrasi.
Mbah Suryo menunduk, coba merapatkan tubuhnya ke tubuh Lastri.
Bibir Lastri yang ranum dilumatnya, sementara tangannya meremasi susu perempuan berjilbab itu. “Ouh…” jerit Lastri menyambut ujung penis mbah Suryo yang mulai mendesak di bibir vaginanya. Dengan jelas Lastri bisa merasakan betapa kaku dan besarnya benda itu. Nafas mbah Suryo yang bau rokok juga menusuk hidungnya saat dukun tua itu menyusupkan lidahnya untuk mengajak Lastri bertarung lidah dan bertukar air liur.
“Tahan ya, nduk. Aku masukkan sekarang,” kata mbah Suryo sambil mendorong ujung penisnya lebih dalam ke belahan memek Lastri yang sempit.
Lastri kembali merintih dan mendesah lirih. “Ennghhhss... mbah!!” ia merasakan ujung penis mbah Suryo mendesak ketat di lubang vaginanya.
“Ayo sekarang kamu goyang pinggulmu, biar penisku semakin masuk ke dalam kemaluanmu,” kata mbah Suryo memberi perintah.
“Ampun, mbah! Oouh... ahhh...” di atas, bibir Lastri memekik minta ampun, tapi di bawah, bibir vaginanya justru memberi akses penuh pada penis mbah Suryo agar bergerak lebih jauh. Lastri mengangkat pinggulnya untuk lebih merasakan tusukan penis laki-laki tua itu.
Merasakan jepitan memek Lastri yang ketat dan sempit membuat mbah Suryo jadi tidak bisa mengontrol birahinya. Ia pun segera menekan penisnya kuat-kuat agar segera menembus dan memasuki lubang senggama wanita cantik itu.
”Oughhh... aghhhh... mbah!!!” Lastri melenguh keras dengan tubuh melenting ke atas saat merasakan penis mbah Suryo yang tiba-tiba tenggelam dan memasuki vaginanya secara utuh dan cepat. Ia segera menggoyangkan pinggulnya kencang-kencang untuk menyambut dan mengimbangi gerakan laki-laki tua itu. Vaginanya terasa begitu sesak dan berat, tapi sangat nikmat.
“Ohh... gimana, nduk, aku tidak menyakitimu kan?” tanya mbah Suryo sambil mendesis merasakan goyangan Lastri yang begitu liar dan brutal.
“Hmm... enak, mbah! Oughhhh... enak sekali!!!” Lastri terus meliuk-liuk penuh birahi. Tubuhnya sudah keringetan, sementara buah dadanya yang besar terlempar-lempar kesana-kemari. Tanpa sadar ia menjawab dengan lugas apa sedang dirasakannya sekarang tanpa rasa malu lagi. Hilang sudah Lastri yang lugu dan alim, yang setiap hari selalu mengenakan jilbab lebar dan baju panjang. Berganti dengan Lastri jalang yang sedang haus akan sentuhan birahi, dan menuntut untuk dipuaskan pada saat ini juga.
Mendengar jawaban menyerah dari wanita cantik itu, mbah Suryo mulai ikut menggenjotkan penisnya keluar masuk di vagina Lastri, menyetubuhinya, memberinya kepuasan. Liar, sambil terus menggerakkan pinggulnya, ia hisap bibir Lastri yang terus menerus merintih keenakan. Sementara tangannya bergerak cepat menangkup kedua buah dada Lastri yang membusung indah, dan memeganginya erat-erat agar kedua benda bulat itu tidak saling bertubrukan lagi.
“Ahh… Nduk, nikmat sekali memekmu!!” rintih mbah Suryo tak tahan.
“Ughh... iya, mbah. Kontol mbah juga enak, ahhh... aku suka!!” sahut Lastri tak terkendali. Hilang sudah harga dirinya sebagai wanita baik-baik. Yang ada kini hanyalah hasrat untuk meraih kepuasan dari penis besar milik mbah Suryo. Apalagi sekarang kedutan-kedutan kecil mulai terasa di dinding vaginanya, dan hawa panas mengumpul di sekitar pangkal pahanya, pertanda kalau tak lama lagi ia akan segera mencapai klimaks, Lastri semakin menjadi gila dibuatnya.
Di lain pihak, mbah Suryo terus menggenjot semakin kencang dan cepat. Penis panjang milik laki-laki tua itu bagai memenuhi lubang vagina Lastri, menekan keras ke kiri dan ke kanan, bahkan kadang mentok hingga ke mulut rahimnya, membuat kontraksi di dinding vagina Lastri menjadi semakin kuat dan tak tertahankan lagi.
Tidak kuat menahan kenikmatan itu, Lastri akhirnya menjerit kencang. “EGHHHH... MBAAHH!!! OHHHHH... ARRGGHHHHHH!!! AKU KELUAAR!!” tubuhnya mengejang saat cairan kenikmatan menyembur deras dari dalam lubang vaginanya. Begitu kerasnya hingga menyemprot ke perut dan dada mbah Suryo saat laki-laki itu mencabut penisnya.
Mbah Suryo kelihatan puas sekali melihat Lastri yang terkejang-kejang merasakan sensasi kenikmatannya. Cairan perempuan itu masih terus menyembur beberapa kali, sebelum akhirnya cuma menetes pelan seiring meredanya orgasme yang dialami olehnya.
”Sudah enakan, nduk?” tanya dukun tua itu sambil mengelus-elus penisnya yang masih menegang dahsyat.
Tidak menjawab, Lastri cuma mengangguk mengiyakan.
”Sekarang giliranku.” kata mbah Suryo. Ia lalu menindih kembali tubuh molek Lastri. Tapi saat ia ingin menghujamkan penisnya ke vagina Lastri yang masih basah membanjir, wanita itu reflek menutup pangkal pahanya. Mbah Suryo jadi terkejut dibuatnya, “Lho, piye tho iki?” ia berusaha untuk menyingkap kaki perempuan itu.
Dengan cepat, memanfaatkan kelengahan sang Dukun, Lastri meraih sesuatu yang berada di tumpukan bajunya. Seketika itu juga, lebih cepat dari kedipan mata…
SEERRT!!! CRAASHH!!!
Darah menyembur kencang kemana-mana. “Arghh… arghh…!!!” mbah Suryo menjerit sekeras-kerasnya. “Ahh… kurang ajar! Asuuu! Celeng! Dasar sundal kamu!!!” ia berlutut mengerang kesakitan sambil memegangi kemaluannya yang terpotong menjadi dua. Dipelototinya Lastri yang sudah berdiri di sudut kamar, tangan kanannya memegang cutter, sementara tangan kirinya memegangi potongan penis mbah Suryo yang berlumuran darah.
“Hahaha… rasakan kau dukun cabul!! Memang harus ada yang datang untuk menghentikanmu!!!” wanita itu tertawa penuh kemenangan.
“Siapa kamu?! Ahh... tolong! Tolong aku! Aku bisa mati!!” tertatih-tatih, mbah Suryo berusaha untuk menghentikan pendarahan di kemaluannya dengan membalutnya memakai kain sarung, tapi percuma, darah tetap saja merembes keluar.
“Aku? Aku hanya seorang kakak yang adiknya mati bunuh diri!” Lastri berkata bengis. “Mbah ingat Sundari, gadis cantik yang pernah datang kemari beberapa bulan lalu?”
“Banyak! Banyak wanita yang datang kemari!! Ahggg…” kata dukun itu pelan sambil merintih, kesadarannya mulai menghilang. Pandangannya perlahan buram dan menggelap.
“Memang banyak!! Tapi hanya satu saja kan yang punya tanda hitam di lehernya?! Dia itu adikku, bangsat!” Lastri meradang, “Kau telah menodai, menghamili, dan membuat dia bunuh diri!!!”
Tak ada jawaban dari mbah Suryo. Lelaki itu sudah tergeletak diam tak bergerak. Sekarat. Hanya sisa-sisa nafasnya saja yang terdengar pelan menjemput datangnya ajal.
Lastri mendekati meja coba mencari korek api. Dapat, lalu dinyalakannya lilin yang ada disitu. Cahayanya menerangi semesta kamar. Lastri memandangi badan polosnya yang penuh cipratan darah, baunya sangat amis. Diliriknya tubuh mbah Suryo yang meringkuk di tikar, tak bernyawa. Tikar itu berkubang darah.
Lastri mengelap tubuhnya dengan kain batik milik si dukun, lalu segera berpakaian. Dijejalkanya potongan penis mbah Suryo ke mulut laki-laki itu, lalu berjalan keluar sembari membuang cutter yang ia pakai untuk menbunuh ke halaman depan.
Malam semakin larut, Lastri keluar dari rumah mbah Suryo dan berjalan menuruni tangga padas gamping ditemani suara jangkrik dan lolongan anjing. Ia tak berharap bertemu siapapun sampai ke jalan raya. Dusun ini sungguh mati, gelap di mana-mana. Ia pasti akan aman sampai tiba di rumah.
Wanita itu tidak langsung menjawab. Ia pandangi sosok mbah Suryo yang masih duduk merapal mantra-mantra sambil terpejam. “Ehm… selasa wage, mbah.” jawabnya kemudian.
Lelaki tua itu mengangguk-angguk sembari membalik-balik buku tebal yang ada di hadapannya. Rambut, kumis dan jenggotnya sudah memutih sebagian. Tapi fisiknya masih kelihatan sangat bugar. ”Nama lengkap?” tanyanya lagi.
“Lastri, mbah… Sulastri,” Lastri bisa melihat jari-jemari orang itu yang panjang dan hitam-hitam saat membalik buku, terlihat sangat angker dan menjijikkan.
”Terus nama ibumu?“ tanya mbah Suryo lagi. Para dukun memang selalunya menanyakan nama ibu kandung pasiennya.
”Triyatmini, mbah.” Gadis berwajah tirus itu menjawab tanpa berani menatap wajah mbah Suryo. Tapi Lastri bisa memastikan kalau laki-laki itu begitu tinggi, hampir 180 cm. Ia paling hanya sepundaknya kalau berdiri berjajar.
“Bapakmu Lasijo, gitu?” tebak mbah Suryo.
Tapi ternyata salah. “Bukan, mbah. Bapak saya Tugiran.” jawab Lastri. Perempuan berjilbab itu masih menundukkan mukanya.
“Ehm, baik,” mbah Suryo berdehem, berusaha mengembalikan wibawanya. ”Kamu tunggu dulu, mbah mau nyiap-nyiapkan dulu. Nak Lastri masuk kamar situ.” laki-laki tua itu beranjak dari bale-bale dan meninggalkan Lastri seorang diri.
Lastri masuk ke kamar yang ditunjuk oleh mbah Suryo. Sebuah ruangan tak berjendela yang hanya diterangi lampu bohlam kecil. Aroma kembang kanthil menyeruak menusuk hidung. Lastri mengambil posisi duduk bersila di muka meja kecil. Ada pernak-pernik perdukunan di situ.
Tak lama kemudian, mbah Suryo masuk, sekarang bajunya hitam-hitam dan mengenakan ikat kepala merah, persis seperti pendekar yang ada di film-film silat jadul. Mbah Suryo duduk dihadapan Lastri lalu menyalakan kemenyan. Seketika itu pula aromanya menyeruak ke seisi ruangan. Asap putih membumbung ke langit-langit kamar.
Mbah Suryo mulai berkomat-kamit sambil sesekali menaburkan butiran menyan. Lastri tetap menunduk, matanya mulai pedih.
“Lihat sini, nduk. Mbah tahu kamu ke sini karena laki-laki bukan?”
Lastri coba memberanikan diri melihat lawan bicaranya itu, tapi tetap tak mau menatap mata mbah Suryo. “Betul sekali, mbah. Kekasih saya direbut gadis lain. Ehm… saya ingin dia kembali, mbah.” jawab Lastri pelan. Diamatinya wajah mbah Suryo yang masih terpejam berkomat-kamit. Meski brewok dan bercambang tebal, namun laki-laki itu masih meninggalkan gurat-gurat sisa ketampanan masa mudanya.
Di daerah ini, mbah Suryo dikenal sebagai orang pintar yang sanggup menyelesaikan berbagai masalah. Banyak orang dari jauh mencari dia. Entah untuk penglaris dagangan, interview pekerjaan, orang-orang yang sedang terbelit kasus hukum, atau pun wanita-wanita putus cinta seperti Lastri ini.
“Ehm…” mbah Suryo membuka matanya. “Siapa nama laki-laki itu, nduk?” dia bertanya sambil menatap Lastri dengan tajam.
“Wisrawan, mbah… Wisrawan Adi Satrio.” jawab Lastri kembali menunduk. Ia jadi salah tingkah sendiri diperhatikan seperti itu.
Mbah Suryo mengelus jenggot putihnya sambil menerawang, seolah-olah berpikir. “Hmm... sepertinya gadis itu sudah mengguna-gunai kamu, nduk. Itulah kenapa Wisrawan sampai tega meninggalkan kamu.” jawabnya kemudian.
“Ah, benarkah, mbah?” tanya Lastri kaget. Ia tidak pernah membayangkan kalau sampai ada guna-guna yang masuk ke dalam dirinya. ”Apa berbahaya, mbah?” tanyanya ketakutan.
“Memang berbahaya kalau tidak cepat disingkirkan. Apabila tubuhmu tidak kuat, bisa-bisa kamu jadi gila, hilang akal, stress, dan ujung-ujungnya depresi. Bahkan kalau sudah fatal, bisa bunuh diri, nduk!” kata mbah Suryo memperingatkan.
”Saya tidak mau, mbah.” Lastri sudah ingin menangis begitu mendengarnya.
”Semua orang juga tidak mau terkena guna-guna.” jawab mbah Suryo.
”Apa tidak bisa dihilangkan, mbah?” tanya Lastri penuh harap.
Mbah Suryo mengangguk. ”Ada, kamu tenang saja.”
”Kalau begitu, cepat lakukan, mbah!” pinta Lastri cepat.
”Tapi ada syaratnya, nduk...” lanjut mbah Suryo.
Lastri mengangkat mukanya dan memandang laki-laki tua itu. ”Syaratnya sulit apa nggak, mbah?” tanyanya lemas.
”Tergantung guna-gunanya. Kalau untuk kasusmu, cuma ritual pembersihan sama pemasangan susuk. Nanti akan kuberikan juga perlindungan buat pacarmu agar tidak diganggu lagi sama gadis-gadis lain.” mbah Suryo menjawab kalem.
”Begitu ya, mbah.” Lastri menimbang-nimbang, tampak berpikir sejenak.
”Bagaimana, nduk, kamu mau?” tanya mbah Suryo, tidak memberi Lastri kesempatan untuk berpikir.
Memutuskan dengan ragu-ragu, takut akan kehilangan mas Wisrawan-nya tersayang, perempuan berjilbab itu pun mengangguk. ”Baik, mbak. Saya bersedia.”
Mbah Suryo manggut-manggut mengiyakan. ”Bagus! Sekarang dengarkan omonganku; kamu harus menuruti semua perintahku agar ritual ini berhasil. jangan membantah sedikitpun. Mengerti?!!”
”I-iya, mbah.” sudah kepalang tanggung, Lastri tidak bisa mundur sekarang.
“Baiklah. Sekarang, buka bajumu.” perintah mbah Suryo dingin.
Lastri terkejut dengan permintaan laki-laki tua itu. Reflek tangannya bergerak untuk menutupi tonjolan buah dadanya yang membusung indah. “T-tapi, mbah…” rengeknya.
Mbah Suryo diam menunggu, matanya terpejam.
Lastri bingung dan tampak ragu-ragu. Badannya mulai panas dingin keringetan.
“Nggak usah semua, atasannya saja.” pinta mbah Suryo kemudian.
Lastri tertunduk. Dia tak punya pilihan lain, tidak mungkin untuk menolak lagi. Ketakutan kehilangan orang yang dicintai mengalahkan akal sehatnya. Jadi pelan, satu per satu kancing baju mulai ia buka. Lalu diletakkannya baju itu dipangkuannya. Tubuh Lastri yang putih mulus bak pualam, kini hanya dibalut rok panjang dan jilbab lebar saja. Sepasang payudaranya yang begitu kenyal dan padat tampak tegak ditopang oleh beha krem bermotif bunga. Ia segera menundukkan mukanya, tak kuasa untuk menatap mata mbah Suryo lebih lama lagi.
Anehnya, dukun tua itu seperti tidak terpengaruh oleh pemandangan indah yang tersaji di hadapannya. Ia tetap memejamkan mata sambil mulutnya terus komat-kamit merapalkan mantra. “Nduk, apapun yang kamu rasakan nanti, jangan dilawan, karena itu bisa menggagalkan ritual kita!” kata mbah Suryo kalem.
Belum sempat Lastri menjawab, telapak tangan laki-laki itu sudah bergerak menelusuri tubuhnya, seperti sedang meraba. Lastri terkejut karena merasakan sentuhan-sentuhan di buah dadanya, padahal mereka sama sekali tidak bersentuhan. Mbah Suryo memegangnya dari jauh!
”Hei, apa-apaan ini?!” tanyanya dalam hati.
Wanita itu mulai berkeringat. Butiran peluh perlahan mengalir di lehernya yang jenjang dan putih mulus. Usapan di buah dadanya kini berubah menjadi pijitan dan remasan keras yang perlahan namun pasti mulai membangkitkan gairahnya. Beha tipis yang ia kenakan sama sekali tidak bisa melindunginya. ”Mbah?!” Lastri berkata diantara desah nafasnya.
”Sst... diam!” hardik mbah Suryo. Tidak jauh beda dengan Lastri, keadaannya juga sudah tak karuan. Wajahnya yang tirus bermandikan keringat, nafasnya sudah mulai terengah-engah seperti orang kesurupan, sementara tonjolan misterius tampak membumbung di depan selangkangannya. ”Biar kuselesaikan ritual ini, nduk!” ujarnya parau.
Nyala bohlam yang ada di atas langit-langit berkedap-kedip, lalu tiba-tiba padam. Semuanya menjadi gelap. ”Mbah?!” panggil Lastri lagi saat merasakan sentuhan misterius menjalar di kakinya. Sentuhan nikmat mulai dirasakan wanita cantik itu di bagian paha dan bokongnya, berusaha untuk menyingkap rok panjangnya agar ikut terbuka. ”Hsshh... mbah!” ia mendesah lagi. Tanpa Lastri sadari, tubuhnya mulai gemetar dan menggeliat.
Mengetahui libido Lastri yang mulai meningkat, mbah Suryo makin memberanikan diri mengusap-usap pangkal paha wanita cantik itu sambil sesekali tangannya menyetuh bibir vagina Lastri yang masih terbungkus celana dalam. ”Guna-guna ini cukup kuat, nduk, dan sudah merasuk jauh ke dalam darahmu.” ia berkata sambil menggelitik lubang vagina Lastri menggunakan jempolnya.
Menggelinjang kegelian, Lastri melenguh dan semakin melebarkan kakinya, memberikan ruang lebih luas bagi mbah Suryo untuk menyentuhnya. Rok panjangnya sudah tergulung sampai ke perut, memperlihatkan paha mulus dan bukit vaginanya yang basah dan membusung. “A-apa yang harus saya lakukan, mbah?” tanyanya sambil menggeliat.
”Lepas celana dalammu, nduk! Aku harus mengambil guna-guna itu langsung dari sumbernya.” tegas laki-laki tua itu.
”Lakukan, mbah. Bantu aku untuk melepasnya.” Lastri agak sedikit mengangkat pinggulnya saat tangan yang tak kasat mata mulai menariknya turun hingga ke dengkul. Rasa takut karena guna-guna ditambah desir kenikmatan yang terlanjur ia rasakan akibat sentuhan jari-jemari mbah Suryo, membuat Lastri sama sekali tak melawan. Ia sepenuhnya berada di bawah kendali dukun tua itu.
Mbah Suryo terbelalak tak percaya saat berhasil menarik celana dalam Lastri hingga terlepas. Meski masih ada meja kecil yang memisahkan tubuh mereka, ia bisa menyaksikan betapa mulus tubuh Lastri yang duduk pasrah di hadapannya. Wanita itu tengah terdiam menundukkan kepala, menunggu untuk disentuh, dengan susu dan selangkangan yang sudah terbuka lebar, siap untuk dinikmati.
Jadi, dengan sikap serius seolah melakukan ritual sesungguhnya, mbah Suryo kembali berkomat-kamit. Dengan ketinggian ilmunya, ia kembali menyentuh tubuh Lastri dari jauh. Pelan tangannya mulai menelusuri bongkahan payudara Lastri yang bulat dan membusung, diremas-remasnya sebentar untuk merasakan teksturnya yang empuk dan kenyal, sebelum akhirnya hinggap di putingnya yang sudah mengeras, dan memilinnya dengan keras hingga membuat Lastri merintih dan mendesis tak karuan. ”Mbah, oughhh... ehhs...!!”
Puas disitu, mbah Suryo memindahkan tangannya ke perut Lastri yang langsing dan rata. Dia mengusap-usapnya sebentar, tetapi kemudian kembali lagi ke atas, ke arah payudara Lastri yang baru saja ditinggalkannya. Tampaknya, ia ketagihan oleh rasa buah dada wanita cantik itu. Mbah Suryo kembali meremas-remasnya, bergantian kiri dan kanan sambil tak lupa menjepit dan memilin-milin putingnya.
”Ehsss... mbah!” Lastri terpejam dan menggelinjang merasakan sentuhan langsung telapak tangan kasar mbah Suryo di kulit mulusnya. Tidak cuma meremas payudara, tangan laki-laki itu juga mulai menelusur ke bawah untuk mengelus dan mengusap-usap belahan selangkangannya.
”Hss... hahh... hahh... mbah!!” Nafas Lastri menjadi semakin berat manakala sentuhan gaib tangan mbah Suryo mulai menjelajahi bibir vaginanya. Ia sebenarnya ingin melawan dan menolak, tetapi rasa takut akan guna-guna dan kenikmatan yang sedang melanda tubuh sintalnya, mengalahkan perasaan risihnya. Apalagi saat mbah Suryo mulai membelai lebih intens permukaan vaginanya, ia semakin terbenam dan tak kuasa lagi untuk memberontak. Bahkan yang ada, cairan vaginanya mulai merembes keluar dan meleleh semakin banyak, membuat permukaan kemaluannya menjadi semakin licin dan basah.
“Ahhhsss...” Lastri mendesis dan menjerit kecil, tak kuasa menahan gejolak birahinya yang semakin tak terbendung. Kenikmatan sentuhan mbah Suryo pada tubuhnya membuatnya melayang. Di bawah, ia merasakan sesuatu menguak bibir vaginanya dan mengocok cepat disana, sementara di atas, hal yang sama terjadi pada puting susunya; benda mungil kemerahan itu terasa dipilin dan dipijit-pijit keras, sambil buah dadanya diremas-remas, padahal sama sekali tidak ada tangan yang hinggap disana!
Lastri tidak bisa menjelaskan keanehan itu, karena di saat yang sama ia merasakan libidonya semakin memuncak. Itu disebabkan oleh sesuatu yang basah dan hangat, yang mulai menyapu-nyapu bibir vaginanya. Benda lunak bertekstur kasar itu berusaha menerobos masuk untuk menjelajahi lubang kemaluannya.
“Ouhh... ahhss... mbah, apa yang mbah lakukan?” Lastri terperanjat saat menyadari lidah mbah Suryo yang menjulur-julur panjang. Pria itu melakukannya dari sana, tapi kenapa rasa gelinya bisa sampai kesini?! Aneh, Lastri benar-benar tak habis pikir dibuatnya. Dan ia makin terpojok dan terjepit saat mbah Suryo menemukan klitorisnya dan tanpa membuang waktu, langsung menghisapnya dengan rakus. ”AAHHHHH... mbah!!!” Lastri menggelinjang dan menjerit keras. Tubuhnya kelojotan kesana kemari merasakan lidah hangat mbah Suryo yang menyapu cepat di belahan vaginanya.
“Tahan, nduk! Ini agar guna-gunamu keluar semua.” kata mbah Suryo menenangkan. Kepalanya terus berputar-putar dengan lidah terjulur untuk meneruskan jilatannya pada vagina sempit milik Lastri.
”I-iya, mbah!” mengangguk mengerti, Lastri pun memejamkan matanya dan melebarkan kedua kakinya, membiarkan mbah Suryo meneruskan ritual yang sangat memberi kenikmatan pada dirinya itu. Toh ia melakukannya dari jauh, tidak menyentuhku sama sekali! pikir Lastri dalam hati. Tanpa ia sadari, tangannya berusaha menekan kepala tak kasat yang berada di selangakangannya agar menjilat lebih dalam dan keras.
Melihat itu, mbah Suryo berkata. ”Sabar, nduk. Harus dilakukan dengan pelan-pelan!” Selesai berkata, kembali ia menggerakkan tangannya untuk meraih dan meremas-remas payudara Lastri yang menggantung indah. Sambil terus menjilat, mbah Suryo mempermainkan benda bulat padat itu dengan kedua tangannya.
”Aughhhh... mbah! Aku... arghhhh!!” Lastri makin menjerit dan menggelinjang. Diserang atas bawah seperti itu membuatnya makin merintih dan memekik nyaring. Tubuh montoknya kelojotan, sementara keringat makin membasahi tubuh mulusnya.
”Lepaskan, nduk! Jangan ditahan. Kita sudah hampir berhasil!” kata mbah Suryo begitu mengetahui keadaan pasiennya. Ia terus menggarap tubuh Lastri dari jauh dengan ketinggian ilmunya.
”Ehmm... iya, mbah!” Lastri melenguh. Ia mulai merasakan sensasi aneh di sekitar lubang vaginanya, seperti ada hawa panas yang menjalar dari dalam perutnya dan berkumpul disana. Hawa panas itu terus mendesak, dan semakin lama menjadi semakin tak tertahankan lagi.
”Lepas, nduk! Jangan ditahan lagi!!” perintah mbah Suryo dengan jilatan semakin keras. Dia juga mencengkeram bulatan payudara Lastri semakin kencang.
Tidak tahan lagi, Lastri pun akhirnya menjerit keras. ”AARRGGHHHHHHHHHH.... MBAAAHHH!!!” pinggulnya berputar, sementara tubuhnya kelojotan kesana-kemari saat kumpulan hawa panas itu meledak, mengantarnya menuju orgasme yang begitu nikmat dan melelahkan.
Mbah Suryo segera meraih mangkok yang ada di bawah meja dan digunakannya untuk menampung cairan Lastri yang menyembur keluar. ”Keluarkan semua, nduk! Keluarkan!!” perintahnya sambil berusaha menampung sebanyak mungkin.
Saat Lastri berhenti terkejang-kejang dan sekarang diam terengah-engah, mbah Suryo menunjukkan mangkok di tangannya yang kini terisi setengah penuh. ”Lihat warnanya, begitu hitam.” kata dukun tua itu.
Lastri terkejut melihatnya; memang hitam, dan sepertinya sangat kental sekali! ”I-itu guna-gunanya, mbah?” tanyanya takut sekaligus lega. Lega karena ia sudah berhasil mengeluarkan guna-guna itu dari dalam tubuhnya.
”Iya, sekarang kamu sudah bersih.” mbah Suryo mengangguk.
”Eh, t-terima kasih, mbah.” Lastri berusaha tersenyum meski tubuhnya masih sangat kaku dan lemah. Ia berusaha membenarkan pakaiannya yang masih terbuka dan acak-acakan, yang memperlihatkan semua auratnya.
“Bagaimana rasanya, nduk?” tanya mbah Suryo kemudian.
“Hmm... nikmat, mbah.” jawab Lastri tanpa sadar.
”Bukan itu!” mbah Suryo mendelik. ”Maksudku, bagaimana rasanya setelah guna-gunamu kutarik keluar?!”
“Oh, itu... ehm, agak ringan, mbah. Tubuh saya jadi enteng sekarang.” Lastri tersenyum malu. Ia menarik rok panjangnya ke bawah agar mbah Suryo tidak lagi memandangi paha dan pinggulnya yang masih telanjang.
Mbah Suryo menarik nafas panjang. “Kalau begitu, sekarang pakai bajumu, nduk!” laki-laki itu menyalakan lilin yang ada di atas meja dan berpaling, memberi kesempatan pada Lastri untuk memakai pakaiannya kembali.
”Emm, iya. Terima kasih, mbah.” Lastri menatap tajam gigi-gigi hitam mbah Suryo saat laki-laki tua itu berbicara. Dengan cepat ia memakai kemeja lengan panjangnya agar tubuhnya yang sintal kembali tertutup.
Suasana begitu hening, hanya sesekali terdengar lolongan anjing dari kejauhan. Rumah mbah Suryo berada paling atas di antara rumah-rumah warga di dusun terpencil ini. Jaraknya pun berjauhan, dipisahkan kebon-kebon Jati yang daunnya mulai meranggas karena kemarau. Bau kotoran manusia kadang tercium terbawa angin kering. Di dusun tertinggal ini, hampir tak ada warga yang mempunyai jamban.
“Sudah, mbah?” Lastri memberanikan diri untuk berkata. Ia sudah sopan lagi sekarang; memakai baju panjang dan jilbab lebar yang mempercantik penampilannya.
Mbah Suryo manggut-manggut lalu menjawab. “Sekarang masuk ke ritual yang kedua, nduk. Kamu mesti dipasangi susuk agar pacarmu berpaling lagi padamu. Ini juga ada tiga kerikil yang mesti kamu simpen di kantong sebagai penangkal guna-guna.”
Lastri mengangguk. “Iya, mbah.”
”Sekarang kamu ke sumur belakang, mandi lah, ada sedikit air di sana. Trus ganti pakaianmu dengan kain ini,” mbah Suryo menyerahkan lipatan kain batik warna coklat tua kepada Lastri. ”Setelah itu kita mulai ritual pemasangan susuknya.”
***
Lima belas menit kemudian, Lastri masuk kembali kamar. Tubuhnya hanya dililit kain batik tadi, membuat puting susunya yang menonjol membekas dengan jelas. Rambutnya tergerai basah. Tangannya membawa baju, jilbab dan rok panjang yang sebelumnya ia pakai. Rupanya selagi dia mandi, mbah Suryo sudah menyiapkan segalanya. Ada hamparan tikar dan sebuah bantal di lantai. Lastri bergidik melihat semua itu. Tubuhnya mematung. Mbah Suryo sendiri duduk bersila membelakanginya. Tangannya memegang sebuah botol sambil merapal mantra.
Mengetahui kehadiran Lastri, laki-laki itu kemudian berkata “Rebahkan badanmu di tikar itu, nduk.”
Lastri melakukannya. Pelan dia telentang di lantai yang beralaskan tikar sesuai petunjuk dari mbah Suryo.
“Jangan malu, aku akan membalurmu dengan minyak bulus ini.” kata mbah Suryo sambil beringsut mendekati tubuh montok Lastri yang hanya berbalut kain. Dengan mulut komat-kamit membaca mantra, ia mulai menyapukan minyak itu; jari-jari kasarnya mengurut perlahan betis Lastri, lalu merambat naik ke arah paha. Kali ini ia tidak menutup matanya. Tak berkedip, mbah Suryo menatap tubuh mulus Lastri yang tergolek pasrah di hadapannya.
Lastri merinding, bulu romanya berdiri, badannya mulai gemetar, tapi mulutnya serasa terkunci saat laki-laki tua itu menambah minyak dan mengurut lembut kulit pahanya, bergantian kiri dan kanan. Kain batik yang yang cuma sebatas pinggul membuat mbah Suryo sangat leluasa untuk melakukan itu.
”Ehmm... mbah?!” desah Lastri saat mbah Suryo menarik salah satu kakinya untuk ditaruh di atas pangkuan.
”Sstt... diam, nduk!” bisik dukun tua itu sambil tangannya kembali memijat paha Lastri, pijatan yang semakin lama menjadi kian lemah, hingga akhirnya berubah menjadi elusan dan usapan lembut yang sangat membangkitkan gairah. Dan Lastri tidak sanggup untuk melawannya.
”Ahh... mbah!” desah perempuan cantik itu. Dengan kakinya, Lastri bisa merasakan sesuatu yang keras mulai menggeliat di selangkangan laki-laki tua itu; penis mbah Suryo yang sudah mulai ngaceng dan tegang!
Mengetahui Lastri yang sudah pasrah sepenuhnya, tangan dukun mesum itu semakin berani naik menjelajahi pangkal paha Lastri, sesekali menyentuh celana dalam perempuan alim itu.
“Ehss..!!” Lastri mendesah merasakannya, tapi tidak menolak. Bahkan saat mbah Suryo mulai menyingkap bagian bawah kain batiknya dengan sangat pelan, ia juga diam saja. Suasana begitu hening, hanya nafas mbah Suryo yang sudah mulai berat yang terdengar cukup nyaring.
Tak berkedip laki-laki tua itu menatap paha dan perut Lastri yang kini terbuka cukup lebar di hadapannya. ”Indah sekali, nduk!” gumam mbah Suryo tanpa sadar saat menatap gundukan daging nikmat milik Lastri yang masih terbungkus celana dalam katun tipis. Tampak noda hitam mulai membayang di depan selangkangan wanita cantik itu, menunjukkan kalau Lastri juga sudah mulai terangsang.
Tidak menyahut, Lastri kembali mendesah saat mbah Suryo kembali mengusap-usap paha putih mulus miliknya. ”Aaghhh...!!” dirasakannya usapan halus di pangkal pahanya, dan terus berlanjut ke lubang vaginanya yang masih terbungkus celana dalam. ”Auhhh... mbah, geli!!” nikmat sentuhan jemari mbah Suryo membuat Lastri merintih dan menggeliat sambil melebarkan kedua kakinya.
Merasa berhasil menaklukkannya, mbah Suryo menggeser tubuhnya ke samping agar wajahnya bisa menemukan selangkangan Lastri. Dengan sangat perlahan ia menarik celana dalam Lastri ke samping hingga ia bisa melihat vagina perempuan itu dengan lebih jelas. Lubang mungilnya sudah tampak basah dan lengket. Belahannya masih tampak mungil, tapi begitu merah dan mengkilat. Rambut-rambut halus tumbuh sembarangan di sekitarnya, tapi bukannya bikin kotor, malah makin menambah daya tariknya. Inilah vagina terindah yang pernah dilihat oleh mbah Suryo; begitu utuh dan sempurna! Tetap dengan posisi duduk di lantai, laki-laki tua itu lalu merunduk dan menempatkan wajahnya tepat di tengah kedua kaki Lastri yang melebar.
”Aughhh!!” rintih Lastri ketika merasakan sapuan lidah hangat mbah Suryo di bibir vaginanya, membuat ia menggelinjang kegelian. Wanita itu kembali mendesis sambil menyebut nama sang dukun, ”Mbah! Oughhh...” pinggulnya bergerak-gerak mengimbangi irama jilatan.
Yakin kalau Lastri sudah benar-benar terbuai, mbah Suryo memberanikan diri menurunkan celana dalam yang dipakai oleh Lastri. Kini akses lidahnya menjadi semakin bebas, dengan rakus ia jilati vagina Lastri yang semakin mekar dan membasah.
Lastri yang merasakan lidah panjang mbah Suryo menyusup-nyusup di bibir vaginanya, menekuk tubuhnya dan memekik lirih untuk menahan sensasi nikmatnya. “Auhmm… mbah! Aku nggak tahan!” ia sudah hilang kendali, tubuhnya sudah sepenuhnya dilanda birahi sekarang.
Di bawah, penis mbah Suryo terasa semakin tegang, tapi ia masih tidak punya niat untuk menyetubuhi Lastri sekarang, masih belum waktunya. Ia masih ingin terus menjilati vagina Lastri untuk beberapa lama, sampai akhirnya laki-laki tua itu berkata, “Sudah, sekarang buka kainmu, nduk. Mbah akan memasang susuk emas pada badanmu.” Mbah Suryo lalu berdiri dan berjalan ke lemari kecil di ujung ruangan untuk mengambil sesuatu. “Kalau sudah tengkurap ya!” perintahnya tanpa menoleh.
Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, Lastri melakukannya. Perlahan ia mulai melepas kain yang membalut tubuh sintalnya, juga BH dan celdamnya, diletakkannya semuanya di bawah meja, lalu tidur tengkurap, persis seperti yang diperintahkan oleh mbah Suryo.
Mbah Suryo berlutut di sampingnya. Tangannya menggapai bokong Lastri yang bulat dan menyapukan minyak bulus yang ia pegang ke atasnya, lalu meratakannya dengan meremas-remas bokong Lastri lembut. Laki-laki itu juga menuangkan minyaknya ke punggung Lastri, dan mengurutnya perlahan seirama dengan pijatannya; mulai dari tengkuk, pundak, sampai pinggang Lastri yang ramping, lalu turun ke betis perempuan cantik itu.
“Enghh... mbah! Hegghh...” Darah Lastri menggelegak, jantungnya bergerak cepat, sementara tubuhnya meliuk-liuk penuh kenikmatan. Tangannya meremas-remas bantal, tubuh polosnya berkilat-kilat karena cahaya dia lilin. Perlakuan mbah Suryo benar-benar membuatnya melayang.
“Gimana rasanya, nduk?” tanya mbah Suryo sambil tersenyum dan melucuti pakaiannya sendiri. Ia keluarkan penisnya yang sudah menegang dahsyat dari kungkungan celana dalam. Telanjang ia berdiri di sebelah Lastri dan berbicara, “Sudah, sekarang tinggal masukin emasnya. Habis ini rampung. Balikkan badanmu, nduk.” perintahnya kemudian.
“Mbah, isin aku, mbah. Malu!” meski sudah terbuai oleh nafsu, tapi Lastri enggan menuruti begitu saja perintah sang dukun. Ia masih ingin mempertahankan statusnya sebagai wanita terhormat untuk yang terakhir kali.
“Lha, gimana tho? Ini syaratnya, nduk. Tanggung!” suara mbah Suryo meninggi. Penisnya yang tegang tampak mengacung tegak hingga ke pusar; besar dan panjang sekali, berwarna coklat kehitaman. Jembutnya yang tumbuh semrawut di bagian pangkal, makin menambah kesan sangarnya. “Cepat balik, kita tidak punya banyak waktu!!” melihat tubuh Lastri yang molek dan montok membuat laki-laki tua itu menjadi tidak tahan lagi.
“Matikan lilinnya dulu, mbah. Aku malu.” kata Lastri lirih.
“Ya wes,” jawab mbah Suryo. Lalu ia melangkah menuju lilin yang ada di meja dan meniup apinya hingga padam. Gelap segera menyelimuti bilik kecil itu. “Sudah, nduk?” ujar mbah suryo sambil mengusap-usap mesra bokong bulat Lastri.
“Iya, mbah.” perlahan Lastri membalikkan tubuh sintalnya, telentang. Bisa dirasakannya mbah Suryo mengambil posisi setengah berlutut di ujung kakinya.
“Dengar baik-baik, inti dari ritual pamungkas ini adalah sikap pasrah!!” nada suara mbah Suryo berubah berat dan berwibawa. Ia memegangi penisnya dan perlahan mulai mengarahkannya ke bibir vagina Lastri yang licin dan basah.
“Ehmm… mbah!” Lastri melenguh saat mbah Suryo menyundul-nyundul dan menggesekkan ujung tumpulnya disana. Ia segera mengangkat pinggulnya agar penis itu bisa lebih cepat masuk ke dalam lubang kemaluannya.
“Biarkan para dewa bekerja melalui emas yang aku masukan melalui jalan lahir milikmu ini, nduk. Paham?!” kata laki-laki tua itu sambil menindih tubuh molek Lastri dan mulai menghisap puting susu wanita cantik itu dengan penuh gairah.
“Pa-paham, mbah.” jawab Lastri pelan. Ia sudah merasakan birahi puncak yang amat sangat dan begitu ingin dipenuhi. Pinggulnya semakin naik mengejar penis besar milik mbah Suryo. Ia juga merangkulkan kakinya ke pinggang laki-laki tua itu dan menarik ke arah dirinya agar mbah Suryo segera menjejalkan batang penisnya.
Tapi itu tidak berhasil, karena mbah Suryo memang sengaja menahannya. Alih-alih mendorong, ia malah kembali meracau dengan mantra-mantra bahasa jawa kunonya. “Mbah akan menyalurkan energi padamu, nduk. Supaya dirimu kuat dengan ‘pegangan’mu ini.” kata laki-laki tua itu.
Lastri mengangguk. ”Cepat lakukan, mbah. Aku sudah tidak tahan lagi!!”
“Buka kakimu agak lebar, nduk. Tekuk ke atas!” mbah Suryo merangkul tubuh molek Lastri dan mulai mendorong ujung penisnya masuk ke vagina mungil gadis itu.
Lastri yang sudah ingin sekali merasakan penis itu memenuhi vaginanya, segera menuruti perintah itu. Dia membuka dan menekuk kakinya agar mbah Suryo lebih mudah untuk melakukan penetrasi.
Mbah Suryo menunduk, coba merapatkan tubuhnya ke tubuh Lastri.
Bibir Lastri yang ranum dilumatnya, sementara tangannya meremasi susu perempuan berjilbab itu. “Ouh…” jerit Lastri menyambut ujung penis mbah Suryo yang mulai mendesak di bibir vaginanya. Dengan jelas Lastri bisa merasakan betapa kaku dan besarnya benda itu. Nafas mbah Suryo yang bau rokok juga menusuk hidungnya saat dukun tua itu menyusupkan lidahnya untuk mengajak Lastri bertarung lidah dan bertukar air liur.
“Tahan ya, nduk. Aku masukkan sekarang,” kata mbah Suryo sambil mendorong ujung penisnya lebih dalam ke belahan memek Lastri yang sempit.
Lastri kembali merintih dan mendesah lirih. “Ennghhhss... mbah!!” ia merasakan ujung penis mbah Suryo mendesak ketat di lubang vaginanya.
“Ayo sekarang kamu goyang pinggulmu, biar penisku semakin masuk ke dalam kemaluanmu,” kata mbah Suryo memberi perintah.
“Ampun, mbah! Oouh... ahhh...” di atas, bibir Lastri memekik minta ampun, tapi di bawah, bibir vaginanya justru memberi akses penuh pada penis mbah Suryo agar bergerak lebih jauh. Lastri mengangkat pinggulnya untuk lebih merasakan tusukan penis laki-laki tua itu.
Merasakan jepitan memek Lastri yang ketat dan sempit membuat mbah Suryo jadi tidak bisa mengontrol birahinya. Ia pun segera menekan penisnya kuat-kuat agar segera menembus dan memasuki lubang senggama wanita cantik itu.
”Oughhh... aghhhh... mbah!!!” Lastri melenguh keras dengan tubuh melenting ke atas saat merasakan penis mbah Suryo yang tiba-tiba tenggelam dan memasuki vaginanya secara utuh dan cepat. Ia segera menggoyangkan pinggulnya kencang-kencang untuk menyambut dan mengimbangi gerakan laki-laki tua itu. Vaginanya terasa begitu sesak dan berat, tapi sangat nikmat.
“Ohh... gimana, nduk, aku tidak menyakitimu kan?” tanya mbah Suryo sambil mendesis merasakan goyangan Lastri yang begitu liar dan brutal.
“Hmm... enak, mbah! Oughhhh... enak sekali!!!” Lastri terus meliuk-liuk penuh birahi. Tubuhnya sudah keringetan, sementara buah dadanya yang besar terlempar-lempar kesana-kemari. Tanpa sadar ia menjawab dengan lugas apa sedang dirasakannya sekarang tanpa rasa malu lagi. Hilang sudah Lastri yang lugu dan alim, yang setiap hari selalu mengenakan jilbab lebar dan baju panjang. Berganti dengan Lastri jalang yang sedang haus akan sentuhan birahi, dan menuntut untuk dipuaskan pada saat ini juga.
Mendengar jawaban menyerah dari wanita cantik itu, mbah Suryo mulai ikut menggenjotkan penisnya keluar masuk di vagina Lastri, menyetubuhinya, memberinya kepuasan. Liar, sambil terus menggerakkan pinggulnya, ia hisap bibir Lastri yang terus menerus merintih keenakan. Sementara tangannya bergerak cepat menangkup kedua buah dada Lastri yang membusung indah, dan memeganginya erat-erat agar kedua benda bulat itu tidak saling bertubrukan lagi.
“Ahh… Nduk, nikmat sekali memekmu!!” rintih mbah Suryo tak tahan.
“Ughh... iya, mbah. Kontol mbah juga enak, ahhh... aku suka!!” sahut Lastri tak terkendali. Hilang sudah harga dirinya sebagai wanita baik-baik. Yang ada kini hanyalah hasrat untuk meraih kepuasan dari penis besar milik mbah Suryo. Apalagi sekarang kedutan-kedutan kecil mulai terasa di dinding vaginanya, dan hawa panas mengumpul di sekitar pangkal pahanya, pertanda kalau tak lama lagi ia akan segera mencapai klimaks, Lastri semakin menjadi gila dibuatnya.
Di lain pihak, mbah Suryo terus menggenjot semakin kencang dan cepat. Penis panjang milik laki-laki tua itu bagai memenuhi lubang vagina Lastri, menekan keras ke kiri dan ke kanan, bahkan kadang mentok hingga ke mulut rahimnya, membuat kontraksi di dinding vagina Lastri menjadi semakin kuat dan tak tertahankan lagi.
Tidak kuat menahan kenikmatan itu, Lastri akhirnya menjerit kencang. “EGHHHH... MBAAHH!!! OHHHHH... ARRGGHHHHHH!!! AKU KELUAAR!!” tubuhnya mengejang saat cairan kenikmatan menyembur deras dari dalam lubang vaginanya. Begitu kerasnya hingga menyemprot ke perut dan dada mbah Suryo saat laki-laki itu mencabut penisnya.
Mbah Suryo kelihatan puas sekali melihat Lastri yang terkejang-kejang merasakan sensasi kenikmatannya. Cairan perempuan itu masih terus menyembur beberapa kali, sebelum akhirnya cuma menetes pelan seiring meredanya orgasme yang dialami olehnya.
”Sudah enakan, nduk?” tanya dukun tua itu sambil mengelus-elus penisnya yang masih menegang dahsyat.
Tidak menjawab, Lastri cuma mengangguk mengiyakan.
”Sekarang giliranku.” kata mbah Suryo. Ia lalu menindih kembali tubuh molek Lastri. Tapi saat ia ingin menghujamkan penisnya ke vagina Lastri yang masih basah membanjir, wanita itu reflek menutup pangkal pahanya. Mbah Suryo jadi terkejut dibuatnya, “Lho, piye tho iki?” ia berusaha untuk menyingkap kaki perempuan itu.
Dengan cepat, memanfaatkan kelengahan sang Dukun, Lastri meraih sesuatu yang berada di tumpukan bajunya. Seketika itu juga, lebih cepat dari kedipan mata…
SEERRT!!! CRAASHH!!!
Darah menyembur kencang kemana-mana. “Arghh… arghh…!!!” mbah Suryo menjerit sekeras-kerasnya. “Ahh… kurang ajar! Asuuu! Celeng! Dasar sundal kamu!!!” ia berlutut mengerang kesakitan sambil memegangi kemaluannya yang terpotong menjadi dua. Dipelototinya Lastri yang sudah berdiri di sudut kamar, tangan kanannya memegang cutter, sementara tangan kirinya memegangi potongan penis mbah Suryo yang berlumuran darah.
“Hahaha… rasakan kau dukun cabul!! Memang harus ada yang datang untuk menghentikanmu!!!” wanita itu tertawa penuh kemenangan.
“Siapa kamu?! Ahh... tolong! Tolong aku! Aku bisa mati!!” tertatih-tatih, mbah Suryo berusaha untuk menghentikan pendarahan di kemaluannya dengan membalutnya memakai kain sarung, tapi percuma, darah tetap saja merembes keluar.
“Aku? Aku hanya seorang kakak yang adiknya mati bunuh diri!” Lastri berkata bengis. “Mbah ingat Sundari, gadis cantik yang pernah datang kemari beberapa bulan lalu?”
“Banyak! Banyak wanita yang datang kemari!! Ahggg…” kata dukun itu pelan sambil merintih, kesadarannya mulai menghilang. Pandangannya perlahan buram dan menggelap.
“Memang banyak!! Tapi hanya satu saja kan yang punya tanda hitam di lehernya?! Dia itu adikku, bangsat!” Lastri meradang, “Kau telah menodai, menghamili, dan membuat dia bunuh diri!!!”
Tak ada jawaban dari mbah Suryo. Lelaki itu sudah tergeletak diam tak bergerak. Sekarat. Hanya sisa-sisa nafasnya saja yang terdengar pelan menjemput datangnya ajal.
Lastri mendekati meja coba mencari korek api. Dapat, lalu dinyalakannya lilin yang ada disitu. Cahayanya menerangi semesta kamar. Lastri memandangi badan polosnya yang penuh cipratan darah, baunya sangat amis. Diliriknya tubuh mbah Suryo yang meringkuk di tikar, tak bernyawa. Tikar itu berkubang darah.
Lastri mengelap tubuhnya dengan kain batik milik si dukun, lalu segera berpakaian. Dijejalkanya potongan penis mbah Suryo ke mulut laki-laki itu, lalu berjalan keluar sembari membuang cutter yang ia pakai untuk menbunuh ke halaman depan.
Malam semakin larut, Lastri keluar dari rumah mbah Suryo dan berjalan menuruni tangga padas gamping ditemani suara jangkrik dan lolongan anjing. Ia tak berharap bertemu siapapun sampai ke jalan raya. Dusun ini sungguh mati, gelap di mana-mana. Ia pasti akan aman sampai tiba di rumah.
loading...
0 Response to "Ritual Pamungkas "
Posting Komentar