loading...

Janda Cantik Kebun Cabe

Aku jadi tak konsentrasi dan fokus terhadap pekerjaanku. Sudah beberapa kali mengulang hitungan dari awal. Kupikir kalau terus-terusan mengulang hitungan, tak saja jari jemariku yang pegal, tapi juga keypad kalkulator bakalan lecet terkelupas.

Sejak sore tadi di ruang depan sudah mulai ramai warga sekitar barak kami berdatangan untuk nonton tivi. Warga berbaur dengan para karyawan di perusahaan kayu yang kukelola bersama seorang teman dan istrinya. Warga yang berbaur dengan para karyawan itu sudah menjadi pemandangan rutinku setiap malam. Maklum sarana hiburan di tempat kami membuka usaha, sangat minim, disamping juga belum adanya listrik PLN.

Tempat kami buka usaha perkayuan itu berada di pelosok dekat perbatasan antara Kalsel-Kaltim. Disini tempat berkumpul beberapa etnis dari berbagai daerah, berbaur dengan penduduk asli dari etnis Dayak dan Banjar, mengadu nasib, mengais rejeki dari lebat dan rimbunnya rimba raya Kalimantan.

“Kamu mesti cepat-cepat cari istri supaya ada yang mengurus, daripada uangmu habis terus tiap dapat bagian,” kalimat ini sudah sangat sering kudengar dari temanku, Fahrin dan istrinya, Fitriyani.
“Tenang aja, nanti juga kalo memang ada jodoh pasti aku nikah, belum ada yang cocok aja,” dalihku.
“Kalo kamu belum ada calon, nanti kami yang carikan, dijamin pasti sip,” tawar temanku sambil mengacungkan jempol kanannya.



“Sabarlah, mas,” sahutku buru-buru menjauh.
Malam ini kembali aku tak konsen terhadap pekerjaanku. Masalahnya meja tempatku bekerja berada persis di ruang depan dimana tivi berada, dan berbaur dengan warga yang menonton.
Bukan acara di tivi yang membuatku tak konsen bekerja, tapi salah seorang penonton yang persis duduk menghadap ke arah meja kerjaku.

Penonton yang mengganggu konsentrasiku itu adalah seorang wanita yang kutaksir berumur 20 tahunan.
Sambil terus melanjutkan pekerjaanku menghitung hasil produksi kayu siang tadi, sudah beberapa kali aku mencuri pandang ke arah wanita itu. Tampaknya wanita itu pun sadar kuperhatikan. Dan kami sempat pula beradu pandang, dia buru-buru tertunduk, dan aku pura-pura mengalihkan pandangan ke arah lain.

“Gila, di tempat kayak gini masih ada cewek cantik,” pikirku sambil menerawang menatap langit-langit ruangan.

Aku pun berpikir pasti ada diantara karyawan kami yang mengenal wanita yang sering nonton tivi di tempat kami itu. Setidaknya warga yang tinggal dekat barak kami ada yang kenal dia. Aku pun memulai penelusuran mencari tahu perihal diri dan keberadaan wanita yang akhir-akhir ini mengganggu konsentrasi bekerjaku.
“Ooo…..yang itu. Namanya Mariana, janda beranak satu,” ungkap seorang tetangga kami yang tinggal di samping barak.
“Oh ya,” cuma itu yang bisa keluar dari mulutku. Perasaanku saat itu berada diantara kaget dan sedikit kecewa setelah mengetahui statusnya janda beranak satu.
Rupanya Bu Ida, tetangga kami itu dapat membaca perasaanku. “Janda atau perawan nggak banyak bedanya. Banyak yang belum pernah menikah tapi sudah nggak perawan lagi. Mending janda, sudah pasti ketahuan nggak perawan,” sambung Bu Ida seolah mempengaruhiku.
Aku cuma mendengarkan ocehan Bu Ida yang kunilai ada benarnya.
“Setahuku Mariana itu anaknya baik. Dia ditinggal suaminya saat sedang hamil. Hingga anaknya sudah jalan usia 2 tahun, suaminya tak ketahuan dimana, tak ada kabar beritanya,” lanjut Bu Ida lagi.
“Wah, kasihan sekali,” ujarku menunjukkan simpati.
“Kalo ada niat dan minat, nanti aku siap jadi mak jomblangnya, bos,” kata Bu Ida menggodaku.
“Bisa diatur,” balasku sambil senyum.
Melalui Bu Ida, akhirnya aku banyak tahu tentang Mariana, janda beranak satu itu. Mariana yang berkulit agak kuning, berambut lurus sebahu, bermata agak sipit, hidung bangir, tinggi sekitar 160-an sentimeter, dia adalah wanita dari etnis Dayak.
“Dia tinggal bersama kakak perempuannya. Rumahnya dari sini sekitar hampir satu kilometer,” info Bu Ida.
Aku cuma diam menyimak info Bu Ida.

***

Seperti malam-malam sebelumnya ruang depan barak kami selalu ramai pengunjung. Tapi malam ini tak tampak Mariana diantara warga yang menonton tivi. Aku gelisah, celingukan sampai ke pintu depan dan keluar barak, mencari jangan-jangan Mariana masih berada diluar. Namun usahaku sia-sia. Halaman barak kosong, sepi, cuma kumpulan pohon pisang yang disinari temaram listrik 5 watt.
Aku pun kembali masuk. Acara tivi yang tampak ramai karena suara penonton yang riuh rendah, tak menarik minatku untuk ikut menonton. Biasanya aku getol dan selalu bergairah untuk nongkrong di meja kerjaku untuk menyelesaikan pekerjaan hitungan, malam itu aku lebih memilih berbaring di tempat tidur sambil menyetel lagu-lagu The Mercy’s.
Besoknya aku pun mencari info mengenai tak munculnya Mariana ke barak kami tadi malam. Siapa lagi yang bakal kutanya kalau bukan Bu Ida.
“Tadi aku ada ketemu kakaknya, ia bilang tadi malam anak Mariana sakit,” cerita Bu Ida.
Aku mendatangi Bu Ida bukan cuma menanyakan tentang Mariana, tapi sekalian mencari cabe untuk makan siang nanti. Sudah jadi kebiasaanku tak selera makan bila tidak pedas.
“Kebetulan kalo sampeyan mau cari cabe, di kebun kakaknya Mariana banyak,” ujar Bu Ida.
Setelah menimbang-nimbang, dan mencari trik serta mengumpulkan keberanian, aku putuskan untuk pergi ke rumah kakaknya Mariana. Kupikir sambil menyelam minum air; dapat cabe sekalian bisa ketemu Mariana.
Aku pun memacu sepeda motor ke arah rumah yang dimaksud Bu Ida sebagai rumah kakaknya Mariana.
“Sampeyan jalan lurus aja, nanti di sebelah kanan jalan ada rumah kayu tanpa cat, berada di tempat yang agak tinggi, sampeyan mampir aja,” begitu tadi petunjuk dari Bu Ida.
Di halaman rumah tampak seorang wanita separuh baya sedang mencabut kacang tanah yang tumbuh memenuhi halaman yang cukup luas.
“Assalamualaikum, bu,” aku mengucap salam.
Wanita yang sudah mengetahui kedatanganku itu pun menyahut salamku.
“Ooo…..kukira tadi siapa, silakan naik ke rumah,” ujar tuan rumah sambil melangkah di depanku.
Aku pun memarkir sepeda motor di tempat yang agak teduh dibawah pohon cempedak di samping rumah.
“Yana……! Coba keluar, ini ada tamu,” seru kakaknya.
Tak berapa lama keluarlah Mariana. Pandangan kami sempat beradu. Dug…jantungku seketika berdebar, suhu tubuhku tiba-tiba memanas. Adapun Mariana langsung menunduk.
“Silakan masuk, mas,” Mariana mempersilakan sambil tetap menunduk.
“Terima kasih. Disini aja, nggak lama kok,” sahutku, karena di teras terdapat kursi panjang dari kayu ulin.
Tak berapa lama kakak Mariana muncul sambil menyuruh adiknya membikin air teh.
“Nggak usah repot-repot, mbak. Aku cuma mampir cari cabe,” ujarku.
“Cabe buat sambal maksudnya ?” Tanya kakak Mariana.
“Iya,” sahutku singkat.
Karena masih meneruskan pekerjaannya mencabut kacang tanah, kakak Mariana meminta adiknya menemaniku mencari cabe di kebun yang terletak di belakang rumah.
“Kamu temani si mas itu cari cabe,” pinta kakaknya ke Mariana.
Kami berjalan kaki ke kebun cabe yang jaraknya sekitar 200-an meter dari rumah. Mariana berjalan di depan, aku mengiringinya dari belakang.
“Namaku Irfan, nama kamu Mariana, kan ?” cetusku.
“Kok tau, bang?” Sahutnya.
“Ya iyalah. Aku tanya ke orang-orang sini,” sambutku.
Tak terasa tibalah kami di kebun cabe yang cukup luas. Mariana pun mulai mematah tangkai pohon cabe.
“Kok pohon cabenya dipatah, bukannya buah cabenya aja yang dipetik satu-satu,” tegurku heran.
“Kalo dipetik satu-satu lambat, bang. Kebiasaan kami disi dipatah aja. Nanti tanamannya diganti dengan yang baru. Lagian lebih mudah dibawa dengan tangkainya,” balas Mariana sambil terus mematah tangkai cabe.
“Cukup segitu, jangan banyak-banyak, nanti aku lambat kesini lagi,” ujarku menggoda Mariana, yang tampak senyum menyembunyikan wajahnya.
Usai memetik cabe kami kembali ke rumah. Kami disambut kakak Mariana.
“Cukup nggak cabenya segitu, kalo kurang ambil aja lagi,” kata kakak Mariana.
“Lebih dari cukup, mbak,” sahutku.
“Jangan pulang dulu. Aku lagi merebus kacang tanah, tunggu matang dan makan kacang dulu baru pulang,” kata kakak Mariana pula.
“Sudahlah mbak, nggak usah repot-repot,” balasku.
Kakak Mariana tak membalas ucapanku, ia langsung masuk rumah. Sedangkan Mariana setelah meletakkan tangkai-tangkai cabe di lantai teras, juga ikut masuk kedalam rumah.
Aku, Mariana, ditemani kakaknya yang bernama Murni, duduk di teras sambil menikmati kacang rebus sambil minum teh. Tak banyak yang kami omongkan, hanya soal pekerjaanku dan pekerjaan suami Murni.
“Suamiku kan sering jual kayu gelondongan ke penggergajian sampeyan,” ungkap Murni.
“Oh ya, siapa nama suaminya, mbak ?” Tanyaku.
“Namanya Hamdi,” jawab Murni.
Aku pun mengingat-ingat para penjual kayu yang jumlahnya banyak, yang sering menjual ke tempat kami.
“Aku ingat mbak, itu kan yang agak gemuk kuning bermata agak sipit,” ujarku menebak.
“Betul itu mas. Ini orangnya lagi pergi masuk hutan,” sahut Murni sekaligus memberitahukan keberadaan suaminya.
Mariana yang lebih diam, jadi pendengar perbincangan kami, akhirnya permisi masuk. Aku pun merasa sudah cukup lama, minta pamit pulang.
“Berapa harga cabe itu semua ?” tanyaku ke Murni.
“Sudah, nggak usah dibayar, bawa aja. Kalo perlu cabe lagi, datang aja,” ujar Murni.

***

Beberapa hari kemudian aku ketemu Murni di pasar pekan.
“Kok nggak ada ke rumah lagi cari cabe, apa sudah dapat kebun cabe yang baru, mas?” sapa Murni menggodaku.
“Ah, mbak ini bisa aja,” sahutku sambil tersenyum.
“Lagi cari apa di pasar, mas ?” tanya Murni.
“Lagi cari pakaian aja. Kok nggak sama Mariana ?” tanyaku balik.
“Mariana di rumah aja. Dia kurang suka ikut ke pasar,” jawab Murni.
“Oh gitu ya, salam aja sama Mariana,” ujarku sambil meninggalkan Murni.
Rupanya salamku tempo hari disampaikan Murni ke Mariana.
“Mariana bilang salam balik aja,” kata Murni saat ketemu aku di rumah Bu Ida.
“Masa sih,” ujarku.
“Iya, masa aku bohong. Kalo nggak percaya, mari ikut aku ke rumah,” ajak Murni.
Mendengar penuturan Murni, ada perasaan senang menyeruak dalam dadaku. “Nanti aja aku main kesana lagi,” sahutku menampik ajakan Murni. Kupikir belum saatnya aku ke sana lagi.
Malamnya aku membayangkan sosok Mariana yang akhir-akhir ini menggoda dan mengisi sisi relung perasaanku. Aku juga memikirkan status Mariana yang janda dengan anak satu. Bila aku memang berjodoh dengannya, sudah siapkah aku juga menyayangi anaknya. Terjadi pergulatan bathinku antara menginginkan Mariana dengan kesiapanku menyayangi anaknya.
Hingga menjelang subuh aku belum juga dapat memejamkan mata. Namun ada sesuatu keputusan yang akhirnya dengan tekad bulat bakal kuambil. Aku bertekad untuk mendapatkan Mariana dengan status dan keadaannya apa adanya. “Anak adalah titipan Tuhan. Bila memang aku berjodoh dengan dia, berarti Tuhan berkenan menitipkan anak itu padaku,” batinku.
Usai makan siang, setelah memberi pengarahan kepada para pekerja di penggergajian, aku memutuskan untuk bertamu ke tempat Mariana. Tekadku sudah bulat untuk menyatakan sesuatu tentang perasaanku. Dan aku pun sudah siap jika kenyataan yang kudapat bukan yang kuharapkan. “Yang penting maju, urusan diterima atau ditolak, itu urusan belakangan,” tekadku yakin.
Setibanya di tempat Mariana, disana juga tampak Hamdi, suami Murni. Semua keluarga mereka tampaknya terkumpul; Mariana dan anaknya, Murni, suaminya berikut kedua anaknya pula.
“Silakan masuk, bos,” ujar Hamdi mempersilakanku.
Aku pun masuk bergabung dengan mereka.
“Yah, beginilah keadaan kami disini,” kata Hamdi.
“Sama aja, mas. Yang penting bukan rumahnya, tapi orang-orang yang menjadi penghuninya,” balasku sok berfilosofi.
Beberapa saat dari arah dapur, Murni muncul sambil membawakan 2 gelas teh berikut sepiring singkong goreng.
“Silakan dinikmati, mas,” Murni mempersilakan.
“Terima kasih, mbak,” sahutku.
“Oh ya mas, kebetulan ada disini, saya sama bapaknya serta anak-anak sebentar lagi mau berangkat ke desa tetangga. Ada keperluan menemui saudara disana. Kami pulangnya mungkin agak malam. Tolong mas disini aja menemani Mariana, dia tinggal sendirian,” ungkap Murni yang diiyakan oleh suaminya.
“Iya bos, disini aja sampai kami kembali,” pinta Hamdi.
Sebenarnya aku sangat senang diminta menemani Mariana, tapi sikap senang sekaligus kagetku itu semampunya kusembunyikan. Aku hanya mengangguk tanda mengiyakan permintaan mereka.
Sepeninggal Murni dan suaminya, tinggallah aku dan Mariana di rumah. Aku memutar otak untuk dapat memulai pembicaraan untuk mencurahkan seluruh perasaanku ke Mariana.
“Kemarin kamu kok nggak ikut ke pasar pekan dengan kakakmu ?” tanyaku memecah kebuntuan.
“Aku malas dan jarang ke pasar, mas,” sahut Mariana.
“Kalo aku yang mengajakmu ke pasar nanti, mau nggak ?” tawarku.
“Ngapain kita ke pasar ?” balik Mariana bertanya.
“Terserah Mariana mau apa, beli pakaian, makan bakso, atau apa aja maunya,” balasku.
“Nggak ah, malas,” sahut Mariana.
“Terus maunya apa ?” tanyaku lagi.
“Nggak mau apa-apa,” sahut Mariana lagi.
Aku kehabisan kata-kata untuk meneruskan percakapan. Pikirku ini kesempatan baik mumpung berduaan untuk mencurahkan perasaanku. Lain kali belum tentu aku dapat kesempatan sebaik ini.
“Aku harus nekad. Lebih baik menahan malu daripada dapat hasil nihil,” pikirku dalam hati.
Dengan semangat untuk mendapatkan Mariana, aku bangkit dari duduk, melangkah mendekat dan duduk disamping Mariana.
“Diajak ke pasar nggak mau. Diajak apa aja juga nggak mau. Gimana kalo aku ngajak kamu pacaran sama aku?” kataku dengan nada konyol.
“Pacaran aku nggak mau,” balas Mariana.
“Nggak mau juga?” tanyaku sambil berusaha menatap wajah Mariana yang terus berusaha menghindar.
“Oke kalo nggak mau pacaran. Gimana kalo aku langsung lamar kamu, kita kawin aja,” ujarku mantap.
Mariana diam saja mendengar ucapanku. Aku pun gelisah menanti jawaban.
“Mas Irfan yakin dengan ucapan barusan. Apa mas Irfan sudah tahu persis keadaanku?” tercetus pertanyaan keluar dari mulut Mariana sambil menatapku.
“Sudah, aku sudah tahu semuanya. Dan aku sudah bertekad dan yakin dengan pilihan dan keputusanku,” sahutku tanpa nada keraguan sambil meraih tangan Mariana.
Beberapa saat kami berdua larut dalam perasaan masing-masing, perasaan bahagia. Kami berdua pun tanpa ragu saling berdekapan untuk beberapa lama. Kuremas lembut jari-jari halus Mariana. Wanita itu menundukkan wajahnya ketika wajahku mendekat, kusibakkan rambut panjangnya yang jatuh menutup sebagian wajahnya.
Kembali dia mengangkat wajahnya. Hembusan nafasnya terasa hangat di hidungku karena wajah kami hampir tak berjarak. Matanya menatapku sendu penuh makna. Entah keberanian dari mana, tanpa sadar kukecup dan kukulum bibir indah yang setengah terbuka miliknya. Ah, di luar dugaan, ternyata dia tidak marah. Mariana malah memberikan reaksi positif dengan membalas ciumanku. Maka, dengan penuh nafsu, kami berpagutan mesra. Ciuman itu berlangsung cukup lama sampai Mariana melepaskannya dengan muka merah dan nafas terengah-engah.
“Ah, mas. Jangan! Kita tidak boleh melakukan ini!” katanya setengah berbisik sambil berusaha melepaskan rengkuhanku.
Tapi aku bertahan, tak akan kulepaskan wanita cantik ini. Bibirnya terasa begitu manis dan lembut. Aku sangat menikmatinya. Lagian, sudah kepalang tanggung, pikirku.
“Kenapa, Mar, apanya yang tidak boleh?” sahutku sekenanya sambil mendaratkan kecupan di lehernya yang jenjang.
Sejenak dia meronta-ronta kecil berusaha menghindari kenakalan bibirku pada leher mulusnya, sementara tanganku tengah meremasi kemontokan buah dadanya yang masih terbalut bra tipis. Beberapa kali tangan halusnya mencoba menepis tanganku, tapi segera aku kembali ke tempat semula, sampai sesaat kemudian perlawanannya berhenti dengan sendirinya, dan berubah menjadi desah nafas memburu dan geliatan tubuh yang gelisah. Seranganku pun kukendorkan, kecupan bibirku kuperlembut, demikian juga remasan tanganku berubah menjadi elusan lembut pada kulit payudaranya dan gelitikan mesra pada puting susunya yang terasa sudah mengeras.
"Mas, sssshhh... a-aku nggak tahan,” bisiknya pendek, dekat sekali suaranya di telingaku. Dan ouw... daun telingaku dikulumnya, dijilatinya.
"Ikuti saja, Mar. Nikmati aja.” bisikku mesra sambil menarik daster dan tali BH yang menyilang di pundaknya ke bawah, sehingga memperlihatkan kesempurnaan bukit montok di depan dadanya, begitu putih dan mulus, dengan puting mungil yang sudah mengeras berwarna merah kecoklatan. Kudaratkan jilatan ujung lidahku pada benda itu, tubuh Mariana langsung menggeliat sambil mendesah panjang.
"Ssssssshhh... Aaaahh... mas, a-aku... takut! Mmmmmmhh!”
Tak kupedulikan lagi kalimat-kalimat wanita cantik itu, karena nafsuku seperti sudah di ubun-ubun, apalagi menghadapi kenyataan ternyata tubuh ibu muda ini memang tak layak untuk dilewatkan sesentipun. Desah-desah resah berhamburan dari mulut Mariana, geliatan tubuhnya sudah menunjukkan kepasrahannya kepada birahinya sendiri. Tangannya mulai melingkar di leherku, rambutku diacak-acaknya, betapa kuatnya jari lentik Mariana  mencengkeram kulit punggungku manakala puting susunya kukulum dalam waktu yang lama.
"Auw,  ampuuunn...!” desahnya lirih.
Perutnya yang rata berkulit putih dihiasi lubang pusar berbentuk bagus. Dia menggeliat erotis manakala bibirku mengecupinya. Tubuh atasnya sudah  kutelanjangi. Sekarang Mariana sudah setengah rebah dengan kepala berada di sandaran kursi, sementara tangannya kulihat meremasi payudaranya sendiri. Dia mengerang panjang dengan kepala mendongak dan menggoyang-goyang lirih ketika lubang pusarnya kukorek-korek mesra dengan lidahku. Tubuhnya yang sintal menggeliat erotis sekali, rupanya disitu adalah salah satu daerah sensitif Mariana.
"Ouw, mas... jangaaan... aku gak mau...!” bisiknya sambil tangannya menahan daguku ketika kukecupi gundukan kemaluannya dari luar celana dalam yang sudah tampak bebercak basah.
"Kenapa, Mar?" tanyaku lembut.
"Sssssshhh... aku b-belum... pernah. Malu!" jawab Mariana sambil berusaha menarik tubuhku ke atas.
Tapi aku tidak peduli, aku sudah terlanjur bernafsu. Selanjutnya tanpa permisi, celana dalamnya kusingkap ke samping. Fuih! Sebuah gundukan kecil yang dibelah tengah dengan rambut kemaluan yang tidak begitu lebat tampak didepan mataku, sebuah bentuk luar kemaluan wanita yang jarang sekali dipakai. Indah sekali! Belahan yang basah dengan warna memerah yang berdenyut-denyut pelan. Tak ayal lagi lidahku terjulur untuk menyapu dan mencicipinya. Kujilat cairan yang mulai terlihat membasahi vagina indah itu.
"Aaaaahhh... Mas! Kamu bandel.” erang Mariana dengan tubuh semakin menggeliat hebat.
Sepasang kaki panjangnya semakin terkangkang lebar, kaki sebelah kiri terjuntai ke lantai yang beralaskan tikar pandan dan kaki sebelah kanannya ditumpangkan di atas sandaran kursi setelah aku melepas celana dalamnya. Rambutku habis diacak-acaknya sambil sesekali  tangannya yang gemas mencengkeram erat kulit pundakku. Ini membuatku semakin kesetanan, ditambah aroma vaginanya yang segar dan wangi, aku jadi makin ketagihan. Bibirku menciumi bibir vaginanya berulang-ulang layaknya menciumi bibir mulutnya, sementara lidahku menyelip memasuki liangnya yang basah dan menusuk masuk sampai sedalam-dalamnya. Sesekali juga kukulum clitoris mungilnya yang sudah mulai mengeras.
"Mas, ampuuuunn... nikmat banget.” Mariana merintih-rintih dengan suara merengek seperti orang mau menangis. Pinggulnya yang bulat bergerak-gerak merespon ulah lidah dan bibirku yang terus menyerang di daerah selangkangannya.
"Ooowwh... Mas, sudah... aku nggak tahan.” rengeknya semakin memilukan.
Dan tiba-tiba wanita cantik itu bangkit dan mendorong lembut tubuhku yang tengah bersimpuh di depan vaginanya. Kuikuti saja apa yang dia inginkan. Aku telentang di tikar sedangkan Mariana mengikutinya sehingga tubuh kami saling menempel dan bertindihan mesra. Payudaranya yang montok dan kenyal itu kini menempel ketat di dadaku. Wajah kami begitu dekat hingga bisa kulihat dengan jelas paras cantiknya yang tengah diamuk birahi itu. Ough, Dia terlihat begitu mempesona.
"Mas, aku masukin ya?” desisnya dengan bibir indah gemetar. Alis lentik di atas mata bulatnya mengernyit, sementara matanya kini agak menyipit dan menatapku sendu. Dia yang tadi bilang ketakutan, kini malah meminta untuk dimasuki.
Aku pun mengabulkannya karena memang ini yang juga kutunggu-tunggu dari tadi. Aku mendorong penisku.
"Ouughhhh... pelan, Mass. Sssshhhhh... nyeri!!” keluhnya sambil mempererat pelukannya.
Kurasakan liang senggama ibu muda ini sangat sempit sekali. Burungku kesulitan untuk menembusnya. Mariana yang sudah  sangat bersemangat untuk menuntaskan gairah binalnya, mulai memutar pinggulnya, berharap dengan begitu aku bisa lebih mudah melakukannya. Dengan ekspresi nikmat campur kesakitan, di usahaku yang kelima, akhirnya amblaslah seluruh batang penisku tertanam di liang vaginanya yang sempit.
"Sssshhh... ahh, gila! Gede banget punya kamu, Mas. Hhhh... hhhhhh...” tubuh sintal Mariana ambruk ke tubuhku ketika penetrasi itu berhasil.
Aku mendiamkannya sejenak, memberi dia kesempatan untuk menarik nafas. Mariana diam tak bergerak di atas tubuhku dengan nafas memburu tak beraturan. Tubuh sintalnya yang empuk dan hangat menempel erat di atas tubuh kurusku.
Aku sudah akan mencium bibirnya saat Mariana mengeliat dan mulai menggerakkan pinggulnya. "Oughhh," gesekan-gesekan kecil kurasakan ketika vagina sempitnya mengurut-urut lembut penisku. Dan aku semakin mengaduh manakala kurasa gerakan pinggulnya semakin cepat dan kuat. Aku tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak membalasnya. Jadi, sambil berpegangan pada buah dadanya yang bulat, aku ikut mengayunkan batang kemaluanku.
"Massss,  oooohhh... sssshhhh!” hanya itu desah-desah kalimat pendek yang sering terucap dari mulut manis Mariana. Ia tampak begitu tak tahan menerima tusukan penisku di dalam lubang kemaluannya. Di sela-sela erangan dan rintihannya yang ekspresif, sesekali bibir kami berpagutan liar. Remasan gemas tanganku pada payudara montoknya yang terayun-ayun juga semakin kuat seakan tak mau lepas.
"Mas, ohhhhhh... mas, aku hampir... ooggghhh!” gerakan tubuh Mariana semakin tak beraturan. Rasanya memang sangat nikmat sekali. Pertemuan antara penisku dan vaginanya seperti membawa tubuh kami melayang ke langit ke tujuh. Rasanya, tak perlu waktu lama bagi tanggul spermaku untuk jebol dan membanjiri rahim wanita cantik itu.
"Tunggu, Mar.” desisku pendek, dan bagaikan dikomandoi, tubuh kami bisa serentak meregang dan aku terpaksa mengayunkan batang kemaluanku sekuat-kuatnya untuk menghasilkan kenikmatan secara maksimal.
"Aaaaarrgh... masss! Ammpuuuunn...!” tubuh Mariana menggelepar hebat di atas tubuhku. Kuku jarinya dengan kejam mencengkeram dadaku sebagai pelampiasan meledaknya puncak birahi kenikmatannya. Kurasakan beberapa kali semprotan hangat menyiram ujung kemaluanku yang masih menancap kuat di dalam vaginanya.
Lalu kemudian... Hening semuanya. Kulihat jarum jam di dinding menunjukkan angka 21.30. Tubuhku tetap rebah telentang, sedangkan tubuh Mariana tergolek di samping kiri membelakangiku. Ketika deru nafas memburu kami sudah mulai mereda dan ketika keringat birahi kami sudah mulai mengering, kupeluk tubuh sintal janda cantik itu dari belakang, tapi dengan lembut Mariana menepisnya. Dia lalu beringsut menjauhiku. Kudekati lagi tubuh indah itu dan kudaratkan kecupan di punggungnya yang berkulit mulus. Tapi aku langsung berhenti begitu kudengar isak tangisnya.
"Kenapa, Mar?” tanyaku lembut.
Lama tidak ada jawaban. Yang kudengar malah isak tangis Mariana yang semakin keras. Kubelai lembut pundaknya, tapi tanganku kembali ditepisnya.
"Mas, aku sedih dengan kejadian ini. Aku malu sama kamu, dan aku merasa sudah melukai hati kak Murni.” terdengar suara Mariana serak.
“Malu kepadaku? Untuk apa malu? Justru aku merasa lebih dekat dan bahagia sama kamu, Mar. Walaupun sebenarnya tidak seharusnya kita melakukan ini. Tapi aku janji akan menikahimu. Kurasa kakakmu akan bisa mengerti.” jawabku  panjang lebar.
"Aku takut terlihat hina di matamu, mas. Baru kenal sudah mau berbuat seperti ini." sahut Mariana pendek.
"Tidak, Mar. Kondisi kita saat ini adalah seorang lelaki dan wanita yang punya keinginan yang harus terpenuhi saat ini juga. Kita tidak bisa menghindari. Aku bisa mengerti kok.” sahutku lagi, sambil kutumpangkan tanganku dipinggul bulatnya. Mariana tak bereaksi walaupun masih memunggungiku.
"Lebih tepatnya harus terpenuhi malam ini, bukan hanya sesaat.” sahutnya sambil membalikkan badannya, sehingga kembali payudara montoknya menempel di dadaku. Matanya menatapku tajam penuh tantangan dan kini wajah sembab sehabis menangis ini tersenyum manis sekali.
"Sepanjang malam ini, Mar?” tanyaku menegaskan, sambil kulingkarkan lenganku ke pinggangnya yang raping.
"Iya, bukankah malam masih panjang, mas?” bisiknya manja. Wajahnya ditengadahkan ke wajahku.
Kupagut bibir tipis itu dan Mariana menyambutnya dengan begitu bergairah. Hasrat liar janda cantik yang sudah 2 tahun tidak disentuh laki-laki itu kini meletup dahsyat. Aku benar-benar tak menyangka ibu muda yang kalem dan polos bisa berubah menjadi sedemikian agresif. Batang kemaluanku yang besar dan panjang rupanya telah membikin ibu muda ini gemas setengah mati. Tak henti-hentinya tangan berjari lentiknya mengocok dan meremas-remasnya.
"Mas, aku pengen emut burungmu.” bisiknya manja sambil meremas lebih keras saat mengucap kata burung.
"Emang bisa?” sahutku menggoda.
"Boleh nggak?” dia merajuk sambil menggigit pelan pundakku.
"Iya, habisin deh.” jawabku sambil meremas pantat bulatnya.
Awalnya kurasakan Mariana masih kesulitan. Dengan sabar aku memberinya arahan karena beberapa kali penisku terkena giginya. Lumayan sakit, tapi tetap enak. Selanjutnya, saat dia mulai pintar, tubuhku dibuat melintir dan menggeliat keenakan merasakan permainan lidah dan bibir tipisnya yang membasuh batang kemaluanku dengan lembut sekali. Kadang-kadang dengan nekadnya, dia juga menelan penisku dalam-dalam dan menahannya sampai mentok di ujung kerongkongannya.
"Ehm, jangan dihabisin, Mar.” bisikku saat melihat dia hampir tersedak.
"Habis gemes aku, mas. Punya kamu panjang banget, gede lagi.” bisiknya manja, memberi alasan.
Akhirnya kami membuat posisi 69, Mariana menindihku dengan posisi mengangkangi wajahku. Kami sepakat dengan posisi ini sampai mencapai orgasme. Kembali erangan dan rintihan kami bersahutan. Gerak tubuh kami sudah tak berirama, detik-detik akhir wanita cantik itu pun sudah kurasakan. Beberapa kali kaki panjangnya meregang dan kedutan vaginanya di bibirku semakin meliar. Aksi lidah dan bibirnya pada batang kemaluanku pun semakin kasar, membuatku semakin mendekati klimaks kenikmatan.
"Eeeeeeggghhhh... mas, enaknyaa...” rengek Mariana panjang dengan tubuh menggeliat hebat. Aku menanggapinya dengan menjulurkan lidahku lebih dalam ke liang liang vaginanya yang kurasakan semakin becek dan mengedut-ngedut cepat.
"Oooowww... Mar, aku... hampir...” desahku selang tak lama setelah penisku kembali dihajar lidah dan mulut manis Mariana.
Busyeeet, bukannya melepaskan kuluman bibirnya di selangkanganku, wanita itu malah memperhebat aksi mulut dan lidahnya, ditambah kocokan tangannya pada batang kemaluanku yang semakin cepat. Apa dayaku, tak ampun lagi, diiringi erangan panjang, tubuhku pun mengejang keras seiring semprotan spermaku yang bertubi-tubi mengisi mulut manis Mariana yang semakin lengket seperti lintah menempel di tubuhku.
"Oughhh... geli, Mar!" rintihku saat ibu muda itu meremas-remas lembut kantung zakarku seperti  ingin memeras cairanku sampai habis. Setelah tetes terakhir, buru-buru Mariana bangun dari tubuhku dan menyambar gelas minuman yang ada di atas meja dan diteguknya sampai habis.
"Iih, rasanya aneh. Banyak banget, mas, kentel lagi. Kenyang deh aku, hehehe..." dia tertawa. "Tapi enak kok, asin ada gurihnya.” komentarnya mengenai pengalaman barunya.
Kembali kami berbaring di lantai beralaskan tikar pandan menikmati sisa orgasme yang baru saja melanda. Mariana telentang di sebelahku dengan rambut tampak kusut dan basah oleh keringat. Tubuhnya yang berkulit putih juga tampak mulus menggiurkan. Terlihat sinar matanya yang redup memandangku kecapekan. Wajahnya juga sedikit memucat. Kulihat jam menunjukkan pukul 23.45, tapi Murni dan suaminya masih belum pulang. Kurebahkan tubuhku disisinya, kubelai lembut rambut hitamnya yang panjang. Sambil mengecup keningnya yang sedikit nonong, kupeluk tubuh telanjang ibu muda ini, dan kami pun tertidur kelelahan.

***

Aku membuka mata saat merasakan seseorang mencium bibirku. Kulihat Mariana bersimpuh di sebelahku dengan pakaian sudah lengkap membalut tubuh sintalnya, rupanya dia yang tadi menciumku. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 05.15...
"Hah, sudah jam segini?" aku bergegas bangkit. "Kakakmu sudah pulang?" tanyaku panik.
"Eh, kenapa buru-buru? kan masih pagi. “ jawab Mariana sambil menarikpinggangku.
"Mar, kamu gila. Nanti ada yang lihat.” protesku ketika tubuh sintalnya kembali menindih tubuhku
"Kak Murni masih belum pulang." dia menjawab singkat sambil meraih batang kemaluanku, yang seperti biasa, selalu menegang di pagi hari.
"Oh, begitu..." aku menggeliat bangun dan dengan penuh semangat kembali kugumuli tubuh indah yang kini sudah berdaster lengkap itu.
"Ihh, kamu bau, mas. Nggak mau!" protesnya manja pura-pura menolak. Tapi Mariana langsung terdiam ketika batang kemaluanku kembali menembus tubuhnya.
"Mas, ooouuggghhhhhhhkk...”desisnya gemas merasakan pompaan batang penisku di liang vaginanya yang sempit. "Gila kamu! Aku berasa lagiii...” rengeknya lirih dengan tubuh menegang dan menggelinjang hebat.
"Mmmhh... tunggu, Marrr.” Kupercepat pompaanku. Tubuh Mariana makin kuat menegang. Tangannya memelukku dan mencengkeram erat ditubuhku.
"Oooowww... aku nggak tahan lagi, mas...!” Mariana berteriak keras saat orgasme melanda tubuh sintalnya. Geleparan tubuhnya yang tak terkontrol mendorong dengan cepat semburatnya spermaku yang kembali memenuhi liang kemaluannya.
Kembali kami terkapar di atas lantai. Kali ini Mariana tidak sampai telanjang, hanya dasternya saja yang tersingkap sampai ke perut. Setelah nafasnya kembali teratur, wanita itu beringsut bangkit sambil memungut celana dalamnya dan dimasukkannya ke dalam kantong.
"Makasih banget untuk malam panjang ini, mas. Aku tidak akan melupakan malam indah ini, tapi aku berharap cukup sekali ini saja. Jangan sampai kita ulang lagi sampai kita menikah nanti.” kata Mariana sendu.
Akupun mengangguk saja, tidak ada kalimat yang mampu terucap dari mulutku. Setelah mandi dan berpakaian, Mariana mengantarku sampai ke pintu depan.
"Besok aku akan datang melamarmu." bisikkku sebelum pergi.
Mariana tersenyum dan mengangguk, "Aku tunggu, mas."
loading...

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Janda Cantik Kebun Cabe "

Posting Komentar