loading...

Anak Lurah - 11

Tubuh Harun gemetar ketika berjalan, namun ia menahannya. Ia tidak ingin ibunya melihat bahwa anaknya yang ia andalkan sedang ketakutan. Maka dengan segala kekuatannya ia berusaha menekan rasa ketakutannya itu jauh ke dalam lubuk hatinya yang sedang berdebar keras memompa darahnya ke sekujur tubuhnya.

Justru di saat seseorang sedang mengalami takut akan kematian, di sanalah ia dapat merasakan kehidupan pada puncaknya. Setiap nafas yang ditarik dan dihembuskan, setiap detak jantung yang berdebar di rongga dadanya, setiap peluh yang menetes, setiap tiupan angin di kulit, setiap langkah kaki yang berderap, barulah secara sadar dirasakan bahwa kehidupan itu begitu indahnya, begitu kompleks, begitu rapuhnya…

Demikianlah Harun baru merasakan apa artinya hidup dan sebesar apakah berharganya hidup. Perasaan itu membuat Harun ingin bergegas meninggalkan rumah itu saat ini juga. Untuk berlari jauh demi menyelamatkan diri. Namun, keluarganya membuat kakinya menjejak lantai keras-keras, sekeras kemauannya untuk membela keluarganya habis-habisan. Tak peduli ada seribu Ki Jagatsudana di depan mata, sampai darah terakhir menetes, barulah perjuangan ini akan berakhir...
Para tamu dan Seto telah duduk di meja makan. Sisa dua bangku lagi, bangku di kiri dan kanan Seto kosong. Lelaki-lelaki bejat itu berusaha untuk menempatkan Asih di samping Ki Jagatsudana.



Dengan cepat, Harun memasuki pikiran Seto lalu memerintahkan ayahnya itu untuk bergeser ke samping kanan. Harun secara cepat pula menaruh ibunya di antara ayahnya dan dia.

Ki Jagatsudana tampak terkejut. Ia sudah memasuki pikiran Seto sebelumnya dan tidak ada niat apapun untuk pindah kursi. Namun di detik terakhir lelaki itu bergerak dan membuat istrinya kini tak dapat dijangkaunya lagi. Dicobanya untuk masuk ke dalam pikiran Seto lagi, dan dengan terkejutnya Ki Jagatsudana melihat bahwa pikiran Seto sudah berubah, seto bergerak menggeser agar isterinya diapit keluarga. Padahal sebelumnya Seto tidak mempunyai pikiran apa-apa mengenai hal ini.

Ada sesuatu yang aneh di sini. Apakah ada orang pintar di daerah ini yang tidak ia ketahui? Ia mendengar dari orang-orang bahwa adik seperguruannya Ki Asmoro Dewo ada di daerah ini, namun tidak mungkin bocah itu berani melawannya. Namun, kalau benar si bangsat itu yang menjadi biang keladinya, maka bayarannya akan mahal sekali!

Ki Jagatsudana meramkan mata dan mulai berkomat-kamit. Harun merasakan kepalanya seakan ada yang menyerang. Sambil berusaha bertahan ia mencoba melihat pikiran ayahnya untuk mencari tahu apa yang sedang dilakukan oleh musuhnya ini.
Benak ayahnya tampak mulai menutup seakan mau tidur. Rupanya Ki Jagatsudana sedang menyirep seisi ruangan. Harun mulai pura-pura tertidur, ia mengirimkan gambaran palsu kepada benak musuhnya agar yang diterima Ki Jagatsudana adalah Harun juga terpengaruh sirep itu. Rupanya sirep itu hanya ditujukan kepada keluarga Harun, karena para begundalnya tidak terpengaruh.
Ketika ayah dan ibunya tertidur, Harun juga pura-pura tertidur.
“Bagus, mereka sudah tidur semua…. Dodo, Anwar, Ujang dan Adi, siapkan senjata…. Tampaknya kita didatangi tamu….”
Harun dalam posisi yang seakan tidur di meja makan, mendapati benak Ki Jagatsudana terbuka, karena lelaki itu sedang melakukan ‘scanning’ dengan mata batinnya untuk melihat apakah ada Ki Asmoro Dewo di sekeliling rumah itu. Sementara itu, para begundalnya berdiri dan meloloskan golok dari balik baju mereka.
Melihat kesempatan bagus, Harun segera menaruh gambaran palsu di benak musuhnya itu, ini adalah jebakan yang baik menggunakan rasa takut musuhnya sendiri.
Ki Jagatsudana merasakan ada seseorang di luar rumah, dan orang itu tampak memiliki mata batin yang kuat, karena tak dapat diserang secara batin.
“Serang! Ada orang di depan rumah!” perintah Ki Jagatsudana kepada begundal-begundalnya.
Anak buah lelaki itu berlarian ke depan. Sementara Ki Jagatsudana meraih pisau di meja lalu mendekati Asih. Harun mendapati pikiran lelaki itu yang sekarang tidak terjaga sama sekali memperlihatkan rencana untuk menggunakan keluarga Harun sebagai sandera, bila ternyata musuh Ki Jagatsudana, entah itu asmoro dewo atau bukan, ternyata mengalahkan begundal2 miliknya, dan bahkan lebih sakti daripadanya. Untuk itu keluarga Harun dapat digunakan sebagai barter nyawa.
Harun melihat bahwa musuhnya sedang lengah. Oleh karena itu ia segera menginvasi pikiran empat begundal-begundal itu. Mereka berempat telah sampai di depan rumah dan tidak mendapati siapa-siapa. Namun, tiba-tiba saja, teman yang disamping mereka berubah menjadi manusia serigala. Ini tentu saja ulah Harun, yang mempengaruhi pikiran mereka. Selain membuat pandangan para begundal itu berubah, Harun juga membuat hati mereka menjadi nekat. Bukannya takut melihat ada manusia serigala di samping mereka, mereka malah kalap saling menyerang satu sama lain.
Mendadak saja keempat orang itu saling berbacokan satu sama lain. Ki Jagatsudana kaget mendengar bunyi pertempuran di luar. Ia segera berusaha membaca pikiran para begundalnya. Harun tentu saja segera melakukan intercept, dan membuat apa yang dilihat mata batin Ki Jagatsudana berbeda dengan kenyataan. Yang dilihat Ki Jagatsudana adalah empat orang anak buahnya sedang asyik mengeroyok Ki Asmoro Dewo dan orang itu sekarang sedang keteteran di serang bahkan mulai ada luka di sana-sini.
“Hahahahah! Asmoro Dewo! Dari dulu ilmu silatmu Cuma segini saja!”
Harun di lain pihak mulai mempengaruhi para begundal itu agar berkelahi semakin jauh dari rumah, sementara di mata Ki Jagatsudana ke empat begundalnya sedang mengejar Asmoro Dewo yang sedang terpontang panting kabur. Dalam kenyataannya, setelah hampir satu kilo empat orang itu berlari sambil bacok-bacokan, mereka jatuh ke sungai yang tak jauh dari situ dan mati tenggelam.
Ki Jagatsudana tertawa terbahak-bahak dan segera meminum anggur yang ada di meja langsung dari botolnya. Rencananya setelah makan malam selesai mereka akan minum anggur, namun kini botol itu ditenggak habis oleh lelaki bejat itu.
Kini Harun sudah dapat konsentrasi karena tidak mempengaruhi empat orang begundal-begundal itu. Di tambah lagi, Anggur Perancis yang dipunyai ayahnya itu sangat keras buatan tahun 1920. Kini Ki Jagatsudana tidak peduli lagi dengan pertahanan mentalnya, melainkan mulai berpesta sendirian di ruang makan itu. Maka perlahan-lahan kekuatan pikiran Harun sudah mulai menyelimuti pikiran Ki Jagatsudana, walaupun lelaki itu belum menyadarinya.
Ki Jagatsudana baru sadar kembali bahwa Asih, wanita idamannya itu sedang tidur di meja makan. Dengan tergesa-gesa ia menarik jilbab pink Asih sehingga copot dan rambut hitam ibunya yang panjang hingga pangkal lengannya tertarik paksa sehingga menjuntai-juntai selama beberapa saat. Dijenggutnya Asih lalu dinikmatinya wajah perempuan yang indah itu.
“Harum tenaaaan….. bangun sampeyan!” perintah lelaki itu.
Asih tiba-tiba terbangun dan seketika itu juga kaget bukan kepalang. Ia mendapati dirinya sedang dijambak Ki Jagatsudana yang sedang berdiri di sampingnya, sementara baik suami maupun anaknya tampak terkulai di meja makan.
Asih ingin berteriak, namun tiba-tiba saja Ki Jagatsudana menariknya ke belakang keras-keras sehingga perempuan itu terhempas ke lantai bersama kursi yang jatuh.
“Jangan berisik! Lihat pisau ini!”
Dari lantai Asih melihat lelaki itu menaruh pisau yang digenggamnya di leher anak satu-satunya, Harun.
“Jangan sakiti anakku!” teriak Asih sambil mengeluarkan air mata.
“Tenang saja, manis. Kalau kamu mau menurut, maka tidak ada yang akan aku lukai,” kata Ki Jagatsudana dengan perlahan sambil menghampiri Asih bak singa yang mengincar mangsanya di hutan.
Harun yang telah “memegang” benak musuhnya, belum melakukan apa-apa, melainkan melihat dulu apa yang akan musuhnya lakukan. Selain itu, kenyataan bahwa ibunya akan diperkosa membuat Harun menjadi horny dan rudalnya tahu-tahu sudah keras.
“berdiri!” bentak Ki Jagatsudana. Asih berdiri.
“Buka bajumu!”
Asih terdiam sejenak, namun karena takut anaknya akan disakiti, akhirnya dengan tangan gemetar ia membuka pakaiannya. Dengan sedikit susah, kedua tangan Asih menjangkau resleting yang ada di belakang gaun pinknya yang lebar itu. Gaun itu biasa disandingkan dengan jilbab. Gaun yang lebar dan tidak menunjukkan aurat sama sekali. Gaun panjang semata kaki.
Setelah resleting sudah ditarik penuh, maka tali pinggang Asih kendorkan. Perlahan lalu Asih menarik pakaiannya sehingga sedikit demi sedikit tertarik ke bawah. Harun yang penasaran, mengintip. Kebetulan posisi tidur pura-puranya adalah menelungkupkan kepala di kedua tangan di meja, sehingga dengan sedikit mengubah posisi badannya, ia dapat melihat ibunya dan punggung Ki JagatSudana.
Perlahan-lahan bahu putih ibunya yang dihiasi tali BH terlihat. Perlahan pakaian itu terbuka lagi ke bawah memunculkan sedikit demi sedikit bagian dada Asih. Akhirnya setelah melewati cup BH, pakaian itu terjatuh ke lantai. Kulit ibunya putih namun agak kekuningan, sehingga tidak Nampak pucat, melainkan berkilauan menantang ditingkahi oleh lampu kamar makan.
BH dan celana dalamnya berwarna hitam yang sangat kontras dengan warna kulit tubuhnya yang ramping itu. Tonjolan dadanya yang masih berbungkus BH hitam itu menjadi lebih berkesan untuk dilihat. Lekuk bukitnya tampak makin terlihat dan makin menggairahkan. Apalagi dada itu kini naik turun disebabkan rasa takut, yang juga mengakibatkan peluh mulai berjatuhan.
Setelah Asih mandi, perempuan itu memutuskan untuk tidak memakai parfum, agar supaya tidak menarik nafsu para tamunya itu. Apalagi, Asih pun mandi tanpa menggunakan sabun. Bagi Asih, siapa tahu para tamunya itu tak menyukai bau badannya yang tanpa sabun ataupun parfum.
Namun, di malam yang sepi itu, angin dari pintu depan yang tidak tertutup rapat oleh para begundal, masuk dengan kencangnya, membanting pintu itu. Udara malam itu masuk terus ke dalam ruangan makan yang ada tidak jauh dari ruang tamu, pertama-tama menghantam badan Asih yang setengah telanjang dan berkeringat, kemudian angin itu bertiup lanjut ke arah Ki Jagatsudana dan Harun.
Bau tubuh Asih yang lembut tertiup jelas ke arah dua lelaki itu. Sontak kontol Harun berdenyut penuh nafsu, dan demikian pula Ki Jagatsudana. Nafsu sudah memuncaki kepala kedua lelaki itu.
Namun, hanya seorang yang memiliki kepala dingin. Dialah Harun. Dalam nafsunya, Harun mendapati musuhnya yang bernafsu itu kini sudah lupa daratan, suatu keadaan yang mampu ia gunakan. Maka, sesaat sebelum Ki Jagatsudana menerkam ibunya, kekuatan pikiran Harun yang sudah membungkus benak Ki Jagatsudana, kini sekuat tenaga dikerahkan untuk menggempur benak musuhnya itu.
loading...

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Anak Lurah - 11"

Posting Komentar