Kupuaskan Istrimu Kawan
Aku mempunyai sahabat sedari kecil, kami tumbuh bersama, kenakalan kecil, belajar mabuk, melamar pekerjaan, bahkan main cewek pun kami berangkat bersama. Robert memang ganteng dan lumayan playboy. Yang aku tahu pasti, dia termasuk hiper. Two in one selalu menjadi menu wajib kalo kami mampir ke jl Mayjen Sungkono, Surabaya. Dia juga mempunyai banyak teman mahasiswi yang ‘siap pakai’ dan lucunya dia sering menawari aku bercinta dengan gadis mahasiswinya di depan hidungnya. Terkadang dia mengajak threesome. Aku sih ok ok saja, why not… enak kok. Dan lagi, ketika itu aku cuma karyawan swasta yang bergaji kecil, sedang Robert sudah memiliki usaha sendiri yang cukup sukses.
Sayang sekali di umur 35, sahabatku ini mengalami kecelakaan yang membuat dia terpaksa menggunakan kursi roda. Padahal dia baru 2 tahun menikah dan dikaruniai satu anak laki-laki yang cukup lucu.
Peristiwa ini benar-benar membanting dirinya, untunglah Arini adalah istri yang setia dan selalu memompa semangat hidupnya agar Robert tidak menyerah. Sebagai sahabat, akupun tak bosan-bosannya menghibur agar dia mau mencoba mengikuti terapi.
Seperti biasa, di malam minggu, aku main ke rumahnya, daripada ngluyur nggak karuan, maklum setua ini aku masih membujang.
“Ron, elo masih ingat jaman kita gila dulu? Minimal gue selalu ambil dua cewek, hahaha... dan mereka selalu ampun-ampun kalo gue ajak lembur.” Robert tersenyum-senyum sendiri. Aku memahami, rupanya Robert terguncang karena kemampuan sex yang dibanggakannya mendadak tercerabut dari dirinya.
“Ron, gue harus sampaikan sesuatu ke elo... kenapa gue selalu bicara tentang sex ke elo. Ehm... gini, gue kesian sama Arini... dia istri yang baik dan setia, tetapi gue tidak mungkin memaksa dia untuk terus menerus mendampingi gue. Dia punya hak untuk bahagia. Dan lagi... Ehh... dan lagi...” Robert terdiam cukup lama.
“Istriku masih muda, 25 tahun… gue nggak ingin dia nanti menyeleweng. Lebih baik kami berpisah baik-baik, dia bisa mendapatkan suami yang lebih baik.” matanya menerawang.
”Tetapi Arini tetap bersikukuh tidak mau. Baginya menikah cuma sekali dalam hidupnya. Tetapi gue kuatir, Ron... gue kuatir... karena... Ehhh, karena... Arini nafsunya besar. Bisa kamu bayangkan betapa tersiksanya dia. Kami dulu hampir setiap hari bercinta.” Robert terdiam lagi, lama.
“Kemarin dia bicara: ‘mas, aku nggak akan menyeleweng, karena cintaku sudah absolut. Kalo kamu memaksa untuk berpisah, aku tidak bisa. Memang kalau bicara sex, sangat berat bagiku. Tapi kita bisa mencoba pakai tangan kan, mas? Mas bisa puasin pakai tangan mas, pake lidah juga masih bisa... kita coba dulu, mas...’”
”Kami mencobanya, tetapi karena lumpuhku, jari dan lidahku tidak bisa maksimal, dan dia tidak mampu orgasme. Sempat juga pakai dildo. Itupun juga gagal. Ini lebih disebabkan posisi tubuhku yang tidak mendukung. Akhirnya aku mengatakan bahwa bagaimana kalau kamu mencoba pakai cowok beneran. Kita bisa pakai gigolo, asal kamu bercinta di depanku, jangan di belakangku. Aku bilang bahwa ini hanya murni untuk menyenangkan dirinya. Kamu tahu... istriku hanya menangis, dalam hatinya sebenarnya dia mungkin mau, tapi entahlah...” Robert sudah tidak berloe gue lagi.
”Hhh... sebenarnya aku mau minta tolong kamu... pertama, kamu temanku, sudah seperti saudara sendiri, kamu belum menikah, kamu sekarang juga sudah nggak segila dulu... mungkin udah berhenti ya? Jadi aku minta tolong... bener-bener minta tolong... puaskan istriku...” kata Robert, suranya sedikit tercekat.
“No.. no.. no.. nggak, Rob. Aku nggak mau. Maaf, aku gak bisa bantu yang seperti itu. Arini wanita baik-baik, aku melihatnya seperti malaikat. Dan aku sungguh menghormatinya. Sorry, aku pulang dulu, Rob... tolong pembicaraan ini jangan diteruskan.” aku menghindar.
Arini adalah wanita sempurna, cantik, hatinya lembut, setia ke suami, tidak neko-neko, dan tubuhnya benar-benar sempurna. Robert benar-benar sinting kalo aku diminta meniduri istrinya.
***
Tiga minggu kemudian, pagi-pagi aku mampir lagi ke rumahnya, aku pikir dia sudah tidak mau membicarakan itu lagi, ternyata aku salah. Kali ini dia memintaku sambil memohon, bahkan matanya berkaca-kaca. “Ron, please, bantu aku, kamu tidak kasihan lihat istriku? Kami sudah sepakat kalau kamu dan dia tidak perlu ML. Mungkin memuaskan dengan tangan atau lidah?”
Aku sungguh tidak setuju dengan rencananya, tapi melihat permintaannya, hatiku trenyuh. “Ok, Rob, aku coba bantu, tapi aku perlu bicara dulu dengan Arini...”
“Bicaralah dengannya, dia ada di beranda belakang, bicaralah...” desak Robert.
Perlahan aku melangkah ke bagian belakang rumahnya yang besar, aku lihat Arini sedang menyirami bunga, sinar matahari pagi turut menyinari wajahnya yang lembut, kimononya yang berwarna merah kontras sekali dengan kulitnya yang putih bersih, sungguh anggun... Mungkin Robert sudah memberi tahu karena dia seperti sudah menunggu kedatanganku.
“Hai, Rin... mana si kecil Ardi, masih tidur ya?” tanyaku basa-basi.
“Hai, mas. Iya, Ardi masih bobok... tumben datang pagi begini, udah sarapan belum?” Arini tersenyum lembut. Wajahnya hanya ber make-up tipis, begitu sempurna.
”Mmm, udah kok… Uum, aku bantu potongin anggrek ya? Dulu aku suka bantu ibuku merawat anggrek… ah, ini sepertinya kepanjangan, Rin... coba deh dipotong lebih pendek lagi, supaya lebih cepat berbunga.” kataku sok serius.
“Mas, aku sangat mencintai mas Robert. Akupun tahu dia sungguh mencintaiku. Dia adalah suami yang pertama dan terakhir...” suaranya tercekat, wajahnya menunduk. Tak kusangka Arini bicara langsung ke pokok persoalan. Ini lebih baik, karena semakin lama disini, aku semakin canggung.
“Aku sungguh berharap, mas Ronny tidak menganggapku wanita murahan. Mas Robert bilang bahwa kalau melihat aku bahagia maka dia juga bahagia. Jadi nanti apa yang kita lakukan harus masih dalam koridor saling menghormati ya, mas...” kini matanya berkaca-kaca.
“Rin, aku ikuti apa maumu, kalau nanti kamu minta berhenti, aku berhenti. No hurt feeling... jangan kuatir aku tersinggung, kamu adalah wanita yang paling aku hormati setelah ibuku. Aku... aku akan memperlakukanmu dengan terhormat.“ bisikku.
Perlahan Arini menarik tanganku menuju lantai dua, mungkin ini kamar tamu. Interior kamar sungguh nyaman, warna warna soft mendominasi, mulai dari warna bedcover, bantal dan gorden terkomposisi dengan baik, benar-benar mendapat sentuhan wanita.
“Ummm... bagaimana dengan Robert, dia pernah bilang kalo harus sepengetahuan dia.” tanyaku kuatir, aku tidak mau dituduh mengkhianati sahabat sendiri.
“Mas Robert nanti datang setelah dia rasa kita ada hubungan chemistry yang lebih jauh. Aku juga keberatan kalo mas menyentuhku di depan mas Robert terlalu terus terang. Aku tidak mau hatinya sakit. Dan ditahap awal ini aku sungguh berharap kita tidak terlalu jauh. Mungkin aku belum terlalu siap... dan maaf kalo tiba-tiba aku minta berhenti, mas ngerti kan perasaanku?” Arini berkata dengan wajah menunduk. Tangannya terlihat gemetar ketika perlahan-lahan membuka bedcover. Aku hanya mengangguk tanpa bicara.
Lalu Arini berjalan menuju meja rias, membelakangiku, perlahan dilepas cincin kawin di jarinya, “Aku tidak bisa bercinta dengan orang lain dengan tetap memakai cincin ini…” katanya berbisik.
“Maafkan aku, Rin… aku akan meperlakukan kamu dengan baik.” bisikku dalam hati.
Perlahan dia berbalik menghadapku sambil membuka gaunnya, ternyata di balik kimononya, Rini hanya memakai lingerie warna pink, G string plus stocking putih berenda. “ Aku tidak mau sembarangan untuk memulainya. Ini aku pakai juga untuk menghormati mas Ronny.” Arini berjalan perlahan ke arahku. Aku hanya bisa menahan nafas, dadaku sesak bergemuruh, rasanya sulit untuk bernafas, rasanya aku tidak akan bisa menyentuhnya, dia terlalu indah, Arini terlalu indah untukku… kakiku lemas.
Dengan perlahan Arini membuka kancing bajuku, sedikit mengelus dadaku yang berbulu, wajahnya masih menunduk. Tanganku menyentuh rambutnya lembut, kemudian aku cium perlahan keningnya. Dengan bertelanjang dada, tanpa melepas celana panjangku, kutuntun Arini ke tempat tidur. Aku peluk lembut, aku ciumi keningnya berulang kali. Turun ke pelipis, lama aku cium di situ. Aku harus membuatnya rileks.
Matanya yang indah tampak berkaca-kaca. Hembusan nafasnya masih memburu, bergetar. Aku mengerti, Arini masih belum siap.
Aku bisikkan kata-kata lembut ke telinganya, ”Rin, kamu santai saja, aku nggak akan menyentuh yang nggak semestinya kok. Jangan kuatir, kita tidak terlalu jauh, ini hanya semacam perkenalan saja. Ok?“
Arini mengangguk sambil memejamkan matanya, mencoba menghayati.
Kemudian bibirku menyentuh pipinya, harum Kenzo di lehernya, menuntunku ke arah sana. Lehernya sungguh indah, bibirku menyelusuri leher jenjangnya sambil sekilas menciumi belakang telinganya.
“Ahhhhhh... mas... ahhhh...” nafasnya dihembuskan panjang, rupanya tadi dia terlalu tegang. Aku tetap mencium, tidak beranjak dari sekitaran pipi, kening, leher dan telinga. Sengaja tidak kucium bibirnya, takut membuat moodnya jadi hilang. Tetapi ternyata Arini sendiri yang mencari bibirku, dan mencium lembut perlahan. Badanku merasa meremang.
Kemudian kami berpandangan dekat, matanya lekat menghunjam mataku, seperti mencari kepercayaan disitu. Ini adalah titik kritis, berhenti atau lanjut...
Perlahan, Arini memejamkan matanya, bibirnya sedikit terbuka, aku mengerti kalau ini semua bisa berlanjut lebih jauh. Kucium lama dan lembut bibirnya yang indah itu.
Perlahan bibirku turun ke leher, sedikit ke bawah. Turun... turun ke belahan dadanya yang ranum. Wanginya sungguh memabukkan. Arini hanya melenguh pelan, “Eehhhhh... mas...”
Tanganku mulai mengelus pahanya, aku gosok perlahan, tanganku berhenti ketika jemari Arini menyentuh tanganku. Ah, mungkin aku terlalu jauh... ternyata jemari Arini menggosok permukaan lenganku. Kulanjutkan lagi gosokan tanganku ke pangkal pahanya.
Kusentuh miss V-nya yang hangat. Aku tidak membuat gerakan yang tiba- tiba, semua harus mengalir lembut. Cukup lama jemariku menyentuh bulu- bulunya. Bibirnya terasa dingin, Arini sudah mulai terangsang… sambil masih mencium lembut bibirnya, jemariku mulai menyentuh klitorisnya. Begitu tersentuh, Arini langsung merintih, nafasnya memburu.
”Mas… uffff, mas... fiiuhhh…” cepat sekali vaginanya basah. Aku memahami, mungkin sudah satu tahun Arini tidak disentuh Robert.
Bibirku perlahan mulai mencium dari belahan dada menuju bukit indahnya. Belum pernah kulihat payudara seranum ini. Lidahku menari-nari di ujung putingnya yang merah muda. Aku sentuh dengan ujung lidah, kemudian sedikit aku sedot, lalu aku lepas lagi, begitu berulang-ulang. Nikmat sekali.
Aku lirik wajah Arini, sudah merah padam, nafasnya tersengal-sengal. “Geliii... aaahhhh... geli, mas... jangan lama-lama... geliii... aduuuuhhh...” rintihnya.
Sengaja aku teruskan jilatanku, dengan sedikit mengeluarkan erangan, agar Arini mengerti kalo aku sendiri juga super terangsang. Eranganku dengan erangannya kini bersahut-sahutan. Kepala Arini bolak-balik terbangun, mungkin karena dia tidak tahan dengan gelinya. Jemariku bertambah cepat menggosok klitorisnya. Tiba-tiba jemari Arini meremas rambutku dan kedua tangannya pun menekan kepalaku, sehingga aku sulit bernafas karena terbenam di buah dadanya. Pinggul Arini terangkat tinggi sambil merintih panjang.
“Masssssss... ahhhhh...” wanita cantik itu Orgasme!
Pinggulnya kembali terhempas ke tempat tidur yang langsung terayun-ayun, badannya melemas, tangannya lunglai ke bawah, sambil berkali-kali menelan ludahnya Arini mulai menangis memalingkan wajahnya.
Aku ciumi lembut kepalanya, kucium air matanya di pipi, kemudian kucium tipis bibirnya.
Perlahan kepalaku turun ke leher, dada, perut, pusar dan berhenti di bulu-bulu kemaluannya. Lidahku mulai menari di klitorisnya yang super basah. Arini hanya terdiam.
Aku masih sibuk menjilati vaginanya yang wangi. Arini mulai recovery lagi… jemari lentiknya meremas rambutku. Dagunya terangkat ke atas, nafasnya terputus-putus memburu. Perlahan kuturunkan celanaku… bibirku kembali ke atas, mencium pusarnya, mengecup putingnya kemudian menyentuh bibirnya. Mataku beradu dengan matanya. Pandangan mataku bertanya, haruskah kuteruskan…
Arini mengerti kalau batangku tengah menempel di kemaluannya. Perlahan kakinya melingkar ke pahaku. Mata kami tetap berpandangan. Kugesekkan batangku perlahan-lahan, Arini sedikit merintih, bibirnya terbuka.
Kepala batangku mulai menekan, menekan… sedikit masuk, masuk lagi perlahan, lalu kaki Arini menekan pinggulku sehingga batangku lebih dalam masuk. Masuk seluruhnya... badanku meremang, batangku terasa hangat. Mata kami masih beradu pandang... tiba-tiba di sudut matanya muncul air bening yang mengalir perlahan ke pipinya. Arini kembali menangis...
Kembali aku cium lembut bibirnya. Pinggulku tidak langsung aku gerakkan, agar dia merasa nyaman dulu dengan batangku di dalam sana. Lalu perlahan aku mulai gerakkan pinggulku sedikit demi sedikit, pelan-pelan... Arini merintih, ”Mas... aghhhhh...”
Gerakan lebih kupercepat. Aku rasakan batangku masuk sepenuhnya ke dalam vaginanya. Tempat tidur mulai berguncang, bunyi geritan besi tempat tidur mulai keras terdengar.
Tiba-tiba Arini memelukku erat, bibirnya mendekat ke telingaku dan berbisik, ”Kok besar sekali, mas? Terima kasih... nikmat sekali, mas... ooohhh... nikmat!”
Arini kini lebih agresif menciumku, lidahnya mulai berani masuk ke mulutku. Tubuh kami berguling, kini dia di atasku. Otomatis batangku lebih menghunjam ke dalam, posisi ini favoritku karena aku bisa sepenuhnya melihat kecantikannya, melihat lekuk tubuhnya, meremas dada dan pinggulnya lebih leluasa.
Gerakan tubuh Arini mulai liar, wajahnya tengadah ke atas dengan mata terpejam. Gerakannya malah lebih cepat dari gerakanku. Tubuhnya mulai menggigil dipenuhi peluh yang mengucur deras di sela belahan buah dadanya, pemandangan ini membuat tubuhnya tampak sensual, kujilati semua peluhnya dengan nikmat. Arini mendekati puncak... sementara aku susah payah bertahan agar tidak ejakulasi duluan.
”Aaaaaa... aaaaaaahhhh... aahh!” dia mulai tidak malu mengeluarkan rintihan dan erangan suaranya lebih keras. Tiba-tiba tubuhnya menghentak keras, lenguhannya memanjang, kemudian tubuhnya lunglai ambruk di tubuhku. Segera kupeluk erat dan kucium lembut keningnya. Aku lega... senang bisa memuaskannya.
”Terima kasih, mas... terima kasih... aku belum pernah merasa nikmat seperti ini, dua kali orgasme.” bisik Arini.
”Aku bisa teruskan kalo kamu mau, Rin.” bisikku sambil menciumi pelipisnya.
”Terima kasih... may be next time... sekarang giliran mas Ronny, mas belum puas kan?”
Aku tersenyum dan kugelengkan kepalaku. ”No, tidak perlu... itu tidak penting. Kamu bisa menikmati, itu lebih penting. Kalau aku turut mencari kepuasan, artinya aku tidak menghargai kamu. Semua ini untuk kamu, Rin... hanya untuk kamu.” dalam hati kumaki-maki diriku, mengapa aku sok suci. Tetapi tak bisa kumaafkan diriku kalau aku ikut menikmati kesempatan emas ini, Arini bersedia bercinta denganku artinya dia sudah menghempaskan semua harga dirinya dihadapanku. Aku menghargai dan menghormatinya.
”Mas, kamu baik sekali? Sungguh kamu baiiiikk sekali.” Arini memelukku erat lama sekali sampai aku terengah-engah karena kepalaku terbenam di belahan payudaranya. Sebenarnya aku ingin meneruskan dengan melumat dan mengigit gigit putingnya, tapi aku tidak mau merusak suasana syahdu ini.
”Mengapa Robert tidak kemari, bukankah dia minta kita bercinta di depannya. Aku tidak mau dikatakan mengkhianati teman...”
”Mas Robert mungkin sudah melihat kita dari tadi, dia ada di ruangan di balik kaca meja rias, itu kaca tembus pandang, mas.” Arini menjelaskan ketika melihat mataku memandang pintu.
”Umm... mas gak bersih-bersih badan? Aku bantu di kamar mandi yuk...“ katanya sambil menarik tanganku.
Kami saling menggosok badan, aku remas lembut buah dadanya dari belakang dan mencium lembut punggungnya. Arini kembali merintih, tubuhnya berbalik kemudian melumat bibirku, benar-benar agresif. Tiba-tiba Arini jongkok dan cepat menggenggam batangku, sedetik kemudian mulutnya mengulum milikku yang makin mengeras penuh. Aku benar-benar tidak menduga Arini melakukan itu. Tindakannya membuat kakiku lumpuh.
”Jangan, Rin... jangan... nanti aku keluar. Aahhh... Rin... sudah... please...” rintihku.
Arini segera berdiri lagi lalu berbalik menghadap shower dinding. Aku mengerti, dia ingin aku masuk dari belakang. Dengan guyuran air hangat, aku masukkan batangku cepat, aku sudah tidak tahan lagi, nafsuku sudah memuncak, Arini pun mengerakkan tubuhnya mengimbangi tusukanku.
”Aaahhh... mas... aku... aku... ahhh... aku...” tubuhnya kembali menggeliat dan mengejang, jemarinya kuat meremas tangkai shower, sementara aku benar-benar tidak dapat menguasai diriku. Spermaku yang tertahan dari tadi akhirnya mau tak mau menyembur keluar, masuk jauh ke relung vaginanya.
”Shit! Mengapa aku tidak bisa menahannya?” Arini kembali jongkok dan kini membersihkan lelehan spremaku dengan lidahnya. Aduh, aku merasa geli sekali. Dia kocok-kocok lagi agar semua spermaku keluar. Kemudian mengakhirinya dengan sedotan panjang di ujung batangku.
”Ahhh... Arini... kenapa aku harus ejakulasi?”
Selesai bebersih diri dan memakai baju, kami keluar kamar. Rupanya Robert sudah menunggu di depan TV, dia tersenyum dari kejauhan. Aku merasa jengah, merasa tidak enak. Sementara Arini menunduk dan berjalan ragu ke sebelah suaminya.
Dari kursi rodanya, Robert memeluk pinggang istrinya. ”Terima kasih, Ron, kamu sahabat yang baik. Aku sudah melihat percintaan kalian tadi. Aku berharap kamu tidak keberatan untuk meneruskan nanti.”
Aku hanya mengangguk pelan. Bisakah aku hanya bertahan murni bercinta tanpa melibatkan perasaan? Aku tidak yakin dengan diriku. Aku tidak yakin nanti tidak jatuh cinta kepada Arini... dan aku yakin Arini pun mempunyai perasaan yang sama. Sorot matanya ketika bercinta tadi menunjukkan itu.
Sayang sekali di umur 35, sahabatku ini mengalami kecelakaan yang membuat dia terpaksa menggunakan kursi roda. Padahal dia baru 2 tahun menikah dan dikaruniai satu anak laki-laki yang cukup lucu.
Peristiwa ini benar-benar membanting dirinya, untunglah Arini adalah istri yang setia dan selalu memompa semangat hidupnya agar Robert tidak menyerah. Sebagai sahabat, akupun tak bosan-bosannya menghibur agar dia mau mencoba mengikuti terapi.
Seperti biasa, di malam minggu, aku main ke rumahnya, daripada ngluyur nggak karuan, maklum setua ini aku masih membujang.
“Ron, elo masih ingat jaman kita gila dulu? Minimal gue selalu ambil dua cewek, hahaha... dan mereka selalu ampun-ampun kalo gue ajak lembur.” Robert tersenyum-senyum sendiri. Aku memahami, rupanya Robert terguncang karena kemampuan sex yang dibanggakannya mendadak tercerabut dari dirinya.
“Ron, gue harus sampaikan sesuatu ke elo... kenapa gue selalu bicara tentang sex ke elo. Ehm... gini, gue kesian sama Arini... dia istri yang baik dan setia, tetapi gue tidak mungkin memaksa dia untuk terus menerus mendampingi gue. Dia punya hak untuk bahagia. Dan lagi... Ehh... dan lagi...” Robert terdiam cukup lama.
“Istriku masih muda, 25 tahun… gue nggak ingin dia nanti menyeleweng. Lebih baik kami berpisah baik-baik, dia bisa mendapatkan suami yang lebih baik.” matanya menerawang.
”Tetapi Arini tetap bersikukuh tidak mau. Baginya menikah cuma sekali dalam hidupnya. Tetapi gue kuatir, Ron... gue kuatir... karena... Ehhh, karena... Arini nafsunya besar. Bisa kamu bayangkan betapa tersiksanya dia. Kami dulu hampir setiap hari bercinta.” Robert terdiam lagi, lama.
“Kemarin dia bicara: ‘mas, aku nggak akan menyeleweng, karena cintaku sudah absolut. Kalo kamu memaksa untuk berpisah, aku tidak bisa. Memang kalau bicara sex, sangat berat bagiku. Tapi kita bisa mencoba pakai tangan kan, mas? Mas bisa puasin pakai tangan mas, pake lidah juga masih bisa... kita coba dulu, mas...’”
”Kami mencobanya, tetapi karena lumpuhku, jari dan lidahku tidak bisa maksimal, dan dia tidak mampu orgasme. Sempat juga pakai dildo. Itupun juga gagal. Ini lebih disebabkan posisi tubuhku yang tidak mendukung. Akhirnya aku mengatakan bahwa bagaimana kalau kamu mencoba pakai cowok beneran. Kita bisa pakai gigolo, asal kamu bercinta di depanku, jangan di belakangku. Aku bilang bahwa ini hanya murni untuk menyenangkan dirinya. Kamu tahu... istriku hanya menangis, dalam hatinya sebenarnya dia mungkin mau, tapi entahlah...” Robert sudah tidak berloe gue lagi.
”Hhh... sebenarnya aku mau minta tolong kamu... pertama, kamu temanku, sudah seperti saudara sendiri, kamu belum menikah, kamu sekarang juga sudah nggak segila dulu... mungkin udah berhenti ya? Jadi aku minta tolong... bener-bener minta tolong... puaskan istriku...” kata Robert, suranya sedikit tercekat.
“No.. no.. no.. nggak, Rob. Aku nggak mau. Maaf, aku gak bisa bantu yang seperti itu. Arini wanita baik-baik, aku melihatnya seperti malaikat. Dan aku sungguh menghormatinya. Sorry, aku pulang dulu, Rob... tolong pembicaraan ini jangan diteruskan.” aku menghindar.
Arini adalah wanita sempurna, cantik, hatinya lembut, setia ke suami, tidak neko-neko, dan tubuhnya benar-benar sempurna. Robert benar-benar sinting kalo aku diminta meniduri istrinya.
***
Tiga minggu kemudian, pagi-pagi aku mampir lagi ke rumahnya, aku pikir dia sudah tidak mau membicarakan itu lagi, ternyata aku salah. Kali ini dia memintaku sambil memohon, bahkan matanya berkaca-kaca. “Ron, please, bantu aku, kamu tidak kasihan lihat istriku? Kami sudah sepakat kalau kamu dan dia tidak perlu ML. Mungkin memuaskan dengan tangan atau lidah?”
Aku sungguh tidak setuju dengan rencananya, tapi melihat permintaannya, hatiku trenyuh. “Ok, Rob, aku coba bantu, tapi aku perlu bicara dulu dengan Arini...”
“Bicaralah dengannya, dia ada di beranda belakang, bicaralah...” desak Robert.
Perlahan aku melangkah ke bagian belakang rumahnya yang besar, aku lihat Arini sedang menyirami bunga, sinar matahari pagi turut menyinari wajahnya yang lembut, kimononya yang berwarna merah kontras sekali dengan kulitnya yang putih bersih, sungguh anggun... Mungkin Robert sudah memberi tahu karena dia seperti sudah menunggu kedatanganku.
“Hai, Rin... mana si kecil Ardi, masih tidur ya?” tanyaku basa-basi.
“Hai, mas. Iya, Ardi masih bobok... tumben datang pagi begini, udah sarapan belum?” Arini tersenyum lembut. Wajahnya hanya ber make-up tipis, begitu sempurna.
”Mmm, udah kok… Uum, aku bantu potongin anggrek ya? Dulu aku suka bantu ibuku merawat anggrek… ah, ini sepertinya kepanjangan, Rin... coba deh dipotong lebih pendek lagi, supaya lebih cepat berbunga.” kataku sok serius.
“Mas, aku sangat mencintai mas Robert. Akupun tahu dia sungguh mencintaiku. Dia adalah suami yang pertama dan terakhir...” suaranya tercekat, wajahnya menunduk. Tak kusangka Arini bicara langsung ke pokok persoalan. Ini lebih baik, karena semakin lama disini, aku semakin canggung.
“Aku sungguh berharap, mas Ronny tidak menganggapku wanita murahan. Mas Robert bilang bahwa kalau melihat aku bahagia maka dia juga bahagia. Jadi nanti apa yang kita lakukan harus masih dalam koridor saling menghormati ya, mas...” kini matanya berkaca-kaca.
“Rin, aku ikuti apa maumu, kalau nanti kamu minta berhenti, aku berhenti. No hurt feeling... jangan kuatir aku tersinggung, kamu adalah wanita yang paling aku hormati setelah ibuku. Aku... aku akan memperlakukanmu dengan terhormat.“ bisikku.
Perlahan Arini menarik tanganku menuju lantai dua, mungkin ini kamar tamu. Interior kamar sungguh nyaman, warna warna soft mendominasi, mulai dari warna bedcover, bantal dan gorden terkomposisi dengan baik, benar-benar mendapat sentuhan wanita.
“Ummm... bagaimana dengan Robert, dia pernah bilang kalo harus sepengetahuan dia.” tanyaku kuatir, aku tidak mau dituduh mengkhianati sahabat sendiri.
“Mas Robert nanti datang setelah dia rasa kita ada hubungan chemistry yang lebih jauh. Aku juga keberatan kalo mas menyentuhku di depan mas Robert terlalu terus terang. Aku tidak mau hatinya sakit. Dan ditahap awal ini aku sungguh berharap kita tidak terlalu jauh. Mungkin aku belum terlalu siap... dan maaf kalo tiba-tiba aku minta berhenti, mas ngerti kan perasaanku?” Arini berkata dengan wajah menunduk. Tangannya terlihat gemetar ketika perlahan-lahan membuka bedcover. Aku hanya mengangguk tanpa bicara.
Lalu Arini berjalan menuju meja rias, membelakangiku, perlahan dilepas cincin kawin di jarinya, “Aku tidak bisa bercinta dengan orang lain dengan tetap memakai cincin ini…” katanya berbisik.
“Maafkan aku, Rin… aku akan meperlakukan kamu dengan baik.” bisikku dalam hati.
Perlahan dia berbalik menghadapku sambil membuka gaunnya, ternyata di balik kimononya, Rini hanya memakai lingerie warna pink, G string plus stocking putih berenda. “ Aku tidak mau sembarangan untuk memulainya. Ini aku pakai juga untuk menghormati mas Ronny.” Arini berjalan perlahan ke arahku. Aku hanya bisa menahan nafas, dadaku sesak bergemuruh, rasanya sulit untuk bernafas, rasanya aku tidak akan bisa menyentuhnya, dia terlalu indah, Arini terlalu indah untukku… kakiku lemas.
Dengan perlahan Arini membuka kancing bajuku, sedikit mengelus dadaku yang berbulu, wajahnya masih menunduk. Tanganku menyentuh rambutnya lembut, kemudian aku cium perlahan keningnya. Dengan bertelanjang dada, tanpa melepas celana panjangku, kutuntun Arini ke tempat tidur. Aku peluk lembut, aku ciumi keningnya berulang kali. Turun ke pelipis, lama aku cium di situ. Aku harus membuatnya rileks.
Matanya yang indah tampak berkaca-kaca. Hembusan nafasnya masih memburu, bergetar. Aku mengerti, Arini masih belum siap.
Aku bisikkan kata-kata lembut ke telinganya, ”Rin, kamu santai saja, aku nggak akan menyentuh yang nggak semestinya kok. Jangan kuatir, kita tidak terlalu jauh, ini hanya semacam perkenalan saja. Ok?“
Arini mengangguk sambil memejamkan matanya, mencoba menghayati.
Kemudian bibirku menyentuh pipinya, harum Kenzo di lehernya, menuntunku ke arah sana. Lehernya sungguh indah, bibirku menyelusuri leher jenjangnya sambil sekilas menciumi belakang telinganya.
“Ahhhhhh... mas... ahhhh...” nafasnya dihembuskan panjang, rupanya tadi dia terlalu tegang. Aku tetap mencium, tidak beranjak dari sekitaran pipi, kening, leher dan telinga. Sengaja tidak kucium bibirnya, takut membuat moodnya jadi hilang. Tetapi ternyata Arini sendiri yang mencari bibirku, dan mencium lembut perlahan. Badanku merasa meremang.
Kemudian kami berpandangan dekat, matanya lekat menghunjam mataku, seperti mencari kepercayaan disitu. Ini adalah titik kritis, berhenti atau lanjut...
Perlahan, Arini memejamkan matanya, bibirnya sedikit terbuka, aku mengerti kalau ini semua bisa berlanjut lebih jauh. Kucium lama dan lembut bibirnya yang indah itu.
Perlahan bibirku turun ke leher, sedikit ke bawah. Turun... turun ke belahan dadanya yang ranum. Wanginya sungguh memabukkan. Arini hanya melenguh pelan, “Eehhhhh... mas...”
Tanganku mulai mengelus pahanya, aku gosok perlahan, tanganku berhenti ketika jemari Arini menyentuh tanganku. Ah, mungkin aku terlalu jauh... ternyata jemari Arini menggosok permukaan lenganku. Kulanjutkan lagi gosokan tanganku ke pangkal pahanya.
Kusentuh miss V-nya yang hangat. Aku tidak membuat gerakan yang tiba- tiba, semua harus mengalir lembut. Cukup lama jemariku menyentuh bulu- bulunya. Bibirnya terasa dingin, Arini sudah mulai terangsang… sambil masih mencium lembut bibirnya, jemariku mulai menyentuh klitorisnya. Begitu tersentuh, Arini langsung merintih, nafasnya memburu.
”Mas… uffff, mas... fiiuhhh…” cepat sekali vaginanya basah. Aku memahami, mungkin sudah satu tahun Arini tidak disentuh Robert.
Bibirku perlahan mulai mencium dari belahan dada menuju bukit indahnya. Belum pernah kulihat payudara seranum ini. Lidahku menari-nari di ujung putingnya yang merah muda. Aku sentuh dengan ujung lidah, kemudian sedikit aku sedot, lalu aku lepas lagi, begitu berulang-ulang. Nikmat sekali.
Aku lirik wajah Arini, sudah merah padam, nafasnya tersengal-sengal. “Geliii... aaahhhh... geli, mas... jangan lama-lama... geliii... aduuuuhhh...” rintihnya.
Sengaja aku teruskan jilatanku, dengan sedikit mengeluarkan erangan, agar Arini mengerti kalo aku sendiri juga super terangsang. Eranganku dengan erangannya kini bersahut-sahutan. Kepala Arini bolak-balik terbangun, mungkin karena dia tidak tahan dengan gelinya. Jemariku bertambah cepat menggosok klitorisnya. Tiba-tiba jemari Arini meremas rambutku dan kedua tangannya pun menekan kepalaku, sehingga aku sulit bernafas karena terbenam di buah dadanya. Pinggul Arini terangkat tinggi sambil merintih panjang.
“Masssssss... ahhhhh...” wanita cantik itu Orgasme!
Pinggulnya kembali terhempas ke tempat tidur yang langsung terayun-ayun, badannya melemas, tangannya lunglai ke bawah, sambil berkali-kali menelan ludahnya Arini mulai menangis memalingkan wajahnya.
Aku ciumi lembut kepalanya, kucium air matanya di pipi, kemudian kucium tipis bibirnya.
Perlahan kepalaku turun ke leher, dada, perut, pusar dan berhenti di bulu-bulu kemaluannya. Lidahku mulai menari di klitorisnya yang super basah. Arini hanya terdiam.
Aku masih sibuk menjilati vaginanya yang wangi. Arini mulai recovery lagi… jemari lentiknya meremas rambutku. Dagunya terangkat ke atas, nafasnya terputus-putus memburu. Perlahan kuturunkan celanaku… bibirku kembali ke atas, mencium pusarnya, mengecup putingnya kemudian menyentuh bibirnya. Mataku beradu dengan matanya. Pandangan mataku bertanya, haruskah kuteruskan…
Arini mengerti kalau batangku tengah menempel di kemaluannya. Perlahan kakinya melingkar ke pahaku. Mata kami tetap berpandangan. Kugesekkan batangku perlahan-lahan, Arini sedikit merintih, bibirnya terbuka.
Kepala batangku mulai menekan, menekan… sedikit masuk, masuk lagi perlahan, lalu kaki Arini menekan pinggulku sehingga batangku lebih dalam masuk. Masuk seluruhnya... badanku meremang, batangku terasa hangat. Mata kami masih beradu pandang... tiba-tiba di sudut matanya muncul air bening yang mengalir perlahan ke pipinya. Arini kembali menangis...
Kembali aku cium lembut bibirnya. Pinggulku tidak langsung aku gerakkan, agar dia merasa nyaman dulu dengan batangku di dalam sana. Lalu perlahan aku mulai gerakkan pinggulku sedikit demi sedikit, pelan-pelan... Arini merintih, ”Mas... aghhhhh...”
Gerakan lebih kupercepat. Aku rasakan batangku masuk sepenuhnya ke dalam vaginanya. Tempat tidur mulai berguncang, bunyi geritan besi tempat tidur mulai keras terdengar.
Tiba-tiba Arini memelukku erat, bibirnya mendekat ke telingaku dan berbisik, ”Kok besar sekali, mas? Terima kasih... nikmat sekali, mas... ooohhh... nikmat!”
Arini kini lebih agresif menciumku, lidahnya mulai berani masuk ke mulutku. Tubuh kami berguling, kini dia di atasku. Otomatis batangku lebih menghunjam ke dalam, posisi ini favoritku karena aku bisa sepenuhnya melihat kecantikannya, melihat lekuk tubuhnya, meremas dada dan pinggulnya lebih leluasa.
Gerakan tubuh Arini mulai liar, wajahnya tengadah ke atas dengan mata terpejam. Gerakannya malah lebih cepat dari gerakanku. Tubuhnya mulai menggigil dipenuhi peluh yang mengucur deras di sela belahan buah dadanya, pemandangan ini membuat tubuhnya tampak sensual, kujilati semua peluhnya dengan nikmat. Arini mendekati puncak... sementara aku susah payah bertahan agar tidak ejakulasi duluan.
”Aaaaaa... aaaaaaahhhh... aahh!” dia mulai tidak malu mengeluarkan rintihan dan erangan suaranya lebih keras. Tiba-tiba tubuhnya menghentak keras, lenguhannya memanjang, kemudian tubuhnya lunglai ambruk di tubuhku. Segera kupeluk erat dan kucium lembut keningnya. Aku lega... senang bisa memuaskannya.
”Terima kasih, mas... terima kasih... aku belum pernah merasa nikmat seperti ini, dua kali orgasme.” bisik Arini.
”Aku bisa teruskan kalo kamu mau, Rin.” bisikku sambil menciumi pelipisnya.
”Terima kasih... may be next time... sekarang giliran mas Ronny, mas belum puas kan?”
Aku tersenyum dan kugelengkan kepalaku. ”No, tidak perlu... itu tidak penting. Kamu bisa menikmati, itu lebih penting. Kalau aku turut mencari kepuasan, artinya aku tidak menghargai kamu. Semua ini untuk kamu, Rin... hanya untuk kamu.” dalam hati kumaki-maki diriku, mengapa aku sok suci. Tetapi tak bisa kumaafkan diriku kalau aku ikut menikmati kesempatan emas ini, Arini bersedia bercinta denganku artinya dia sudah menghempaskan semua harga dirinya dihadapanku. Aku menghargai dan menghormatinya.
”Mas, kamu baik sekali? Sungguh kamu baiiiikk sekali.” Arini memelukku erat lama sekali sampai aku terengah-engah karena kepalaku terbenam di belahan payudaranya. Sebenarnya aku ingin meneruskan dengan melumat dan mengigit gigit putingnya, tapi aku tidak mau merusak suasana syahdu ini.
”Mengapa Robert tidak kemari, bukankah dia minta kita bercinta di depannya. Aku tidak mau dikatakan mengkhianati teman...”
”Mas Robert mungkin sudah melihat kita dari tadi, dia ada di ruangan di balik kaca meja rias, itu kaca tembus pandang, mas.” Arini menjelaskan ketika melihat mataku memandang pintu.
”Umm... mas gak bersih-bersih badan? Aku bantu di kamar mandi yuk...“ katanya sambil menarik tanganku.
Kami saling menggosok badan, aku remas lembut buah dadanya dari belakang dan mencium lembut punggungnya. Arini kembali merintih, tubuhnya berbalik kemudian melumat bibirku, benar-benar agresif. Tiba-tiba Arini jongkok dan cepat menggenggam batangku, sedetik kemudian mulutnya mengulum milikku yang makin mengeras penuh. Aku benar-benar tidak menduga Arini melakukan itu. Tindakannya membuat kakiku lumpuh.
”Jangan, Rin... jangan... nanti aku keluar. Aahhh... Rin... sudah... please...” rintihku.
Arini segera berdiri lagi lalu berbalik menghadap shower dinding. Aku mengerti, dia ingin aku masuk dari belakang. Dengan guyuran air hangat, aku masukkan batangku cepat, aku sudah tidak tahan lagi, nafsuku sudah memuncak, Arini pun mengerakkan tubuhnya mengimbangi tusukanku.
”Aaahhh... mas... aku... aku... ahhh... aku...” tubuhnya kembali menggeliat dan mengejang, jemarinya kuat meremas tangkai shower, sementara aku benar-benar tidak dapat menguasai diriku. Spermaku yang tertahan dari tadi akhirnya mau tak mau menyembur keluar, masuk jauh ke relung vaginanya.
”Shit! Mengapa aku tidak bisa menahannya?” Arini kembali jongkok dan kini membersihkan lelehan spremaku dengan lidahnya. Aduh, aku merasa geli sekali. Dia kocok-kocok lagi agar semua spermaku keluar. Kemudian mengakhirinya dengan sedotan panjang di ujung batangku.
”Ahhh... Arini... kenapa aku harus ejakulasi?”
Selesai bebersih diri dan memakai baju, kami keluar kamar. Rupanya Robert sudah menunggu di depan TV, dia tersenyum dari kejauhan. Aku merasa jengah, merasa tidak enak. Sementara Arini menunduk dan berjalan ragu ke sebelah suaminya.
Dari kursi rodanya, Robert memeluk pinggang istrinya. ”Terima kasih, Ron, kamu sahabat yang baik. Aku sudah melihat percintaan kalian tadi. Aku berharap kamu tidak keberatan untuk meneruskan nanti.”
Aku hanya mengangguk pelan. Bisakah aku hanya bertahan murni bercinta tanpa melibatkan perasaan? Aku tidak yakin dengan diriku. Aku tidak yakin nanti tidak jatuh cinta kepada Arini... dan aku yakin Arini pun mempunyai perasaan yang sama. Sorot matanya ketika bercinta tadi menunjukkan itu.
loading...
0 Response to "Kupuaskan Istrimu Kawan "
Posting Komentar