loading...

Anak Lurah - 6

Malam itu hujan deras. Rumah Ki Asmoro Dewo telah basah diterpa hujan dan angin yang kencang. Bulan bersembunyi di balik awan gelap, menjadikan bumi tanpa penerangan. Bahkan lampu depan rumah Ki Asmoro Dewo tidak membantu penglihatan karena kalah oleh gelapnya malam. Kilat menyambar-nyambar di udara, menebar ancaman yang mendebarkan dada, namun kilas cahaya ketika ia menyambar untuk beberapa saat menerangi bukit itu. Tanah bukit sudah gembur oleh air yang meluap turun ke bawah. Jalan setapak tergenang air. Pohon dan semak mandi hujan. Daun-daun tertunduk diterpa air hujan yang tidak berbelas kasih. Bukan waktu yang baik untuk berpergian.

Namun sesosok bayangan manusia bergerak perlahan di jalan setapak itu. Sesekali tubuhnya terlihat dalam kilasan cahaya yang sekejap menerangi dari kilat yang menyambar-nyambar ditengah hujan yang lebat itu. Seorang lelaki yang memakai ponco hijau tua yang kuyup oleh air hujan. Kepalanya selain dilindungi topi ponco itu, juga memakai topi caping lebar. Tangan kanannya menggenggam tongkat kayu berat yang menjadi penopang tubuhnya ketika berjalan. Lelaki itu berjalan perlahan, entah karena takut kepeleset atau memang dia orang yang sabar dan tak tergesa-gesa.



Butuh waktu yang cukup lama sampai orang itu sampai di serambi rumah Ki Asmoro Dewo. Ia memasuki serambi itu lalu mengetuk pintu sesudah membuka capingnya. Ia hanya mengetuk beberapa kali dan lalu menunggu di depan pintu sambil bertelekan tongkatnya yang kini dipindahkan ke tangan kiri.

Lelaki itu sudah tua. Rambutnya sudah putih semua. Wajahnya penuh keriput yang seakan menunjukkan bahwa usianya sudah sangat lanjut. Matanya jernih namun dalam. Pandangannya seakan menembus sanubari orang yang membalas tatapannya. Walaupun tua dan keriput, tubuhnya tidaklah rapuh melainkan tegap, walaupun kurus.

Akhirnya pintu dibuka. Ki Asmoro Dewo sendiri yang membukanya. Ketika melihat tamunya, Ki Asmoro Dewo serta merta berubah mukanya menjadi kaget yang secara cepat pula berubah menjadi raut yang gembira sekali. Tampang Ki Asmoro Dewo kini bagaikan seorang anak yang baru dibelikan hadiah dari orangtuanya.

“Guru!!”
Ki Asmoro Dewo segera menyambut gurunya dengan mencium tangan kanan lelaki itu. Guru Ki Asmoro Dewo hanya tersenyum sekilas, namun matanya memancarkan perasaan kasih sayang kepada muridnya. Ia hanya mengangguk melihat penyambutan muridnya itu. Lalu, Ki Asmoro Dewo dengan sedikit membungkuk menyilahkan sang guru untuk masuk tanpa memperdulikan pakaian yang basah maupun sandal yang penuh lumpur.

*****

Ki Asmoro Dewo ketika mudanya adalah seorang anak berbakat. Anak indigo, sebutannya. Kemampuannya dalam berkelahi sudah terlihat semenjak usia delapan tahun. Selain itu, ia memiliki suatu wibawa dan kharisma bawaan sehingga disegani teman-temannya. Karena itu ia memiliki bakat dalam mempengaruhi orang lain. Bakat yang hampir sama dengan Harun. Hanya saja kalau dibandingkan, maka Harun memiliki bakat yang lebih besar.

Karena bakat inilah Ki Sangga Jagat memilih Ki Asmoro Dewo sebagai muridnya. Nama asli Ki Asmoro Dewo adalah Dewanto. Setelah Dewanto menguasai hampir seluruh ilmu Ki Sangga Jagat, maka ia diberikan gelar Ki Asmoro Dewo. Ini dikarenakan kecenderungan Dewanto dalam bertualang asmara, sehingga ilmu yang dikuasainya dengan sempurna adalah ilmu yang berhubungan dengan asmara. Seperti pelet dan sirep.

Hal ini sangat disayangkan Ki Sangga Jagat. Ki Sangga Jagat memiliki dua orang murid. Ki Asmoro Dewo adalah murid ke duanya. Murid pertamanya bernama Pardji. Seluruh ilmu beladiri dan santet dikuasai murid pertamanya ini. Sirep dan pelet dikuasainya juga, walaupun tak sehebat adik seperguruannya. Yang membuat Ki Sangga Jagat sedih adalah sebelum ‘lulus’ dari pendidikan dengan Ki Sangga Jagat, Pardji menunjukkan watak aselinya. Watak orang yang kemaruk harta dan kekuasaan. Pardji membuka sebuah praktek dukun diam-diam. Sebenarnya bila praktek ini untuk kebaikan, maka Ki Sangga Jagat tidak akan melarang, namun Pardji menspesialisasikan untuk menyantet orang.
Akhirnya Pardji diusir oleh Ki Sangga Jagat. Kemudian Ki Asmoro Dewo diajarkan seluruh ilmu pribadinya. Namun, entah karena bakat yang kurang ataupun karena memang tidak jodoh, ilmu pamungkas Ki Sangga Jagat tidak dapat dikuasai Ki Asmoro Dewo. Sudah puluhan tahun Ki Sangga Jagat mencari murid ketiga, namun tidaklah mudah mencari seorang anak dengan bakat yang besar. Ki Sangga Jagat sadar, ia harus mencari seorang anak yang memiliki bakat luar biasa untuk dapat memakai ilmu ini.
Ilmu Ki Sangga Jagat bukanlah ilmu temuan sendiri, melainkan ilmu yang sudah ada semenjak jaman kerajaan Jawa dahulu kala. Bila dirunut pada silsilah perguruan, para pendahulunya adalah para punggawa kerajaan-kerajaan besar. Ada yang menjadi salah satu perwira dari Panembahan Senopati di Kerajaan Mataram, ada yang menjadi perwira pada jaman Joko Tingkir berkuasa di Kerajaan Pajang. Bahkan, tertulis pada permulaan silsilah bahwa pendiri perguruan ini adalah salah satu panglima dari Kerajaan Majapahit yang mengundurkan diri karena pengaruh Gajah Mada yang haus kekuasaan.
Sementara, ilmu perbawa dan sirep disempurnakan ketika salah seorang pendahulu Ki Sangga Jagat itu menjadi bawahan Panembahan Senopati. Kono menurut catatan di daun lontar itu, Panembahan Senopati menghadiahkan ilmu perbawa dan sirep kepada pendahulu Ki Sangga Jagat sebagai hadiah atas jasanya yang besar kepada kerajaan.
Ilmu asal perguruan terutamanya adalah beladiri dan kebatinan. Konon ilmu ini adalah ilmu campuran antara silat keraton Majapahit dan ilmu dari negeri Cina yang didapatkan dari salah seorang perwira yang datang ke singosari untuk menghukum Kertanegara karena memotong telinga utusan dari Cina. Seperti tertulis di sejarah, Raden Wijaya menggunakan pasukan dari Cina ini untuk menghukum kerajaan Kediri (dengan Jayakatwang sebagai penguasanya) yang memberontak dan membunuh Kertanegara. Ketika perang usai, Raden Wijaya menusuk dari belakang dan mengocar-kacirkan pasukan dari Cina. Banyak perwira yang tertinggal di Jawa. Salah satunya, menurunkan ilmunya pada pendiri perguruan yang akhirnya menjadi panglima kerajaan Majapahit karena kedigdayaannya. Nama pendiri itu adalah Ekawira. Sebelum berguru kepada perwira Cina, ia sudah menjadi perwira di kerajaan Singosari di bawah Raden Wijaya. Ilmu silatnya adalah ilmu silat asli Jawa bercampur dengan ilmu kebatinan Hindu turn temurun dari keluarga. Setelah bertemu gurunya, perwira China bermarga Thio, maka diajarkanlah ilmu silat China yang melatih fisik dan tenaga dalam. Ilmu kebatinan dan Ilmu beladiri fisik inilah yang menjadi dasar ilmu Ekawira.
Pada dasarnya, ilmu perbawa dan sirep dari Panembahan Senopati dapat dengan mudah menyatu dengan ilmu perguruan dikarenakan ilmu kebatinan yang menjadi salah satu tiang dasar ilmu perguruan ini. Kalau sebelumnya, ilmu kebatinan dipakai untuk meyakinkan ilmu beladiri (seperti ajian-ajian), kini ilmu kebatinan itu bercabang sehingga menjadi ilmu yang dapat mempengaruhi orang lain bukan secara kontak fisik, melainkan dengan mempengaruhi pikiran secara langsung.
Perguruan ini tidak mempunyai nama. Karena memang tidak ada padepokannya. Pada mulanya ilmu ini diturunkan untuk keluarga saja. Namun, pada akhirnya, untuk melestarikan ilmu ini agar tidak punah, mau tidak mau ilmu ini harus diberikan kepada orang yang memang mempunyai bakat silat. Namun terutama, bakat dalam kekuatan pikiran. Hanya dengan gabungan antara kekuatan fisik dan kekuatan pikiran, maka ilmu pamungkas dapat dipakai.
Kembali kepada Ki Sangga Jagat. Ia mendapatkan kabar dari murid keduanya bahwa telah menemukan seorang anak yang memiliki bakat besar dalam menggunakan kekuatan pikiran. Maka, mungkin inilah saat yang tepat untuk menurunkan ilmu pamungkas kepada pewaris yang berjodoh. Bila anak ini memang berbakat besar dan mampu mempelajari ilmu itu, maka cincin kekuasaan perguruan akhirnya dapat ia berikan, dan ia akan mengundurkan diri.
Untuk itulah ia datang jauh-jauh dari Gunung Kawi ke rumah murid keduanya. Untuk mewariskan ilmu pamungkas perguruan. Untuk melestarikan ilmu yang sudah berabad-abad diturunkan dan disempurnakan. Dengan begitu, amanat para pendahulunya dapat dijalankan dengan baik.
*****
Di halaman belakang, Ki Sangga Jagat berbicara dengan murid keduanya. Mereka duduk di pavilion sederhana yang terletak didepan sebuah kolam ikan kecil.
“Pardji kini menyebut dirinya Ki Jagatsudana. Kamu tahu maksud dia apa?”
Ki Asmoro Dewo menggeleng.
“Sudana itu adalah bahasa Sansekerta berarti pembunuh. Kalau kamu mendengarkan ketika aku dulu mengajarkan bahasa-bahasa Sansekerta, maka seharusnya kamu tahu. Wong di pikiranmu itu Cuma ada Wedhok… sebenarnya, banyak sekali dasar ilmu kita yang menggunakan ajian-ajian dengan bahasa Sansekerta. Namun memang orang harus ada bakat dan minat untuk mempelajarinya. Kedua hal ini, memang kamu kurang…
“Nah Jagatsudana itu berarti pembunuh jagat. Jagat mana yang ia maksud? Ya jelas itu adalah aku. Si Pardji gendheng itu sudah berani-beraninya menantang aku!”
“Guru. Kenapa kita tidak labrak saja dia?”
“Ngawur! Aku ini sudah hampir seratus tahun. Kamu suruh aku perang dengan dia? Kamu kira dia itu berani begitu karena sudah bisa mengalahkan aku satu lawan satu? Dia itu sudah punya padepokan yang isinya begundal-begundal semuanya. Dia itu dari dulu penjahat. Tidak ada etika yang berlaku baginya. Sudah pasti ia akan main keroyok. Lagipula, dia ini sudah menjadi paranormal bagi pejabat negeri ini. Jadi, anak buahnya bukan hanya memiliki ilmu kanuragan, bahkan ada pula yang pakai senjata api. Belum lagi kalau si pejabat itu ikut turun tangan, bisa masuk bui kita…”
“Lalu, apa yang kita harus lakukan, guru?”
“Kita harus bersiap dan memupuk kekuatan. Kamu bilang kamu sudah punya murid yang berbakat. Aku mau lihat dia. Segera panggil dia ke sini. Nanti aku akan nilai apakah anak itu dapat menjadi pewaris ilmu pamungkas perguruan kita..”
“Baik, Guru….”
Saat itu, Hanifah, salah satu isteri Ki Asmoro Dewo datang membawa kopi. Hanya Hanifah yang masih bangun. Dan mendengar bahwa guru suaminya datang, ia segera merapikan diri lalu membuatkan minuman.
Ada cerita unik yang hanya para isteri Ki Asmoro Dewo yang tahu. Dan tidak semua isteri itu tahu. Siti, isteri termuda tidak tahu cerita ini.
Dahulu, Ki Sangga Jagat seringkali datang menyambangi murid keduanya ini. Bahkan dari awal-awal perkawinan muridnya. Pada mulanya Ki Asmoro Dewo tidak memiliki anak sampai perkawinannya berusia empat tahun. Akhirnya tahun keempat, isteri pertama Ki Asmoro Dewo melahirkan anak pertama mereka.
Pernikahan kedua terjadi, untuk dua tahun Ki Asmoro Dewo tidak mempunyai anak, namun setelah dua tahun maka pernikahan itu dikaruniai seorang anak. Dan terus terjadi sampai pernikahan ke enam Ki Asmoro Dewo. Intinya, untuk beberapa tahun, sang isteri tidak hamil, baru kemudian hamil dan melahirkan.
Kini, 2 orang isteri Ki Asmoro masih belum punya anak. Yaitu Hanifah dan Siti. Sudah lama Hanifah ingin punya anak, namun tidak bisa. Tahun lalu, akhirnya lima isteri Ki Asmoro yang sudah punya anak bercerita, bahwa sebenarnya Ki Asmoro kemungkinan besar mandul. Ke lima isteri Ki Asmoro itu ternyata pernah berhubungan seks dengan gurunya Ki Asmoro, dan tak lama kemudian mereka hamil. Jadi, anak mereka kemungkinan besar adalah anaknya Ki Sangga Jagat.
Hanifah merasa kecewa bahwa rahasia ini ia ketahui belakangan. Selama ini, memang ia jarang sekali menemui Ki Sangga Jagat ketika orang itu berkunjung. Karena, Hanifah sebenarnya adalah perempuan pemalu. Namun ia juga merasa jengkel kepada para madunya itu karena membagi cinta dengan lelaki lain.
Kini, ternyata Ki Sangga Jagat datang lagi ke rumah mereka. Dari ujung kamar tamu, ia mengintip untuk melihat sang guru, sebelum ia membawakan kopi di nampan. Wajah Ki Sangga Jagat tampak penuh keriput tanda sudah uzur. Seluruh rambutnya berwarna putih. Kalau dari cerita suaminya, sang guru kemungkinan berusia Sembilan puluh tahun, namun kalau dilihat tubuh lelaki tua itu masih kurus dan tegap. Seakan usia yang lanjut tidak berpengaruh pada kesehatan badannya.
Ki Sangga Jagat melirik sebentar ke arah Hanifah yang sedang mengintip. Hanya sekitar dua detik, lalu mata itu beralih lagi ke arah suaminya yang sedang membelakanginya. Namun dua detik itu sungguh dahsyat dirasakan Hanifah. Hanifah merasakan dadanya berdebar-debar entah kenapa. Namun ia berusaha menepis perasaannya lalu berjalan mengantarkan kopi.
*****
Hanifah tidak dapat tidur. Cuaca gerah sekali. Ia hanya memakai kain sebagai pembalut tubuh karena udara yang panas. Kipas angin tidak dinyalakan karena ia memang tidak suka tidur kena kipas angin. Hujan telah reda, tapi entah kenapa kamar ini panas. Lampu kamar yang masih menyala mungkin menyebabkan udara lebih panas lagi, namun ia sudah terlalu malas untuk mematikan lampu itu.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul dua malam. Dari yang ia dengar, sudah setengah jam lalu suami dan guru suaminya itu berhenti berbicara. Seperti biasanya, suaminya masuk ke kamar Siti, isteri paling mudanya. Sementara, sang guru dipersilahkan untuk masuk kamar tamu oleh suaminya.
Hanifah sangat mencintai suaminya yang ia nikahi ketika berumur 17 tahun. Saat ia berumur 16 tahun, ia sedang dalam kesusahan besar. Ia kabur dari rumah karena ibunya telah menikah lagi dengan ayah tiri yang jahat dan cabul. Hampir saja ia diperkosa. Sebelum terjerumus ke dunia malam, ia bertemu dengan Ki Asmoro Dewo yang menawari pekerjaan sebagai pengasuh anak di rumahnya.
Singkat cerita, setahun kemudian mereka menikah karena ada gejolak asmara di antara mereka berdua. Ki Asmoro Dewo adalah figure kebapakan yang ngemong dan sabar. Lama kelamaan Hanifah menjadi sangat hormat dan menyayangi lelaki itu. Ketika Ki Asmoro Dewo mengutarakan niatnya untuk menikahinya, ia langsung bersedia.
Menjadi satu dari 7 orang isteri dari lelaki yang sama adalah suatu beban. Terutama di bagian seks. Ia tidak dapat memiliki lelaki yang dicintainya itu sepenuhnya. Ia harus berbagi. Apalagi kini sudah ada isteri muda. Bisa dihitung dalam satu bulan, ia hanya disentuh beberapa kali. Hanifah tidak menyesal kawin dengan Ki Asmoro Dewo. Hanya saja banyak malam yang Ia lewatkan dengan rasa sepi yang menyedihkan, karena ia belum punya anak. Lima isteri yang lain sudah memiliki anak sehingga hari-hari mereka tidaklah terasa begitu sepi dan menyedihkan.
Tiba-tiba gagang pintu berputar perlahan. Ia memang tidak mengunci pintu dengan harapan malam ini sang suami akan datang menyambanginya. Dengan harap-harap cemas ia melihat pintu perlahan terbuka. Perlahan sosok di balik pintu terlihat sedikit demi sedikit.
Betapa kagetnya ketika ia melihat Ki Sangga Jagat yang membuka pintu. Hati Hanifah berdegup keras. Entah kenapa ia tidak berteriak kaget, seakan lidahnya kelu. Ia melihat Ki Sangga Jagat hanya memakai sarung. Kulit lelaki itu tampak memiliki bercak-bercak khas orang yang sudah tua, keringat lelaki itu terlihat membasahi badannya yang kurus. Lelaki itu tersenyum kepadanya.
Seakan sedang bermimpi, atau malah sedang menonton film, Hanifah melihat perlahan sekali Ki Sangga Jagat menutup pintu dan menguncinya, lalu berjalan perlahan menghampiri tempat tidurnya. Berhubung selimut masih tergeletak di kakinya, maka kini Hanifah seakan merasa tanpa perlindungan apapun, kain yang ia kenakan bagaikan tak berarti terhantam pandangan mata lelaki uzur yang seakan menelanjanginya.
Ki Sangga Jagat duduk di pinggir tempat tidur, melepaskan giginya dan menaruh gigi itu di dalam gelas air putih yang ada di samping tempat tidur yang selalu disiapkan oleh Hanifah. Ada rasa jijik yang dirasakan Hanifah melihat ini. Lalu, Ki Sangga Jagat merebahkan diri di samping Hanifah dengan miring menghadap perempuan itu. Lalu tiba-tiba lelaki tua itu mulai mengenyoti leher Hanifah dengan mulut ompongnya sambil setengah menindih tubuh kirinya.
Tanpa mampu berteriak minta tolong, Hanifah merasa ketakutan yang amat sangat. Ia merasakan mulut tanpa gigi itu menyedoti lehernya. Geli sekali terasa ketika gusi telanjang itu melahap lehernya dengan buas. Seluruh tubuh Hanifah menggigil akibat rasa takut dan rasa geli yang bercampur aduk. Mulut ompong itu dengan penuh nafsu menggerogoti seluruh leher depannya sehingga ludah kakek itu kini mulai menyelimuti lehernya yang berkeringat. Hanifah memejamkan matanya erat-erat, berusaha untuk tidak melihat Ki Sangga Jagat yang sedang mencabulinya.
Hanifah merasakan tangan kiri si kakek mulai meraba-raba dadanya yang setengah tertutup. Kulit telapak si kakek terasa kasar dan kapalan menyentuh dada kanannya, meremasi bukit susunya yang putih dan tertutup kain. Lalu mulut ompong si kakek mulai mengenyoti dagunya. Begitu lembut, hangat dan basah mulut itu. Ada aroma tembakau dan kopi dari mulut si kakek.
Tak lama tangan kiri si kakek menyusup masuk dari atas kainnya dan kini tangan yang kasar itu bersentuhan langsung dengan tetek kanan Hanifah. Sensasi ini membuat Hanifah membuka mulutnya dan berdesah. Ia seakan melupakan kejijikan dan ketakutannya pada Ki Sangga Jagat. Momen ini dimanfaatkan dengan baik oleh Ki Sangga Jagat untuk melumat bibir perempuan cantik ini dengan mulutnya yang ompong.
Hanifah merasakan ada lidah yang tebal dan kasar masuk kemulutnya, sementara bibirnya diemut oleh bibir yang basah dan lunak. Saat bibir si kakek melumat bibirnya dan tangan si kakek meremasi payudaranya yang sudah telanjang, Hanifah sudah terbuai oleh nafsu birahi yang tiba-tiba saja melandanya. Kemaluannya mulai basah karena cairan persenggamaan yang perlahan keluar dari mahkotanya itu.
Sudah beberapa minggu Hanifah tidak dinafkahi oleh Ki Asmoro Dewo. Sudah lama sekali dirasa Hanifah tidak disentuh lelaki. Kini tiba-tiba saja nafsu yang terpendam selam ini seakan jebol keluar, meruntuhkan dinding pertahanannya, membuatnya lupa akan segala hal. Hanifah kini balas melumat lidah Ki Sangga Jagat. Kedua tangannya memeluk perlahan tubuh kurus si kakek.
Ki Sangga Jagat bergerak merangkak di atas isteri muridnya itu, sambil terus berciuman, kedua tangannya membuka kain Hanifah yang hanya dilipat di pinggir saja. Lalu ia juga membuka sarungnya secara cepat dan melemparkan sarung itu sekenanya saja. Ketika mereka berdua telanjang, Ki Sangga Jagat menindih Hanifah.
Hanifah merasakan kontol Ki Sangga Jagat terjepit antara tubuhnya dan tubuh si kakek. Ia merasakan burung si kakek begitu panjang dan besar. Lebih besar dan lebih panjang dibanding milik suaminya. Memikirkan ini, memek Hanifah menjadi bertambah basah sehingga membasahi selangkangan mereka berdua.
Hanifah merasakan mulut si kakek meninggalkan mulutnya. Dengan sedikit kecewa perempuan itu membuka matanya. Ia melihat Kakek itu sedang memandangi tubuh telanjangnya sambil meremasi kedua payudaranya
“Cantik tenan sampeyan, ndhuk…..”
Lalu dengan buasnya, Ki Sangga Jagat melahap toket kiri Hanifah. Sementara, tangan kiri si kakek tetap meremasi payudara kanannya. Tangan kanan si kakek kini mengusap-usap vagina Hanifah yang sudah banjir dengan cairan lengket dan hangat dari kemaluannya.
Hanifah merasakan geli yang nikmat ketika gusi ompong si kakek menyedot-nyedot pentil tetek kanannya. Remasan tangan kiri si kakek makin liar seakan ingin mencopot teteknya yang sebelah kanan, namun sensasi tangan kanan si kakek yang mengusapi klitorisnyalah yang membuat kepalanya pusing tujuh keliling saking nikmatnya.
Beberapa saat kemudian si kakek melepaskan tindihannya di tubuh Hanifah lalu duduk agak ke bawah. Si kakek membuka kedua kaki Hanifah lebar-lebar. Hanifah tersipu malu melihat dirinya terbuka lebar seperti itu di hadapan Ki Sangga Jagat.
Lalu Ki Sangga Jagat mulai menjilati kemaluan Hanifah yang basah oleh keringat dan cairan vagina. Hanifah merasa di awing-awang ketika lidah kasar Ki Sangga Jagat menyapu bibir memeknya dengan lahap. Dengan bantuan tangannya, kakek itu membuka bibir memek Hanifah, lalu menjilati bagian dalam memek perempuan itu.
Hanifah yang selama ini mendesah-desah, kini mulai mengerang-erang. Pada mulanya ia takut kedengaran oleh suaminya, namun ia berfikir, guru suaminya tentu ilmunya lebih hebat lagi dari suaminya, sehingga kemungkinan besar malam ini suaminya sudah tertidur pulas disirep gurunya sendiri. Oleh karena itu, Hanifah mulai melepaskan gairahnya tanpa malu-malu dan takut lagi.
“iya… ayo, Ki…. Jilat terus tempikku……. Minum cairan tempikku, Ki……. Nikmati kemaluanku, Ki…. Bersihin memekku pake lidahmu, Ki…. Aaaaah…… enak, Ki…. Teruussss….. teruuuussss…..”
Setelah beberapa menit, Hanifah merasakan orgasme yang dahsyat. Kepalanya bagaikan berkunang-kunang dan seluruh tubuhnya seakan ikut menjerit, ketika ia menjerit dalam kenikmatan,
“Aku sampai, Kiiiiiiiiiiiiiiiiiii……………………………….”
Hanifah memejamkan matanya untuk beberapa saat karena kecapekan. Namun, Ki Sangga Jagat baru saja mulai. Kakek itu menghujamkan kontolnya ke dalam memek Hanifah lalu menindih perempuan itu.
Hanifah membuka matanya karena kaget. Memeknya sakit sekali karena diterobos dalam satu kali tusukkan. Kontol besar Ki Sangga Jagat bagaikan membelah dua selangkangannya. Lubang memeknya seakan penuh diganjal oleh batang yang besar. Hanifah memeluk erat-erat si kakek sambil mengeluh kesakitan.
“Awwwww…………. Sakit, Ki………….”
Ki Sangga Jagat tidak bergerak melainkan mulai menciumi bibir Hanifah lagi. Hanifah dalam kesakitannya membalas ciuman yang menggelikan dari Ki Sangga Jagat. Lama-kelamaan ia mulai menikmati sensasi disedot-sedot oleh mulut yang ompong itu. Bau khas kelelakian keluar dari tubuh Ki Sangga Jagat. Bau yang sering tercium keluar dari kuli-kuli atau buruh-buruh di pasar. Bau yang selama ini bagi Hanifah menjijikan. Selama ini ia hanya menyukai bau tubuh suaminya. Apalagi suaminya yang kaya itu memakai wewangian mahal. Namun kini, aroma lelaki tulen yang dimiliki oleh guru suaminya itu malah membuat Hanifah bernafsu lagi.
Hanifah membalas ciuman lelaki itu. Lidah mereka saling menjilat-jilat, seakan bersilat dan bergulat, bergumul berusaha merasakan saripati ludah satu sama lain. Kedua tubuh mereka kini berkeringat deras. Tubuh harum Hanifah menempel di tubuh kakek yang bau keringat lelaki. Ki Sangga Jagat mulai perlahan mengocoki memek perempuan itu dengan kontolnya yang besar.
Telah lima isteri muridnya yang ia gauli. Ia tahu dari pengalaman bahwa kesemuanya memiliki memek yang sempit bagi kontolnya. Kontol muridnya memang tidak sebesar dan segagah dirinya, dan juga sperma muridnya tidak sekuat dirinya. Seluruh anak yang dilahirkan isteri muridnya adalah anaknya. Begitu bodohnya Ki Asmoro Dewo, pikir Ki Sangga Jagat.
Makin lama kocokan Ki Sangga Jagat makin cepat dan kuat. Cairan vagina Hanifah sedari tadi kembali berlimpah keluar dari lubang kenikmatannya memudahkan gesekkan antara batang kontol si kakek dengan dinding liang surgawi Hanifah. Hanifah sudah berteriak teriak dalam kenikmatan,
“yang keras, Ki…… encuki sing kuwat, Ki…….. encuki aku, Ki………….”
Sementara selangkangan Ki Sangga Jagat sudah berkali-kali menghantam selangkangan Hanifah dengan keras menimbulkan suara benturan khas orang sedang ngentot. Hanifah serasa di langit ke tujuh saat ia merasakan memeknya kini bertubi-tubi dirojoh-rojoh kontol si kakek, di lain pihak mulut ompong si kakek juga sedang asyik mengenyoti lehernya yang penuh cairan campuran keringat dan ludah, ditambahi kedua tangan si kakek yang tak kenal lelah meremasi, memelintir dan mengusapi kedua payudaranya yang indah itu.
Ki Sangga Jagat sudah lama tidak mengentoti vagina sempit seperti ini. Isterinya di rumah ada tiga orang, dan memek mereka sudah tidak serapat dulu karena tiap hari digenjot oleh kontolnya yang besar. Kini, ia bermaksud untuk tinggal di sini untuk sementara, selain untuk melatih murid baru, juga untuk meniduri isteri-isteri muridnya. Apalagi si Siti yang masih 17 tahun, pasti masih legit.
Memikirkan si Siti, Ki Sangga tak tahan lagi, sehingga akhirnya dengan lenguhan panjang, kontolnya menyemburkan spermanya dalam-dalam ke liang senggama Hanifah. Hanifah yang nafsunya juga sudah di kepala, ketika merasakan siraman peju guru sang suami, kembali orgasme. Kali ini orgasmenya bahkan lebih dahsyat dari sebelumnya.
Kedua insan itu akhirnya terkapar kecapekan di tempat tidur setelah mencapai klimaksnya.
loading...

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Anak Lurah - 6"

Posting Komentar