loading...

Tetangga Cantik

Pagi itu ketika mencuci mobil di garasi, Restian kembali berkesempatan mengamati tetangganya yang baru turun dari taksi.
“Selamat pagi, Mas Restian,” sapa tetangganya itu, seorang perempuan cantik berumur 20-an akhir.
“Pagi, Mbak Kamalia,” Restian menyapa balik sambil cengar-cengir. Kamalia balas tersenyum hangat, melambaikan tangan.
“Eh Mbak, belum dibayar,” seru sopir taksi.
Kamalia berbalik badan. “Pak, bisa ikut saya dulu ke dalam? Saya mau ambil uangnya dulu di dalam rumah.”

Semua itu tak lepas dari perhatian Restian, yang mencoba menebak tetangganya itu baru dari mana. Kamalia mengenakan tube top putih dan kardigan jeans pendek, celana capri tiga perempat, sepatu hak tinggi, dan membawa tas tangan putih. Rambutnya yang dicat kemerahan dan bergelombang digerai. Rias wajahnya sederhana, hanya bedak tipis dan lipstik merah muda. Dan yang paling menonjol, dadanya yang membusung di balik bajunya. Dia masuk ke rumahnya diikuti si sopir taksi, lalu menutup pintu.

Ketika keduanya hilang dari pandangan, Restian kembali meneruskan mencuci mobil, tapi taksi itu masih ada di depan rumah tetangganya. Lima menit kemudian pintu rumah Kamalia terbuka, dan si sopir berjalan keluar. Terhuyung. Nyengir.



“Sudah cukup ya, Pak,” di belakangnya, Kamalia berseru.
Ketika Restian menengok, dilihatnya Kamalia sudah melepas cardigan sehingga bahunya yang berkulit mulus terlihat. Dan bibirnya tak lagi tersaput warna merah muda. Kamalia memandangi si sopir yang masuk kembali ke taksinya dan menjalankan taksi itu.
“Baru pulang, Mbak?” Restian kembali berbasa-basi sesudah si sopir pergi.
“Iya nih,” jawab Kamalia. “Aku masuk dulu ya, Mas....” Kamalia pun berbalik lagi dan masuk rumahnya.
Restian merasa telinganya dijewer. “Ehh?”
“Hayo! Lagi ngelihatin tetangga sebelah ya!?” Yang menjewer Restian adalah istrinya, Leily. Pagi itu Leily sudah siap berangkat kerja. Restian tidak bisa tidak membandingkan kedua perempuan yang dia lihat pagi itu. Sementara pakaian Kamalia tadi ketat memeluk lekuk tubuh, Leily tampak formal dengan blazer dan celana panjang longgar hitam.
“Kamu tau nggak, dia itu tadi malam berangkat ke luar,” kata Leily sambil melempar pandangan ke arah rumah sebelah, “Waktu aku pulang kantor kemarin, dia baru pergi, naik taksi. Rupanya baru pulang pagi dia. Dandannya kemarin malam lebih heboh daripada sekarang. Heran, ngapain ya dia semalaman? Dugem? Ck...” Leily mencibir.
“Nggak tahu ya...” Restian tak menjawab serius, khayalannya membayangkan apa yang kira-kira terjadi dalam lima menit di rumah tetangganya. Sesuatu yang membuat si sopir taksi nyengir puas dan lipstik Kamalia terhapus...
“Udah belum nyuci mobilnya? Aku mau berangkat nih, Mas,” pertanyaan Leily menghentikan khayalan Restian.
“Eh, iya, ya. Sebentar lagi,” kata Restian. “Aku hari ini nggak ke mana-mana, mau ngerjain proyek yang minggu lalu.”
Leily wanita karier, sementara Restian yang tadinya manajer menengah di satu perusahaan berhenti kerja ketika perusahaannya gulung tikar, kemudian menjadi pebisnis travel yang bekerja di rumah, memanfaatkan jejaring klien perusahaan lamanya. Dengan demikian mereka berdua masih bisa melanjutkan cicilan rumah mereka di perumahan Citra Kencana, juga hidup nyaman tanpa khawatir soal keuangan. Mereka belum dikaruniai anak sesudah lima tahunan menikah. Restian berumur 35 tahun dan Leily lima tahun lebih muda.
Sekitar setahun sebelumnya, tanah kosong di sebelah rumah mereka dibangun, dan setelah jadi, rumah di sana diisi penghuni baru yang tinggal sendirian, perempuan muda bernama Kamalia. Kamalia langsung jadi bahan gosip di antara para tetangga karena tinggal sendirian, dan terbiasa berpenampilan cantik. Dia tidak banyak bergaul dengan tetangga, tapi karena sering di rumah, cukup banyak tetangga yang mengamatinya. Dan yang paling sering melihatnya adalah Restian, yang garasi rumahnya bersandingan dengan carport rumah Kamalia. Kebetulan konsep perumahan Citra Kencana adalah cluster tertutup tanpa pagar antar rumah.

***

Menjelang malam terjadi ribut-ribut di depan rumah Restian. Bunyi klakson mobilnya berkali-kali terdengar. Restian keluar dan melihat mobil mewah warna hitam melintang di depan rumah Kamalia, ujungnya menghalangi jalan masuk garasi, padahal Leily yang mengendarai mobil mau masuk.
“Mas! Kasih tau tetangga sebelah mobilnya ngehalangin!” teriak Leily. Mukanya kelihatan kesal.
Restian mendekati mobil mewah itu. Mesinnya mati, kacanya tertutup dan tak ada pengemudi di dalamnya. Restian lalu menuju ke pintu rumah Kamalia. Tertutup. Dia mengetok pintu.
“Mbak Kamalia? Mbak? Bisa geser mobilnya?”
Tetangganya itu keluar tak lama kemudian, dengan penampilan yang membuat Restian terpana. Senyum manis tersungging di bibir merah menyala, wajah dan rambutnya dirias seakan-akan dia seorang model. Gaun merah yang cantik, dan sepatu hak tinggi. Bentuk tubuhnya menantang untuk dijamah.
Di belakangnya muncul seorang laki-laki pendek berwajah jelek yang cengengesan, dan langsung berlari melewati mereka menuju mobil. Sambil lewat dia minta maaf kepada Restian, “Maaf Pak, saya parkirnya kelewat maju. Sebentar lagi Mbak Kamalia pergi kok. Tenang aja.”
Dengan gesit si pendek masuk ke mobil, cuek dengan Leily yang terus mengklakson, lalu dia menyalakan mesin dan mundur sehingga tidak lagi menghalangi jalan masuk. Kamalia mengunci pintu rumahnya lalu berjalan melewati Restian.
“Saya pergi dulu ya, Mas Restian...” ucapnya. Selagi lewat, tercium aroma parfum mahal. Kamalia masuk ke mobil mewah itu, yang langsung pergi, sementara Leily sudah menghentikan mobil di dalam garasi.
 “Mau ke mana dia, malam-malam pergi sambil dandan kayak perempuan nakal begitu ya?” Leily langsung mengoceh begitu dia keluar dari mobil. Wajahnya kusut. Restian tahu karena Leily pasti habis berjuang menembus kemacetan. Leily mengunci mobil, membanting pintunya, lalu masuk rumah. Restian menyusul.
Kekesalan Leily masih berlanjut ketika makan malam bersama Restian.
“Kamu tau enggak, grup chat warga di sini mulai ngegosipin tetangga sebelah kita,” kata Leily sambil mengunyah.
“Apa katanya?” kata Restian. “Aku nggak ikutan grup itu.”
“Katanya si Kamalia itu istri simpanan,” Leily melanjutkan. “Yang bilang Bu Imelda, tetangga ujung jalan. Dia udah dua kali lihat ada bapak-bapak perlente datang ke sana naik mobil mewah.”
“Aku nggak perhatikan,” kata Restian lagi. “Tapi kadang-kadang memang ada tamu di rumah sebelah sih. Cuma nggak kulihat siapa orangnya.”
“Ada juga yang komplain, katanya dia sering pakai baju seksi di rumah terus nampang di teras atau di balkon,” Leily menyebut nama orang yang mengeluh, tetangga lain lagi yang memang aktif di kegiatan rohani. “Kok Mas malah nyengir? Buat laki-laki, yang seperti itu nggak masalah ya?”
Tersengat sindiran, Restian nyaris tersedak makanan. “Ehh, emmm....” sesudah kalang kabut, dia lalu menawarkan, “Apa mesti kita tegur? Atau dibilangin lewat Pak RT?”
Leily melengos. “Awas saja kalau dia sampai keterlaluan. Ibu-ibu sih pada bilang nggak mau kalau ada cewek nggak benar di kompleks kita.”

***

Meski kesal, Leily ternyata sedang bergairah, jadi tak lama sesudah makan, dia mengajak bercinta suaminya. Restian meladeni. Tak lama kemudian keduanya sudah bugil di ranjang. Sambil berciuman, Restian merangsang kemaluan istrinya dengan jari, membuat Leily mendesah-desah keenakan. Restian sendiri sudah terangsang sejak tadi...
“Hm? Kok keras banget ini?” tanya Leily ketika dia memegang kejantanan suaminya. Restian nyengir.
“Kamu ngebayangin apa, Mas... Apa kamu ngebayangin Kamalia?” sindir Leily.
“Eng... enggak kok. Ini karena kamu kok, sayang,” Restian berkelit. Tapi sebenarnya tuduhan Leily tepat sasaran. Malam itu Restian memang terangsang berat sesudah melihat Kamalia. Sementara Leily sendiri bermaksud menghapus kekesalannya dengan seks. Makanya dia jadi lebih dominan, berinisiatif dalam posisi woman on top, memasukkan penis suaminya ke vaginanya yang lapar, bergerak liar memuaskan nafsu. Dia melonjak-lonjak di batang Restian yang kaku.
Tapi apa sebenarnya yang ada di pikiran Restian? Ternyata ketika dia mencengkeram pinggul istrinya dan menerima ciuman istrinya, dia memejamkan mata, dan membayangkan perempuan lain. Kamalia... tetangganya yang berpenampilan seperti model itu, dibayangkannya sedang bergoyang di atas tubuhnya.
Tiba-tiba Leily berhenti bergerak, kepalanya mendongak, lalu menjerit keenakan. Vaginanya berkedut-kedut, dia klimaks.
“Aahhhngghh!! Ahh ahh ahh.... ah, enak sayang...” seru Leily. “Kamu belum ya...?”
Restian tidak menjawab, khayalannya sibuk membayangkan Kamalia, membuatnya tak tahan... dan lepaslah benihnya menyembur di dalam kemaluan istrinya.
Leily turun dari atas tubuh Restian, lalu tiduran di sebelahnya. Restian melihat dari dekat wajah istrinya, polos tanpa riasan, tersenyum kecil, puas karena orgasme tadi. Tapi sedetik kemudian mulut tajam Leily beraksi lagi.
“Aku penasaran, ke mana perginya si Kamalia. Apa mungkin ketemuan sama yang nyimpan dia, ya?”
Restian malas menanggapinya. “Sayang, tidur aja yuk, nggak usah ngurusin orang lain....”

***

Sekitar tiga jam kemudian, Restian terbangun gara-gara ponselnya berbunyi. Seorang pelanggannya menelepon malam-malam, minta dibelikan tiket untuk penerbangan pagi besoknya. Restian mengurus pelanggannya itu dulu, keluar kamar dan pergi ke ruang kerjanya di lantai atas rumah. Dia menyalakan komputer dan mengurus pesanan si pelanggan. Beres.
Restian merasa tidak ingin langsung tidur lagi. Jadilah dia terus di depan komputernya, membuka internet karena iseng, membaca-baca cerita seru. Lalu terdengar bunyi dari arah depan rumahnya. Bunyi mobil berhenti, lalu pintu mobil dibuka. Lalu ketuk-ketuk hak sepatu.
Rumah Restian berlantai dua, kamar samping di lantai atas yang menjadi ruang kerja berdekatan dengan lahan sebelah yang kemudian jadi rumah Kamalia. Kamar itu berjendela yang menghadap ke rumah sebelah. Ketika rumah Kamalia dibangun, tanpa sengaja jendela kamar kerja Restian itu jadi sejajar dengan satu jendela di rumah Kamalia.
“Dia pulang...” kata Restian ke dirinya sendiri, mengintip dari celah tirai, melihat tetangga cantiknya melintas carport lalu masuk rumah. Beberapa menit kemudian, jendela yang pas berseberangan dengan jendela ruang kerjanya jadi terang. Dan... tirainya terbuka!
Dari balik tirai Restian bisa melihat pemandangan melalui jendela tetangganya. Jaraknya tak seberapa jauh. Restian bisa melihat isi kamar itu... rupanya kamar tidur Kamalia. Tetangganya itu masuk kamar, masih dengan penampilan seperti tadi, rambutnya yang dicat merah serasi dengan gaunnya yang juga merah. Kamalia menengok ke arah rumah Restian, tak menunjukkan bahwa dia sadar ada orang di balik jendela Restian yang tertutup tirai.
Kamalia menaruh tasnya dan mulai membuka pakaian. Dia berdiri membelakangi jendela sambil menghadap cermin rias, pelan-pelan melepas gaun merahnya. Restian melihat, ternyata di punggung bawah Kamalia, tepat di atas pantatnya, ada tato. Tulisan sesuatu. Tidak terbaca karena jauh.
Nama seseorang-kah?
Sambil menonton tetangganya yang sekarang hanya memakai bra dan celana dalam merah, tanpa sadar Restian mengelus-elus penisnya yang ereksi lagi. Lalu Kamalia membuka bra. Dia berputar sedikit, sehingga Restian mendapat pemandangan samping. Payudara Kamalia lumayan besar, lebih besar daripada milik istrinya. Kamalia  kemudian berbalik lagi, kembali membelakangi jendela, menunduk sedikit dan memelorotkan celana dalamnya sepanjang paha dan betis. Pinggulnya bergoyang-goyang selagi Kamalia mengangkat kaki kanan lalu kiri untuk melepas celana dalamnya.
Restian jadi berpikir jorok: bagaimana rasanya kalau Kamalia dimasuki dalam posisi seperti itu? Dia membayangkan sepasang payudara Kamalia bergoyang-goyang selagi dia menyetubuhi tetangganya itu dalam posisi doggy style, di depan cermin rias.
Kamalia sudah telanjang, lalu berputar-putar di depan cermin, mematut-matut tubuhnya. Restian memelorotkan celananya sendiri dan mengocoki kemaluannya, menahan nafas selagi dia melihat Kamalia memain-mainkan puting payudaranya sendiri, sampai keduanya menonjol. Kamalia lalu memegang bagian bawah salah satu payudaranya, mendorongnya ke atas, menundukkan kepala, dan menjilat putingnya sendiri. Lalu dia lakukan dengan payudara sebelahnya.
Restian berkhayal dia ada di depan Kamalia, batangnya dijepit kedua payudara besar itu sambil ujungnya dijilat-jilat Kamalia.
Tetangga cantik itu lalu duduk di ujung ranjang, masih menghadap cermin, dan mengangkang sehingga kemaluannya terlihat di cermin. Dari posisi mengintipnya Restian bisa melihat pantulan cermin itu. Rambut kemaluan Kamalia tercukur bersih, sehingga tak ada yang menghalangi pemandangan. Kemudian Kamalia menjulurkan jarinya ke kemaluan; kukunya yang bercat merah lenyap selagi ujung jarinya masuk ke dalam vaginanya sendiri, kemudian keluar lagi dan mengelus-elus bagian atas bibir vaginanya—lokasi klitoris—dengan gerakan memutar.
Restian membayangkan Kamalia mengerang dan merintih keenakan, karena dia melihat ekspresi wajah tetangganya yang seperti mulai merasakan nikmat. Dia sendiri makin gencar merangsang penisnya, mengkhayalkan senjatanya itu sedang keluar masuk dalam vagina Kamalia yang basah. Kamalia bermasturbasi dengan satu jari menggoda klitoris dan satu jari mencolok vagina, makin lama makin cepat geraknya, sambil menjilat bibirnya yang sensual.
Restian mulai merasakan ketegangan di selangkangannya, senjatanya akan segera menembak. Di seberang, Kamalia terlihat membuka lebar mulutnya, lalu tiba-tiba ambruk telentang ke kasurnya, tubuhnya kejang. Dia orgasme. Restian pun tak tahan, dalam khayalannya dialah yang membuat Kamalia menggelinjang keenakan. Dia meringis, merasakan penisnya ejakulasi, dan tangannya dialiri cairan hangat.
Ejakulasi itu memutus khayalan Restian. Buru-buru dia menyambar tisu dan menyeka tangannya serta sedikit tumpahan maninya di lantai. Ketika dia selesai, kembali diintipnya jendela seberang. Tapi rupanya Kamalia sudah menutup tirai. Restian buru-buru kembali ke tempat tidurnya sendiri, berbaring tanpa membangunkan Leily di sebelahnya.

***

Ketika sarapan pagi, Leily kembali menyajikan gosip terbaru yang sebenarnya Restian malas dengar.
“Jangan-jangan tetangga sebelah itu cewek panggilan,” Leily berspekulasi. Rupanya kemarin malam dia sempat melaporkan ke grup chat bahwa dia melihat Kamalia pergi keluar, malam-malam, berdandan seksi dan menor, dijemput mobil. Ibu-ibu teman chatnya langsung menawarkan teori macam-macam. Salah satunya, bahwa mungkin Kamalia keluar karena dibooking.
“Apa iya cewek panggilan bisa punya rumah sendiri di perumahan kita ini?” Restian menimpali. Dia tidak akan cerita kejadian malam sebelumnya kepada Leily.
“Barangkali dia bayarannya mahal?” spekulasi Leily berlanjut. “Sudah ya, aku mau jalan dulu. Selamat pagi, sayang,” dia mengecup kening Restian, lalu keduanya bangkit dan bergerak ke arah luar rumah.
“Jangan nakal ya di rumah,” kata Leily selagi dia membuka pintu mobil lalu duduk di depan setir dan menyalakan mesin. Dengan penampilannya yang biasa, gaya kantoran yang konservatif.
Restian melambaikan tangan selagi mobil yang dibawa istrinya bergerak meninggalkan rumah. Sesudah mobil itu menghilang di belokan, Restian menghela nafas di depan rumahnya. Baru saja dia mau masuk lagi ke rumahnya....
“Mas Restian? Selamat pagi...” Dari samping terdengar suara merdu seorang perempuan.
Restian menoleh dan Kamalia ada di sana. Sepertinya tetangganya itu hendak pergi keluar karena biarpun hari masih pagi, Kamalia sudah berdandan cantik. Rambut merahnya yang biasa digerai kini dikonde kecil di atas belakang kepala. Wajahnya terlihat mulus meski Restian tahu Kamalia membubuhkan bedak cukup tebal. Lipstik merah Kamalia selaras dengan blus satin merah bermotif oriental yang dipakainya, longgar dan berlengan panjang namun tetap menawan. Bawahannya celana jeans hitam ketat dan sandal hak.
Restian bertanya-tanya, yang mana yang benar di antara berbagai gosip miring mengenai tetangganya. Cewek panggilan? Istri simpanan? Tidak ada asap kalau tidak ada api. Dan asapnya jelas penampilan seksi Kamalia.
Tapi Restian jadi tak bisa tidak membandingkan Kamalia dengan istrinya. Dia tahu Kamalia selalu tampil dengan rias wajah; sementara Leily berdandan tipis kalau mau berangkat ke kantor, dan hampir tidak pernah berdandan di rumah. Baju-baju Kamalia juga seksi dan mencolok, sementara gaya berpakaian Leily konservatif. Sebenarnya beberapa tahun lalu, ketika masih berpacaran dengan Restian, Leily lebih memperhatikan penampilan. Maklum waktu itu Leily jadi frontliner di pekerjaannya, sehingga dia dituntut berpenampilan cantik. Memang itu juga penyebab Restian mengenal Leily: ketika perusahaannya bekerja sama dengan perusahaan tempat kerja Leily, keduanya jadi sering bertemu, dan Restian kepincut dengan Leily yang ditugasi mengurus proyeknya.
Tapi seiring waktu, karier Leily naik sehingga dia tak lagi jadi frontliner. Dia mulai menyederhanakan penampilannya, mengganti gaya berpakaiannya jadi lebih konservatif dan tertutup, dan lebih jarang merias diri meski Restian selalu menyediakan anggaran untuk belanja alat kecantikan. Makanya ketika bertemu Kamalia sekarang, Restian seperti mengingat Leily yang dulu.
“Mas Restian?” seruan Kamalia membuyarkan lamunan Restian.
“Apa? Oh, eh, iya. Ada apa, Mbak Kamalia?”
“Saya boleh minta bantuannya nggak?” pinta Kamalia.
Restian tersenyum. “Boleh, perlu bantuan apa?” balas Restian riang.
“Mas Restian ada printer? Saya perlu nge-print sesuatu, soalnya tinta printer saya sendiri habis, padahal sudah mesti berangkat nih.”
“Oh, ada. Ke rumah saya saja, yuk,” ajak Restian.
Kamalia mengikuti Restian ke rumahnya. Restian deg-degan; tetangga cantiknya untuk pertama kali akan bertamu ke rumahnya. Restian mempersilakan Kamalia masuk, lalu langsung mengajaknya ke ruang kerja di lantai atas. Kamalia mengikutinya ke atas. Restian menyalakan komputer, dan mempersilakan Kamalia memakai komputernya. Kamalia memasang flash disk, dan membuka file yang mau diprint. Ternyata...
“Tugas kuliah?” celetuk Restian.
Kamalia menjelaskan, dia sedang kuliah S2. Dia menyebut nama satu universitas swasta. Restian tahu reputasi universitas yang disebut itu; peserta akademisnya sebagian besar perempuan, dan terkenal cantik-cantik, tapi konon pergaulan di sana cenderung hedonis. Tak lama kemudian tugas kuliah Kamalia selesai diprint.
Restian berusaha keras untuk tidak macam-macam dengan Kamalia. Bagaimana tidak, cewek yang kemarin malam jadi objek fantasinya sekarang malah ada dalam rumahnya! Apalagi, Kamalia berada di ruang tempat dia masturbasi semalam—untung saja tirai jendelanya masih tertutup sehingga Kamalia tidak sadar bahwa dari jendela itu Restian bisa mengintip.
Sesudah selesai, Kamalia lalu bilang dia harus berangkat dan sudah menelepon taksi. Restian mengantarnya turun dan keluar, dan tepat ketika keluar, taksi yang dipanggil Kamalia sudah ada di depan rumahnya.
“Saya berangkat dulu ya. Makasih banyak, Mas Restian...” Kamalia mengedip genit selagi dia meninggalkan rumah Restian.
Restian melongo. Selagi taksi Kamalia pergi, dia menyadari bahwa sedari tadi dia ereksi. Dan wangi tubuh Kamalia terasa bertahan lama di hidungnya.

***

“Wah, ada apa nih?” Restian membuka pintu rumahnya dan mendapati Kamalia ada di baliknya. Saat itu sore, menjelang terbenam matahari.
“Makasih buat yang tadi pagi ya, Mas. Ini ada oleh-oleh,” Kamalia menyodorkan kantong plastik yang diterima Restian. Bajunya tidak berubah dari pagi, tapi dia tetap tampak cantik dan segar. Dan masih wangi.
“Baru pulang kuliah ya? Nggak apa-apa, namanya tetangga mesti saling bantu kan, kalau besok-besok perlu apa-apa, jangan sungkan,” kata Restian.
Kamalia tersenyum manis, kembali memicu gairah di tubuh Restian, lalu berbalik dan pergi. Pas pada saat yang sama, mobil Leily meluncur ke garasi. Restian melihat isi kantong plastik itu. Kantong kertas dari kedai donat.
Leily keluar mobil dan melihat Kamalia yang masuk ke rumahnya sendiri. Lalu dia melihat Restian yang memegang kantong plastik. “Itu dari dia?” tanya Leily, menunjuk kantong plastik.
Restian mengangguk.
Sesudah makan malam, Restian mencomot satu donat dari dalam kantong itu dan memakannya. Leily penasaran.
“Buat apa dia ngasih donat?” tanya Leily.
“Tadi pagi dia minta tolong, mau pakai printerku. Printernya kehabisan tinta,” jawab Restian.
“Terus dia ke sini?” Leily kelihatan kurang senang. “Masuk rumah kita?”
“Iyalah, kan printernya ada di atas,” sambung Restian.
“Ngapain dia perlu printer?”
“Ngeprint tugas kuliah.”
“Oo... Dia masih kuliah?”
“Iya. Lagi S2 di Sekolah Tinggi L katanya.”
“Kuliah di situ? Ooo...” Leily mencibir. “Aku tau kampus itu, mahasiswinya banyak yang jadi ayam kampus...”
“Kamu mau donatnya? Masih ada satu lagi,” Restian menawarkan. Tapi Leily pasang tampang jijik.
“Ih, nggak ah. Aku takut ada apa-apanya. Lagian dia beli donat itu pakai duit dia, duit dari apa ya?”

***

Malam itu, Restian dan istrinya kembali bercinta. Kehidupan seks keduanya memang giat, apalagi Leily menginginkan agar mereka segera memiliki anak. Keduanya telah saling bergumul dalam keadaan bugil di atas ranjang, Restian di atas Leily.
Ketika hendak mempenetrasi istrinya itulah Restian terpikir sesuatu. Rasanya seperti rutinitas. Memang, Leily bersedia berhubungan seks dengannya setiap hari kalau sedang tak berhalangan. Istrinya itu juga masih cantik dan bertubuh indah. Tapi Restian merasa terlalu ... terbiasa dengan apa yang ada di hadapannya. Leily yang telanjang, mengangkang pasrah, matanya menatap tajam. Leily yang diam saja di ranjang, lebih banyak dilayani daripada melayani, dan kadang tak sabaran.
Maka dalam pikiran Restian pun sosok Leily di depannya bercampur dengan sosok lain. Rambut hitam Leily berubah merah seperti rambut Kamalia, wajah polos Leily menjadi wajah Kamalia yang dirias tebal, payudara Leily yang kecil menjadi besar seperti punya Kamalia. Restian terdiam sejenak, membiarkan khayalannya menguasai dirinya. Kemarin malam dia sudah melihat tubuh telanjang Kamalia, dan tadi pagi dia bisa mempelajari suara serta wangi tubuh Kamalia. Jadi gambarannya pun lebih akurat.
“Hei, ada apa, Mas? Kok jadi bengong... Ayo dong masukin,” pinta Leily.
Dalam khayalan Restian, Kamalia yang pasrah di hadapannya memohon manja, “Mas Restian... aku pengen dimasukin, Mas, ayo dong masukin...”
Tanpa berkata apa-apa, Restian mulai mendorong penisnya masuk vagina istrinya. Tapi dia merasa sedang memasukkan itu ke tubuh Kamalia. Kemaluan tetangga cantiknya itu sudah basah sehingga dengan sekali dorong seluruh kejantanannya masuk.
Kamalia langsung membelalak dan mengerang, “Oohhh...!!”
Restian menggenjot pelan-pelan dan Kamalia mencengkeram bahu Restian. Restian lalu menurunkan kepalanya dan mengisap-isap pentil Kamalia, gemas ingin melakukan itu sejak dia mengintip Kamalia. Kamalia mengerang-erang binal. Kedua kakinya terangkat lalu merangkul pinggul Restian sehingga Restian bisa menusuk makin dalam. Lalu Restian mempercepat genjotannya dan menikmati jepitan kemaluan Kamalia dengan makin gencar.
Kamalia tampak menikmatinya juga, bibir merahnya menganga mengeluarkan suara-suara penuh nafsu, memanggil-manggil nama Restian. Selagi Restian menyetubuhinya, sudah dua-tiga kali dia dapat orgasme. Dengan penuh nafsu dia menatap tetangganya itu. Guncangan payudaranya membuat Restian makin bersemangat.
“Entot aku, Mas...! Iyah teruss... genjot yang kenceng, Mas!” Kamalia meracau mesum selagi hampir lima belas menit Restian terus menggenjot. Bunyi pinggul mereka beradu meramaikan ruangan. Mereka saling pandang, nafsu melanda mereka berdua.
Kamalia terus mengoceh, “Iya di situ, Mass... yang dalam, Mas! Entot aku!”
Tapi Restian membungkam bibir merah Kamalia dengan bibirnya, dan keduanya pun berciuman dengan buas. Lalu Restian melenguh keras selagi menyemburkan benihnya di dalam vagina Kamalia yang menjepit rapat. Rasanya seperti kemaluan tetangganya itu menyedot-nyedot sperma dari dalam kemaluannya selagi dia menembak lagi dan lagi.
Sesudah keluar semua, dia ambruk di atas Kamalia, menciumi dada Kamalia yang... ternyata tidak sebesar itu? Restian tersadar dari khayalannya karena perbedaan itu. Dia ternyata bukan bercinta dengan Kamalia, melainkan dengan istrinya sendiri, Leily.
“Kamu kok jadi lebih nafsuan akhir-akhir ini, Mas?” celetuk Leily selagi mereka berdua beristirahat sesudah sanggama.
“Apa iya?” Restian pura-pura tak mengerti. Padahal dia sadar apa yang terjadi. Dia berfantasi berhubungan seks dengan Kamalia, tetangganya.

***

Esok harinya...

Siang, pukul setengah tiga. Restian kepanasan di jalan. Dia habis keluar karena satu urusan dan baru turun dari angkutan umum. Di luar kompleks Citra Kencana ada toko swalayan, dan yang pertama terpikir oleh Restian adalah minuman dingin. Dia masuk ke toko swalayan, menuju lemari es tempat botol-botol dan kaleng-kaleng minuman dingin ditaruh, mengambil satu kaleng, lalu langsung menuju kasir. Ternyata di depan kasir ada seseorang yang dikenalnya: Kamalia, dengan banyak sekali belanjaan yang sedang dihitung.
“Ngeborong nih?” sapa Restian.
“Eh, Mas Restian. Iya nih, sudah lama nggak belanja, jadinya banyak banget yang dibeli. Mas beli apa?”
“Ini aja,” Restian mengacungkan kaleng minumannya. Dia melihat belanjaan Kamalia dalam lima kantong plastik. Dia terpikir bahwa tetangganya itu tidak kira-kira, mau mengangkut lima kantong sekaligus sendirian?
Kamalia membayar, lalu berusaha mengangkut belanjaannya. Restian membayar minumannya, kemudian menghampiri Kamalia.
“Aku bantu ya. Kelihatannya kamu kerepotan,” Restian mengambil dua kantong plastik yang kelihatan paling berat.
Kamalia tersenyum manis. “Makasih, Mas Restian.”
“Kamu bawa kendaraan?” tanya Restian.
“Enggak. Jalan kaki ke sini,” jawab Kamalia dengan nada polos. “Tadinya nggak niat belanja sebanyak ini...”
“Kubantu bawa sampai rumah ya?” Restian menawarkan.
“Ah, jadi bikin repot,” Kamalia menolak sopan. “Nggak usah, Mas...”
Tapi Restian bersikeras, dan Kamalia menerima saja. Jadilah mereka berjalan berdua.
Kompleks Citra Kencana cukup besar sehingga perjalanan dari toko swalayan di depan ke rumah mereka lumayan jauh. Mata Restian tak lepas-lepas dari Kamalia. Kamalia menguncir rambut kemerahannya; dia memakai kaos putih leher sabrina yang memamerkan keindahan pundaknya, dengan dua tali bra hitam membalut kedua bahu. Bawahannya rok lipit hitam selutut dan sandal. Ketika menengok ke bawah, Restian bisa melihat kuku-kuku kaki Kamalia dicat merah. Sementara ketika memandangi wajah Kamalia selagi mengobrol, Restian memperhatikan alisnya yang dibentuk indah.
GLUDUGG. Terdengar bunyi petir dan mendadak langit berubah mendung. Restian dan Kamalia masih setengah jalan ke rumah ketika hujan mulai turun, langsung deras. Keduanya basah kuyup. Kaos putih Kamalia menempel ke tubuhnya. Meski Restian agak lega karena panas teriknya hilang, dia juga tidak mau hujan-hujanan. Mereka berdua tak ada yang bawa payung.
“Ayo cepetan yuk, hujan nih. Kita lari?” ajaknya.
Kamalia mengangguk. Keduanya pun mulai mempercepat langkah, lalu berlari.
Ketika berlari itulah Kamalia terpeleset karena sandalnya licin. Dia tersungkur ke trotoar, menjerit kaget, “Aihhh!!”
Restian mencoba menyelamatkan, tapi Kamalia keburu jatuh. Bajunya basah semua sampai menerawang, rambutnya juga. Kamalia meringis dalam posisi terduduk di trotoar basah, roknya tersingkap.
Restian tak bergerak, tak tahu harus berbuat apa. Jangan melihat? Bantu Kamalia bangun? Dia tidak bisa melepas pandangannya dari tubuh indah Kamalia—
Akhirnya Restian menjulurkan tangan. Dia membantu Kamalia bangun.
Kamalia membereskan roknya yang tersingkap. Dia meringis. “Aduhh, mata kakiku sakit, Mas. Tolong... Aku boleh pegangan ke Mas ya?”
Restian mengiyakan, dan mereka berdua melanjutkan perjalanan hujan-hujanan dengan Kamalia menggelayut ke lengan Restian, terpincang-pincang karena mata kakinya terantuk. Keduanya makin basah kuyup karena tak lagi berlari. Untungnya rumah mereka sudah dekat. Mereka menuju ke arah rumah Kamalia.
Kamalia mengeluarkan kunci pintu lalu membuka pintunya. “Masuk dulu aja, Mas,” undangnya.
Pucuk dicinta ulam tiba bagi Restian, sebenarnya. Tapi dia berusaha basa-basi. “Nggak usah, nanti ngerepotin,” katanya.
“Udah nggak apa-apa. Nanti aku bikinin teh. Mau ya?”
Restian tidak merasa ada alasan untuk menolak. Mereka berdua melangkah masuk. Restian menaruh belanjaan yang dibawanya di lantai, lalu sadar pakaiannya basah semua.
“Duduk aja di sana, Mas. Nggak usah takut ngotorin,” Kamalia mempersilakannya duduk di satu kursi dengan penutup kulit imitasi.
Kamalia masuk ke satu ruangan, lalu muncul lagi sesudah beberapa menit mengenakan kimono handuk, membawakan handuk ke Restian. Restian menerimanya lalu langsung mengeringkan tubuh sebisanya. Tapi bajunya masih lumayan lembab. Dia ingin buka baju... Tapi ini bukan rumah sendiri.
“Sebentar ya, Mas, tehnya.” Kamalia menghilang lagi, ke dapur, dan kembali dengan cangkir berisi teh hangat.
“Kok cepat banget?” tanya Restian.
“Aku biasa nyimpan teh hangat di termos, aku suka minum teh,” Kamalia menjelaskan, lalu duduk di kursi lain tepat di depan Restian.
Sambil menghirup teh, Restian tak lepas matanya dari Kamalia. Entah sengaja atau tidak, kimono handuk Kamalia tersingkap di bagian dada sehingga belahan dada Kamalia terlihat dari depan. Lama-lama Kamalia sadar, lalu balas menatap Restian sambil tersenyum genit. Restian sadar apa kesalahannya, lalu tersipu malu.
“Ada apa, Mas?” tanya Kamalia melihat perubahan ekspresi Restian.
“Nggak, nggak apa-apa,” Restian menghindar. Dia buru-buru menghabiskan tehnya. “A-aku pulang dulu ya.” Sesudahnya dia langsung bangun dan bergerak menuju pintu. Kamalia juga bangkit, mengantarnya.
“Makasih buat bantuannya ya, Mas Restian,” kata Kamalia sambil tersenyum.
Restian berlari menembus hujan yang masih turun ke arah pintu rumahnya sendiri, lalu masuk. Jantungnya berdebar keras.
Dan kejantanannya berdiri tegak.
Kamalia...
Tiba-tiba dia ingin sekali...
Tapi, sialnya buat Restian, Leily tak kunjung pulang malam itu. Baru menjelang tengah malam istrinya itu pulang. Dan Restian tak mendapat apa yang diinginkannya.    Dari istrinya... maupun dari Kamalia, yang kini diinginkannya juga.

***

“Sayang, aku harus kasih tau kamu, aku baru naik jabatan,” kata Leily pagi besoknya. Restian tersenyum dan memberi selamat.
“Gajimu naik dong?” komentar Restian.
“Iya, tapi kelihatannya tanggung jawabku nambah. Aku bakal lebih sering pulang malam...”
“Nggak apa-apa, demi kemajuan karier kamu.”
Dan begitulah, pada hari-hari berikutnya jam kerja Leily makin panjang. Waktu sendirian di rumah bagi Restian makin panjang juga.

***

“Eh, tungguuu! Kenapa nggak sekalian dibawa masuk dan dirakit?” seru Kamalia di depan rumahnya kepada dua orang pengantar barang yang beranjak masuk ke mobil boks mereka.
“Maaf Bu, tugas kami cuma mengirim. Kalau perakitan tidak termasuk. Permisi, kami masih ada pesanan lain yang harus dikirim...”
“Iiiihhh!” Kamalia mengeluh kesal ketika melihat mobil boks itu pergi saja sementara di depan rumahnya tergeletak kardus besar berisi bagian-bagian lemari pakaian. Kebetulan Restian mendengarnya, dan dia keluar melihat apa yang terjadi.
“Ada apa?” tanya Restian.
“Aku beli lemari,” kata Kamalia, menyebut nama toko perabotan terkenal, “tapi ternyata nggak termasuk pemasangan, sudah begitu ini cuma ditaruh saja di depan rumah, bukan sekalian dibawa masuk. Mas... Bantuin aku...”
Restian tersenyum dan langsung bergerak. Tapi karena kardus berisi bagian-bagian lemari itu memang berat, dia mengangkutnya berdua Kamalia. Keduanya mengangkut kardus masuk rumah, lalu naik tangga ke kamar Kamalia untuk membongkar kardus. Restian lalu mengambil peralatan dan merakit lemari baru itu di dalam kamar Kamalia, dibantu si pemilik kamar. Kamalia dengan antusias memegangi bagian-bagian lemari selagi Restian menyekrup dan memasang. Beberapa kali keduanya saling sentuh selagi bekerja.
“Selesai!” seru Restian sesudah lemari itu akhirnya kelar dirakit.
“Yayyyy!” Kamalia berteriak kesenangan. “Eh, ternyata seru juga ya ngerakit lemari. Makasiiiih banget, Mas.” Sadar tak sadar, Kamalia merangkul Restian.
Restian kaget, tapi senang.
“Mas pasti haus. Aku ambilin minum ya,” kata Kamalia.
Di atas tempat tidur Kamalia, baju-baju bertebaran. Rupanya Kamalia habis mengosongkan lemari lamanya. Restian melihat-lihat baju-baju itu. Banyak yang berkesan seksi. Kaos ketat, berleher rendah, rok pendek, legging. Dia ingat Leily sebenarnya punya baju-baju yang mirip. Tapi sekarang Leily jarang sekali memakainya... sejak gaya berpakaiannya berubah.
“Ini,” Kamalia datang kembali membawa dua gelas es teh.
Keduanya lalu duduk di lantai sambil minum dan ngobrol ringan. Karena minum sesudah aktivitas fisik, keringat Restian mengucur deras. Kamalia mengambil tisu dari atas meja riasnya, lalu mulai menyeka keringat Restian. Wajah keduanya berdekatan. Dan Restian menyadari bahwa ketika di rumah pun Kamalia tetap berdandan, dia melihat lapisan tipis bedak di pipi dan lip gloss di bibir Kamalia. Bibir indah itu begitu dekat dengan bibirnya. Restian ingin menciumnya...
“Umh...” Restian menggumam, menahan keinginan yang sebenarnya.
Kamalia tersenyum, entah mengerti atau tidak. Namun memang senyumnya selalu bernuansa genit; akibatnya nafsu Restian terpancing. Dan ternyata gumamannya itu ditafsirkan begini oleh Kamalia, “Mas capek ya?”
“Iya, lumayan berat juga itu lemari. Kalau aku sendirian pasti nggak kuat.”
Kamalia berdiri lalu berjalan ke belakangnya. Lalu Restian merasakan tangan-tangan Kamalia memijat bahunya.
“Ahhh... enak nih,” kata Restian senang. Sekitar lima menit dia menikmati pijatan Kamalia di leher, pundak, dan punggungnya. Tapi kemudian Kamalia berhenti.
“Su-sudah kan? Aku m... mau balik ke rumah ya,” kata Restian sesudah melongo beberapa lama memandangi kecantikan tetangganya. Kamalia mengangguk. Keduanya berdiri, lalu turun.
“Mas sudah sering bantu aku. Kalau ada perlu apa-apa, bilang saja ke aku, Mas. Makasih yaa,” Kamalia memegangi tangan Restian sebelum Restian keluar pintu.
Malam itu Restian kerepotan sendiri mengatasi nafsu dan fantasinya. Ditambah lagi, Leily pulang malam dan mengaku capek sehingga tidak mau diajak berhubungan seks....

***

Besok sorenya Restian melihat Kamalia pergi naik taksi. Sambil menunggu Leily dia mengurus bisnisnya sampai malam. Menjelang malam Restian mendengar ada taksi berhenti di depan rumahnya. Lalu pintu rumahnya diketok. Restian turun, membukakan pintu. Ternyata sopir taksi.
“Malam Pak. Pak saya ngantar mbak ini, tapi dia ketiduran di dalam taksi saya. Rumahnya di sini kan?”
Leily? Restian mendekati taksi. Ternyata bukan Leily, melainkan Kamalia. Si supir taksi salah berhenti dan mengira Kamalia tinggal di alamat Restian. Kamalia terhenyak di kursi belakang, mata setengah terbuka. Dia langsung bertindak. Pertama membayarkan taksi, lalu dia mengeluarkan Kamalia dari taksi dan memapah Kamalia ke arah pintu rumahnya. Dia sempat bertanya ke sopir taksi, dari mana Kamalia. Sopir taksi menyebutkan nama satu klub malam cukup terkenal di kota.
Kamalia setengah sadar. Ketika dipapah ke pintu, dia mengoceh tak jelas. Restian mencium bau alkohol; tetangganya itu rupanya bukan ketiduran, tapi mabuk. Dia mencari-cari kunci rumah di tas Kamalia; sesudah ketemu, dia membukakan pintu rumah, menyalakan lampu, lalu menaruh Kamalia di sofa ruang tamu. Kamalia menggeletak, berbaring miring, entah sadar atau tidak dengan keadaannya. Meski demikian Restian harus mengakui, dia tetap menawan.
Restian sudah tahu tetangganya itu habis dari mana; dandanannya memang seperti orang mau clubbing. Eyeliner biru elektrik di sekeliling mata, bedak ber-glitter, anting besar. Rambut kemerahannya yang dikuncir agak berantakan, sebagian terjuntai menutupi sisi wajah, ujung-ujungnya yang dibuat ikal tetap menarik. Gaun pendek merah ketat dengan aksen renda sepanjang sisinya, di balik cardigan lengan panjang putih. Sepatu platform hak tinggi dengan ujung terbuka yang memamerkan kuku jari kakinya yang bercat merah.
“Air...” Restian mendengar ucapan itu keluar dari bibir Kamalia.
Dia pun menuju ke belakang, ke arah kulkas, mencari air minum. Dituangnya air ke dalam gelas. Tapi ketika kembali, dilihatnya Kamalia berdiri terhuyung menuju tangga, berusaha naik. Restian takut Kamalia tersandung, jadi dia langsung menaruh gelas dan membantu Kamalia naik tangga, sampai ke kamar tidur. Dia membaringkan Kamalia di ranjang. Dilihatnya Kamalia sudah tak memakai cardigan; dia turun untuk mengambil gelas, naik lagi, berusaha memberi minum Kamalia. Agak repot: dia harus menegakkan Kamalia, meminumkan air, sambil memastikan Kamalia menelan air itu agar tidak tersedak. Airnya bahkan sampai tumpah-tumpah ke baju dan tubuh Kamalia.
Restian menyingkirkan gelas dan membaringkan lagi Kamalia. Tapi ketika dia mau pergi, Kamalia malah tiba-tiba merangkulnya! Tubuhnya jadi merapat ke tubuh Kamalia, kepalanya menempel ke dada Kamalia. Jantung Restian berdebar keras ketika tubuhnya kontak langsung dengan tubuh Kamalia. Segala sensasi dari tubuh tetangganya yang cantik itu menyerbu: wangi parfumnya, desah nafasnya, lembut dan hangat kulitnya, sekal payudaranya.
Dalam film atau karya fiksi biasanya kejadian seperti itu akan berujung keintiman bagi mereka berdua. Memang, Restian sebenarnya senang dipeluk seperti itu oleh Kamalia, sekaligus gugup karena Leily bisa pulang kapan saja sementara dia sedang ada di rumah--kamar tidur--Kamalia. Susah payah dia berusaha melepaskan diri dari rangkulan Kamalia, dengan sangat berat hati karena sebenarnya dia sangat ingin mencumbui tetangga cantiknya itu. Dan tanpa sengaja pula beberapa kali dia mencolek sampai menggenggam payudara Kamalia selagi melepaskan diri.
Akhirnya Restian lolos dari rangkulan Kamalia, dia berdiri dengan nafas memburu, wajah merah, dan kejantanan keras frustrasi. Tetangganya itu seolah tak peduli dengan godaan tingkat tinggi yang baru dia lancarkan dalam keadaan setengah sadar, tergeletak di ranjang dengan baju bagian bawah tersingkap sampai celana dalamnya kelihatan, baju bagian atas agak basah terkena cipratan air minum, dan ekspresi yang terlihat seksi--mata sayu dan bibir merekah.
Restian terpaku, tidak mau melewatkan kesempatan memandangi pose seksi di depannya, tapi lama-lama dia ingat harus segera pulang. Sebelum meninggalkan tetangganya, dia memberi bantuan kecil terakhir dengan membereskan gaun Kamalia yang tersingkap dan melepas sepatu Kamalia. Lalu dengan kepala panas dingin dia buru-buru kembali ke rumahnya sendiri. Untung Leily belum datang. Leily sendiri baru sejam kemudian muncul.

***

Pagi besoknya...
Restian membawakan tas besar buat Leily dan memasukkannya ke bagasi mobil, sambil berkomentar, “Kamu sepertinya bekerja keras banget, sayang. Habis ini kamu cuti saja ya. Kamu sudah pulang malam terus dan sekarang mau lembur sampai nginap di kantor juga. Ingat badan kamu....”
“Makasih perhatiannya ya, sayang,” Leily mengecup pipi suaminya. Ketika dia mau masuk ke mobil, pintu rumah tetangga sebelah terbuka. Kamalia muncul, memandang ke arah mereka berdua, lalu tersenyum malu-malu sambil melambai dan menyapa.
“Pagi, Mas, Mbak.”
Restian balas melambai, sementara Leily melengos dan buang muka. Sesudah duduk di balik kemudi mobil Leily berseru ke arah Restian. “Aku pergi dulu ya! Sampai besok, sayang...”
Leily mengeluarkan mobil dari garasi dan berbelok ke arah depan rumah Kamalia, lalu berhenti di sana, membuka kaca mobil, dan menatap tajam Kamalia yang saling pandang dengan suaminya. Dia tidak beranjak sampai Kamalia sadar dipelototi dan dengan malu-malu mundur lagi kembali masuk rumahnya. Barulah Leily menjalankan mobilnya.
Sekitar seperempat jam kemudian Restian menerima serangkaian SMS dari istrinya.
Apa-apaan si lonte itu. Berani banget mandangin kamu kyk gitu.
Tumben tu mukanya kucel. Biasanya menor, bedaknya lima senti. Pasti abis pulang pagi, dipake semalaman sama om om.
Dia emang cewe gatel, kalo dia berani godain kamu awas aja kulabrak dia di rumahnya.
Restian, yang tahu kejadian sebenarnya, berusaha tidak menanggapi, dan membalas dengan mengingatkan. Sayang, kalo nyetir jangan sambil sms, bahaya lho
Dan Leily membalas: Macet gila. Aaaaah.

***

Sesungguhnya Restian juga penasaran mengenai keadaan Kamalia sesudah dia tolong kemarin malam, jadi dia mengirim SMS ke Kamalia (mereka sudah saling bertukar kontak sejak Restian meminjamkan printer).
Gimana kabarnya?
Agak lama, baru Kamalia menjawab. Mas, aku boleh ke sana?
Silakan, jawab Restian.
Tapi aku takut, Mbak Leily marah ya sama aku?
Dia udah ke kantor kok. Tenang aja.
Iya Mas, tapi nanti aja ya. Disambung beberapa menit kemudian. Mas udah ada buat makan siang? Kalau belum aku bikinin deh.
Restian menjawab belum, sambil penasaran mengapa Kamalia mau membikinkannya makan siang. Mungkin dia mau balas pertolongannya kemarin malam.
Pagi berlalu tanpa banyak peristiwa buat Restian, dia sibuk menerima dan mengurus order bisnisnya. Dia sampai hampir lupa Kamalia mau datang ketika menjelang siang dia mendengar pintu rumahnya diketok.

***

Restian benar-benar ingin tahu kenapa Kamalia ingin selalu tampil dengan dandanan lengkap, bahkan ketika sekadar bertamu ke rumah sebelah. Siang itu Kamalia tampil dengan gaun babydoll kotak-kotak pink-putih. Biarpun tidak sampai memakai “bedak lima senti” seperti dituduhkan Leily paginya, terlihat bahwa Kamalia sempat memulas alisnya, memerahkan bibir dan pipinya. Eh, bukan. Sepertinya warna merah di pipinya bukan karena kosmetik.
Kamalia membawa wadah berisi sesuatu, yang disodorkan ke Restian.
“Rendang?” Restian melihat isinya. Inikah makan siang yang dia janjikan?
“Iya, Mas. Aku coba bikin ini tadi pagi,” Kamalia nyengir-nyengir konyol sambil berkomentar, “katanya bagus buat ngilangin hangover... tapi pas bikin ini sakit kepalanya hilang sendiri, jadi ya nggak apa-apa deh, buat makan siang aja. Cuma kalau rasanya mengecewakan maafin ya, soalnya pake bumbu instan...”
“Masuk, masuk,” Restian mempersilakan Kamalia masuk sambil bertanya-tanya dari mana tetangganya itu dapat teori bahwa rendang cocok buat mengatasi hangover.
Kamalia masuk dan membawa rendangnya ke ruang makan. Restian mengambilkan piring, lalu mengajak Kamalia makan siang bersama. Sambil makan, mereka mengobrol.
Kamalia dengan malu-malu menjelaskan bahwa kemarin malamnya dia memang terlalu banyak minum di klub. Dia ke sana bertemu teman-teman kuliahnya. Restian jadi tahu bahwa Kamalia memang ikut pergaulan hedonis khas kampusnya. Tapi kemudian pembicaraan jadi lebih serius ketika Kamalia mengungkapkan alasan mengapa dia minum.
“Aku berantem sama temanku di sana,” kata Kamalia, wajahnya berubah murung. “Dia bawa pacarnya, yang aku kenal juga. Nggak tau kenapa, pacarnya malah jadi lebih banyak ngobrol sama aku, terus temanku cemburu, udah gitu dia juga minum, jadinya dia ngamuk, bilang aku mau ngerebut pacarnya. Jadinya aku nyingkir. Tapi aku sedih soalnya dia ngata-ngatain aku kasar, makanya aku jadi beli minum lagi. Eh, malah kebablasan...”
“Kamu emm... nggak biasa minum?” tanya Restian dengan hati-hati.
“Emh... sebenarnya jarang. Malah biasanya enggak. Biasanya teman-teman minum, aku pesan soft drink aja. Sekali-sekali aja ikutan...”
Keduanya menghabiskan makanan. Rendangnya kurang enak menurut Restian, tapi dia tidak bilang itu. Dia mengambil piring-piring bekas makan dan menaruhnya di bak cuci.
“Duduk dulu yuk. Kalau mau nerusin ngobrolnya...” ajak Restian. Kamalia setuju. Toh dia juga sedang tak ada acara. Mereka duduk di ruang tengah rumah Restian, di sofa. Restian terus memandangi wajah Kamalia yang masih murung.
“Mas kok lihatin aku terus kayak gitu...” sindir Kamalia.
Restian merasa sudah waktunya dia lebih terbuka kepada tetangganya. “Ah... Gimana ya, habis kamu... Emm, kalau laki-laki pasti bakal lihatin kamu terus...”
“...cantik?” Kamalia memancing. Restian mengangguk malu-malu. Kamalia meneruskan, “Pacar temanku juga lihatin aku terus kemarin malam seperti Mas... Makanya temanku marah. Cuma omongannya itu Mas, kasar banget ke aku jadinya. Dibilang sok cakep, kegatelan, genit...”
Bukan cuma temanmu yang pernah bilang begitu, kata Restian dalam hati. Leily dan ibu-ibu tetangga juga.
“Heuhhh... serba salah ya jadi cewek Mas. Pengen tampil sempurna, eh disirikin sesama cewek. Padahal kan itu buat aku sendiri, bukan maksudnya mau macam-macam,” Kamalia memberi alasan.
Tapi perempuan memang begitu kan? kata Restian dalam hati lagi. Sering iri dengan sesamanya, apalagi yang lebih cantik. Di sisi lain, yang dimaksudkan Kamalia juga pasti bukan seperti yang dia katakan saja. Restian memberanikan diri memegang tangan Kamalia untuk menenangkannya. Kamalia tak menolak.
Kamalia melanjutkan curhatnya. Temannya itu rupanya sahabat baiknya, makanya dia sakit hati ketika temannya menuduh dia menggoda si pacar. Terbawa emosi, di ujung curhatnya Kamalia terisak sedih. Restian merangkulnya. Kamalia menyandarkan kepalanya ke bahu Restian. Lalu percakapan bergeser karena Kamalia tidak mau lagi membahas temannya.
“Mas, aku mau tanya, kemarin malam itu kejadiannya gimana? Aku nggak begitu ingat...”
Restian menjelaskan semua yang terjadi. Sampai ketika dia selesai memberi minum dan...
“Waktu aku mau tinggalin, kamu emmm... ngerangkul aku.”
Kamalia membelalak, wajahnya memerah karena malu. “Terus Mas... ngapain...?”
“Emm... Tenang, aku nggak berbuat aneh-aneh sama kamu... aku ngelepasin diri aja dari pelukan kamu. Terus kutinggalin kamu.” Teringat kejadian itu, tanpa sadar Restian memandang ke arah dada Kamalia, yang terlihat karena potongan leher baju yang cukup rendah.
Kamalia memperhatikan ini. “Mas baik banget ya, nggak curi-curi kesempatan pas aku nggak berdaya...” katanya, lalu dia merapikan bajunya, menutup belahan dadanya yang tersingkap. Tanpa bisa ditahan, ekspresi Restian berubah kecewa, dan lagi-lagi itu disadari Kamalia.
“Lagi lihatin itu-ku ya,” sindir Kamalia. Restian nyengir, ketahuan. Kamalia bilang, dengan nada lirih, “Nggak apa-apa kok... kalau Mas... ah, aku ngerepotin Mas terus, jarang bisa ngebalasnya...” Kamalia melanjutkan. “Hari ini aja, aku bawain makan siang, eh jadinya ngebikin Mas mesti dengar curhatku. Maafin ya Mas kalau aku ngerusak mood Mas... Aku mestinya bisa balas semua kebaikan Mas...” Dia menengok ke wajah Restian yang begitu dekat...
Tak lama kemudian, yang ditunggu-tunggu pun terjadilah.
Awalnya adalah kenekatan Restian mencium bibir Kamalia. Disodori bibir merah yang empuk dan membangkitkan nafsu itu, mana bisa dia tahan? Apalagi dia sudah tergoda selama berminggu-minggu, dan susah payah menahan semua godaan itu. Ketahanan ada batasnya. Ditambah lagi pernyataan Kamalia yang pasrah dan seolah menawarkan diri. Dan Restian juga sudah terpengaruh prasangka Leily, bahwa Kamalia ini gampangan. Tubuhnya memepet tubuh Kamalia. Tak ditolak. Payudara Kamalia mendesak dadanya. Bibir Kamalia menyambut bibir Restian, lidahnya pun ikut bermain.
“Mas... Mau pegang?” lirih suara Kamalia menawarkan, melihat tangan Restian bergerak ke arah buah dadanya yang besar. Kamalia mengangguk membolehkan, dan Restian pun menyatroni dada indah itu. Nafas Kamalia memburu.
Restian mulai berani, menyelipkan tangan ke balik baju Kamalia untuk menggenggam langsung payudaranya. Berikutnya dia memelorotkan kedua tali bahu gaun itu sehingga tubuh atas Kamalia terbuka. Sambil berciuman, dia bahkan melepas BH Kamalia. Akhirnya Restian bisa juga melihat jelas sepasang payudara Kamalia yang selalu menggoda. Bundar semok, dengan puting coklat muda, lebih besar daripada payudara Leily. Selagi Kamalia mendesah-desah terbawa nafsu, payudaranya berguncang pelan dalam genggaman Restian. Tangan Kamalia juga menyelip ke balik kaos Restian, berusaha melepasnya.
Payudara Kamalia segera jadi pusat perhatian Restian. Dia menjilat bibir lalu menciumi bagian samping kedua payudara Kamalia. Kamalia merebahkan diri di sofa, pasrah menerima foreplay. Perlahan-lahan ciuman-ciuman Restian mendekat ke puting. Lidahnya menjulur menelusuri bagian samping areola, lalu menowel-nowel puting, sebelum akhirnya puting itu dilahapnya.
Ketika Restian menyedot puting Kamalia sambil lidahnya bermain dalam mulut, Kamalia menjerit enak. Payudara sebelahnya tak dianggurkan, diremas-remas juga. Lalu Restian berpindah, mengisap puting sebelahnya dan meremas yang tak diisap. Desah dan gelinjang Kamalia menunjukkan bahwa si tetangga cantik itu menyukai perlakuan Restian. Jari Restian memilin-milin satu puting, mulutnya menyedot-nyedot sebelahnya.
Mereka lalu berubah posisi, Kamalia duduk tegak memunggungi Restian, Restian meremas-remas kedua payudara dari belakang. Restian mengangkat-angkat sepasang gunung kembar itu, membuatnya berguncang-guncang. Kamalia mengangkat lengannya, merangkul ke belakang, merangkul kepala Restian. Restian juga menciumi tengkuk Kamalia.
“Ahh... Mass... enak... susuku enak digituin Mas...” kata Kamalia sambil meremas rambut Restian. “Anghh ga tahan, Masss....”
Payudara besarnya ternyata sensitif, menanggapi dengan baik semua sentuhan tangan Restian. Kamalia tak bisa menahan diri dan mendesah makin liar. Restian merasakan kedua tangan Kamalia pindah dari belakang kepalanya ke punggung kedua tangannya yang sedang sibuk di dada. Ekspresi si tetangga cantik berubah kaget.
“Ohh... Mass...!!” Kamalia terkesiap, matanya membelalak, mulutnya menganga membentuk huruf O, lalu mengulang-ulang, “Oh... Oh... Oh...“ kemudian menutup rapat selagi dia mengalami orgasme.
Restian merasakan kedua tangannya ditekan keras-keras, seolah Kamalia menyuruhnya mencengkeram sekuat mungkin.
“Ohh, Mass... aku keluarr...” kata Kamalia, sambil terengah seperti habis lari. “Padahal cuma diremes-remes... Kok bisa ya, Mas...?”
Restian sendiri baru tahu ada perempuan yang bisa dibikin orgasme hanya dengan dirangsang payudaranya.
“Mas... tadi enak banget...” Kamalia bersandar di dada Restian, dadanya sendiri naik-turun tersengal-sengal, matanya menatap nanar. “Ah, kann... lagi-lagi Mas yang ngasih sama aku... aku kali ini mau balas Mas...”
Kamalia berlutut di karpet di depan Restian yang duduk di sofa. Dia mengelus-elus bagian depan selangkangan celana Restian. Restian memelorotkan celananya. Kamalia terus membelai-belai organ keras di balik celana dalam Restian. Restian melanjutkan dengan melepas celana dalamnya. Penisnya mengacung di depan muka Kamalia. Restian ingin tahu apa yang akan dilakukan Kamalia dengan kejantanannya. Kamalia memandangi dan menggenggamnya dengan kedua tangan, mengelus-elusnya. Restian mengira Kamalia akan menggunakan mulut dan lidahnya, tapi Kamalia hanya membasahi tangannya dengan liur lalu mengusap-usapkannya ke batang kemaluan Restian.
“Mas suka ini kan...” Kamalia lalu menggenggam kedua payudaranya dari kanan kiri. Kedua payudaranya diposisikan memeluk batang Restian. Lalu dia menghimpit batang itu dengan kedua payudaranya.
Tiba-tiba Restian merasakan hangat empuk meliputi kejantanannya. Sensasinya luar biasa dan Restian sampai hampir kehilangan kendali. Penisnya terbenam di belahan dada subur tetangganya.
Kamalia mulai menggerakkan tubuhnya naik-turun, memijat ereksi Restian dengan buah dadanya. Sesekali dia menunduk menatap kepala burung Restian, lalu menoleh menatap Restian dengan tatapan bernafsu. Dia juga mendesah-desah, agaknya terangsang sendiri.
“Mas, ahh... enak gak kupijet batangnya, Mas?” Kamalia bertanya dengan nada genit.
Restian hanya menggumam, “Ya...” Godaannya membuat Restian makin tak tahan.
“Eugh... anunya Mas keras... kenceng banget... ngedesak-desak susuku...” Kamalia terus menggoda.
Restian sudah tidak peduli lagi kalau tahu-tahu Leily pulang atau ada tamu datang. Dia sudah siap membuang isi buah pelirnya. Dia mengerang ketika semburan pertama sperma terlontar dari senjatanya. Tembakannya kena bagian bawah dagu tetangga cantiknya. Semburan kedua lebih deras, menumpahkan seciprat cairan putih lengket di dada Kamalia. Berkali-kali, peju tumpah di sepasang payudara yang cantik itu, juga di leher.
Sambil tersenyum dan menatap Restian, Kamalia berkomentar, “Mass... aku disembur banyak banget... pasti enak ya, Mas...?”
Restian balas tersenyum, sambil menggeletak lega di sofa. Kamalia bersandar ke bagian dalam paha Restian, dadanya belepotan mani, rambutnya sedikit awut-awutan. Keduanya terdiam untuk beberapa lama. Kemudian suatu bunyi memecah kesunyian.
Dering HP Kamalia.
Kamalia melihatnya, lalu melotot. “Suamiku...” katanya lirih, lalu menjawab telepon itu.
Ganti Restian yang melotot.

***

Dua gelas es teh setengah kosong terletak di depan meja makan. Kamalia dan Restian kembali ke ruang makan, berbicara, awalnya canggung dan malu-malu, tapi kemudian keduanya sama-sama tersipu. Keduanya sudah berpakaian lengkap lagi dan Kamalia sudah membersihkan dadanya.
“Tapi yang paling penting, kita jangan khilaf seperti tadi lagi ya, Mas,” kata Kamalia. “Untung belum sampai... hmm, hihihi...” Dia tertawa kecil, tidak berani menyebut apa yang bisa saja terjadi tadi kalau mereka melanjutkan.
Kamalia menjelaskan semuanya. Dia sebenarnya sudah menikah. Suaminya, seumuran dengan Restian, sedang kuliah pascasarjana di luar negeri. Dia sendiri tidak ikut karena kuliah juga. Keluarganya cukup kaya sehingga dia bisa hidup nyaman tanpa perlu bekerja, tapi dia memilih untuk tinggal di rumah itu sendiri karena merasa butuh kebebasan.
“Mobil Mercy yang waktu itu halangin mobil istrinya Mas, itu mobil ayahku, dibawa sopirnya.” Kamalia menjelaskan. “Ayahku juga kadang mampir ke rumah, menengok.”
“Iya ingat. Waktu itu kamu dandan cantik banget...” kata Restian.
“Itu mau ke acara nikahan saudara. Ehm, tapi makasih pujiannya ya, Mas.”
“Suami kamu pasti senang, istrinya selalu tampil cantik. Sayang dia jarang ngelihatnya.”
“Oh, dia selalu lihat kok... Biasanya tiap hari aku selalu selfie habis dandan, terus kukirim ke dia. Video call juga sering.” Kamalia menjelaskan. Restian manggut-manggut. Kamalia melanjutkan, “Tapi memang orang suka salah paham sih. Mas... Apa Mbak Leily nggak suka sama aku?”
Restian bingung menjawabnya. “Gimana ya? Emm dia... ya dia belum tahu aslinya kamu gimana sih. Mungkin dia salah paham.”
“Nggak usah sungkan, Mas, terbuka aja. Aku sudah tau kok gosip tetangga sini tentang aku. Mereka nggak sadar tapi sebenarnya aku ada di grup chat mereka juga... Cuma nggak pernah ikut nimbrung,” kata Kamalia. “Aku tau Mbak Leily memandang aku ini kayak gimana. Mas bantu aku lurusin salah pahamnya ya. Aku bukan cewek bookingan. Kalau istri simpanan... Aku emang istri orang, tapi resmi, bukan simpanan. Aku kadang keluar malam ya bergaul sama teman-teman, sebenarnya nggak ganggu tetangga kan. Nah kalau soal penampilan... mmm aku memang sukanya tampil begini, suamiku juga.”
“Jujur, Leily itu dulu gayanya mirip kamu sekarang,” kata Restian. “Aku rada kangen gaya dia yang dulu. Sekarang penampilannya rada... membosankan.”
“Bilang langsung aja sama Mbak Leily, Mas. Kan dia istri Mas sendiri. Kalau istri nggak menarik di mata suami nanti bisa bahaya lho.”
“Nanti suaminya ngelirik tetangga cantik di sebelah rumah ya?” ujar Restian.
Keduanya tertawa.

***

“Ohh... ahh... kontolmu enak, Mas... gede banget...” tubuh perempuan itu bergerak-gerak di atas pasangannya, menghunjamkan penis makin dalam. Bibir merahnya meracaukan kata-kata jorok. “Aku suka kontolmu, Mas... gedean kontolmu daripada punya suamiku... memekku enak diacak-acak kontol gede Mas...”
Mereka bersebadan dengan binal, sama-sama bergairah. Penis itu berkali-kali menyodok titik kenikmatan, sampai akhirnya menimbulkan klimaks.
“Aku keluarr Maaass... anghhhh... aaaahhhggg!”
Kedut-kedutan vagina yang orgasme pada gilirannya memancing kejantanan itu menyemprot berkali-kali sampai sperma meluber keluar. Keduanya terkapar dihantam klimaks berbarengan.
“Mas, kamu jago banget... udah bikin aku dapat empat kali...”
“Kamu juga, Leil...”
Di suatu hotel, Leily yang mengaku kerja lembur kepada suaminya sebenarnya sedang menginap bersama bosnya, seorang laki-laki tua botak berumur 50-an.
“Sekarang kita jadi lebih gampang ketemuan ya, Mas...” kata Leily sambil bersandar di dada selingkuhannya. “Suamiku nggak tanya-tanya kalau aku pulang malam atau nggak pulang. Makasih ya Mas sudah promosiin aku.”
“Yang penting kamu tetap kerja sebaik-baiknya ya...” kata si bos, menatap wajah Leily.
Leily tersenyum nakal sambil mengelus-elus kejantanan si bos yang masih lemas. “Siap, Pak.... Ayo kita terusin kerja lemburnya?”
loading...

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Tetangga Cantik "

Posting Komentar