loading...

Kepergian Tisha

Aku terpaku melihat ke luar jendela kamarku. Aku tak bisa berhenti memandangi jendela yang letaknya tepat berseberangan dengan jendela ini. Aku tak bisa berhenti memandangi rumah yang ada di seberang itu.
Masih terasa seperti mimpi. Aku berharap ini mimpi. Ah, tapi… mau tak mau, kenyataan ini harus aku terima.
Jendela dengan bingkai berwarna biru itu, pintu itu, halaman itu. Ah, Tisha… aku sangat merindukanmu. Kenapa harus jadi seperti ini? Bukankah kau yang selalu bilang bahwa kau paling ahli dalam membuat cerita-cerita yang bagus dengan happy ending? Kau terlalu sibuk memberikan tokoh-tokoh khayalanmu happy ending, sehingga kau lupa memberikan dirimu sendiri sebuah happy ending.
Apa yang bisa aku lakukan tanpamu, Tish? Tanpa aku sadari, keberadaanmu sudah menjadi ketergantungan bagi hidupku. Aku tak bisa mempercayai diriku sendiri dalam melakukan sesuatu. Aku tak bisa, jika aku melakukannya tanpamu.

Aku merindukan senyumanmu, Tisha. Aku merindukan nasihatmu. Aku ingin kau terus ada di sana, di balik jendela berbingkai biru itu.
“Leo, ayo buruan! Udah jam enam, nanti kamu terlambat ke sekolah, lho,” teriak mama dari lantai bawah.
Aku menoleh sejenak ke arah pintu kamarku, seakan-akan mama sedang berdiri dan berteriak dari situ. Setelah melayangkan pandangan terakhirku ke jendela berbingkai biru itu, aku pun mengambil tasku dan melesat turun menuju garasi.

***



Bahkan meskipun sudah lewat dua minggu, aku masih belum bisa mengikhlaskanmu. Bagaimana bisa aku melupakanmu, jika semua hal di dunia ini mengingatkanku akan dirimu?
Kau yang ada di sampingku saat aku kehilangan arah, menerima kenyataan bahwa kedua orangtuaku telah bercerai. Kau yang memegang tanganku, membimbingku. Kau tunjukkan kepadaku sebuah dunia baru. Dunia dimana aku bisa melampiaskan dan menghilangkan segala kegalauan dan keresahanku. Dunia dimana aku bisa mencurahkan segala isi hatiku. Kau ajari aku menulis begitu banyak cerita.
“Daripada kamu sedih terus, mending kamu coba tulis sesuatu deh, Leo,” ucapmu saat itu.
“Nulis apa, Tish?” tanyaku.
“Apa aja, terserah kamu. Kalau aku lagi sedih atau apa, biasanya aku nulis. Habis itu, perasaanku bisa jadi lebih mendingan.”
“Tapi aku nggak bisa nulis cerita…”
“Kamu coba aja dulu. Pasti kamu bisa, percaya deh sama aku,” ucapmu sambil tersenyum hangat padaku.
Sejak saat itu, kita sering kali membuat cerpen bersama. Aku yang mengusulkan ide pertama, kau yang melanjutkan, lalu aku menambahkan, lalu kau menyelesaikan. Dengan akhir yang bahagia, tentunya. Selalu begitu. Dan saat kita sama-sama menduduki bangku kelas satu SMA, kau mulai mencoba mengirimkan cerpen-cerpen yang telah kita tulis bersama.
Pada suatu hari, salah satu cerpen kita muncul di sebuah majalah. Aku sangat ingat ekspresimu pada saat itu. Kau begitu gembira, hingga kulihat wajahmu memerah. Kau tertawa sangat keras sekali dengan begitu senangnya, sampai-sampai aku menutup kedua telingaku.
Sejak saat itu, cerpen kita cukup sering terpampang di berbagai majalah. Dengan uang honor menulis cerpen, kita jalan-jalan, mencoba berbagai makanan bersama, membeli benda-benda bodoh, atau apapun yang dapat membuat kita tertawa bersama.
Aku ingin kembali ke masa lalu, menghentikan waktu, dan tinggal bersamamu di saat bahagia itu untuk selamanya…

***

Saat aku baru memasuki kamarku sepulang sekolah, ponselku berdering. Tertera nama tante Ratih, mama Tisha, di layar.
“Halo, Tante. Ada apa?” sapaku.
“Halo, Leo. Duh, maaf ya tante gangguin kamu waktu baru pulang sekolah gini,” jawab tante Ratih.
“Nggak apa-apa kok, Tante.” kataku.
“Gini, Leo, kamu sibuk nggak? Mau nggak besok sepulang sekolah mampir ke rumah buat nemenin tante? Kamu tahu sendiri, semenjak Tisha meninggal, tante tinggal di rumah saudara tante. Tapi besok tante pulang, karena tante kangen…” tante Ratih terdiam di seberang sana.
Aku ikut terdiam, termenung.
“Tapi kalau kamu sibuk, nggak apa-apa kok, Leo,” lanjutnya.
“Nggak, Tante. Nggak sama sekali kok. Aku juga kangen sama tante… kangen Tisha, maksudku,” sergahku cepat.
“Ma-makasih ya, Leo,” ucap tante Ratih sambil menahan isak tangisnya.
“Sama-sama, Tante,” jawabku, juga sambil menahan tangis.

***

Seharian di sekolah, aku hampir tak bisa berkonsentrasi sama sekali. Pikiranku terus melayang ke jendela berbingkai biru itu. Aku tak sabar untuk segera pulang dan memasuki kamar dimana kau biasa beristirahat saat Tisha masih ada dulu.
“Leo!” panggil Jessica, yang duduk di depan bangkuku. “Nilai-nilai ulanganmu sekarang merosot, loh. Terus-terusan sedih itu nggak baik.”
Aku hanya memandanginya lalu tersenyum.
“You gotta move, Leo. You can’t be like this all the time,” ucap gadis blasteran itu sambil tersenyum dan menggenggam tanganku.
“Iya, Jes. Makasih ya,” jawabku. Aku tahu kalau Jessica sedikit menaruh hati kepadaku.

***

Sepulang sekolah, aku langsung mengganti seragamku dengan pakaian rumah, lalu meluncur ke rumah yang letaknya tepat di seberangku. Untuk sesaat, aku terhenti di depan pagar rumah itu dan memandangi jendela berbingkai biru yang ada di atas.
“Leo, ayo masuk!” panggil tante Ratih dari dalam rumah.
Dia adalah seorang wanita keturunan Tionghoa, yang meski sudah cukup berumur, tapi masih tetap cantik. Kulitnya putih bersih, dengan body yang masih mengundang air liur lelaki yang memandangnya meski usianya sudah hampir menginjak kepala empat. Pinggulnya terlihat padat berisi, dengan paha yang jenjang dan meqi yang tebal. Payudaranya yang indah kencang terlihat bulat membsung, sangat serasi dengan bentuk badannya yang cukup ramping. Ditambah sorot mata yang sayu tetapi tajam, menandakan kebinalannya di atas tempat tidur, maka makin lengkaplah ia terlihat sempurna di mataku. Itulah kenapa, selama berpacaran dengan Tisha, aku juga tertarik pada tante Ratih. Tertarik dalam hal fisik tentunya.
Menghela nafas berat, aku pun berjalan memasuki rumah itu. “Sepi ya, Tante…” ucapku membuka pembicaraan.
“Iya, om lagi ada dinas ke luar kota, jadi tante sendirian di rumah. Makanya minta ditemenin sama kamu. Selain Tisha, tante udah anggap kamu kayak anak tante sendiri,” tante Ratih tersenyum. Saat itu ia mengenakan daster tipis yang membalut ketat badannya yang sintal padat. Rambut ikalnya yang panjang bercat kemerahan diikatnya ke atas, memperlihatkan tengkuknya yang putih seksi.
Aku hanya tersenyum. Satu hal yang kusukai dari tante Ratih, dia suka duduk di sofa dengan menaikkan sebelah kakinya ke lengan sofa. Satu kali pernah aku akan mengajak Tisha pergi keluar, saat membuka pintu, kudapati tante Ratih lagi nonton TV. Rupanya dia tidak mengira aku akan masuk, cepat-cepat ia menurunkan sebelah kakinya dari sandaran sofa, tapi aku sudah sempat melihat celah kangkangan kedua pahanya yang putih mulus serta celana dalam merah jambu yang membalut ketat meqi-nya yang bulat cembung. Aku meneguk ludah, kontolku sontak berdiri. Untunglah saat itu Tisha cepat datang hingga kekakuan kami berdua bisa teratasi. Sejak itu, pemandangan sekilas itu selalu menjadi obsesiku. Setiap melihat tubuh tante Ratih, aku pasti teringat kangkangan paha dan meqi tebal dalam pagutan ketat celana dalam miliknya. Dan itu membuatku sangat bergairah.
Sama seperti saat ini. Setelah memberikan titipan kue dari mama kepada tante Ratih, aku memperhatikan setiap bagian dari tubuhnya. Tubuh yang selalu menghantui hari-hariku. Di luar cuaca terlihat agak sedikit mendung.
"Wah, siang-siang begini sudah mendung, Mudah-mudahan aja nggak hujan.." kata tante Ratih sambil melihat ke arah luar. "Kamu mau ke kamarnya Tisha? Biar tante buatkan kamu minum dulu ya. Kamu tunggu di sana aja,” ucap tante Ratih.
Aku mengangguk, lalu berjalan menaiki tangga, menuju kamar Tisha. Di luar, gerimis mulai turun. "Haduh, baru aja diomongin, malah hujan beneran." gerutuku. "Bisa-bisa aku nggak bisa pulang nih!" ujarku lagi sambil melirik jam tangan hitam kotak di lengan kananku. Gerimis itu lama-kelamaan menjadi hujan yang cukup deras, sehingga hawa siang itu menjadi agak dingin.
Keadaan kamar Tisha masih sama seperti tiga minggu lalu, sehari sebelum hari ulang tahunku. Hari dimana Tisha mengalami kecelakaan sepulangnya dari toko buku favoritnya. Setelah mengalami koma dan kritis selama seminggu, akhirnya dia tetap tak terselamatkan. Pendarahan yang parah terjadi di kepalanya.
Sebenarnya aku masih agak penasaran. Biasanya Tisha selalu mengajakku kalau dia akan pergi ke toko buku favoritnya yang letaknya lumayan jauh dari rumah kami itu. Tapi saat itu, Tisha tidak mengajakku, bahkan untuk sekedar memberitahuku pun tidak.
Aku duduk di depan meja komputer. Pojok favorit Tisha. Dia seringkali duduk di meja yang letaknya berdekatan dengan jendela berbingkai biru ini. Aku selalu bisa melihatnya dari balik jendelaku.
Tiba-tiba aku melihat sebuah plastik putih dengan label nama toko buku favorit Tisha di samping komputernya. Di dalamnya terdapat sesuatu yang dibungkus dengan kertas kado bergambar Naruto, tokoh kartun favoritku. Aku sedang menekan-nekan bungkusan itu untuk mengira-ngira isinya saat tante Ratih berjalan memasuki kamar dengan membawa segelas sirup markissa, sirup kesukaanku dan Tisha.
“Itu bingkisan yang dibawa Tisha waktu dia ngalamin kecelakaan. Tante rasa itu buat kamu,” ucap tante Ratih, seakan bisa membaca pikiranku.
“Oh ya, Tante?” mengamati tante Ratih yang sedang meletakkan gelas di meja membuatku kembali bergidik. Wanita itu terlihat sangat menggoda dan membangkitkan gairah. Apalagi di cuaca yang dingin seperti ini, dimana kita cuma berdua di dalam kamar Tisha yang sepi. Kesempatan sangat terbuka, tinggal bagaimana aku memanfaatkannya.
Tante Ratih hanya mengangguk menanggapi pertanyaanku. “Waktu itu ada beberapa lembar naskah cerpen juga di dalamnya. Naskahnya tante taruh di kamar atas. Sepertinya itu juga untuk kamu,” lanjutnya.
”Iya, tante. Kita memang sedang ada proyek nulis.” jawabku.
”Tunggu sini, biar tante ambilkan.” wanita itu kemudian berbalik dan berjalan menaiki tangga.
Tak berkedip aku menatap goyangan pantat semoknya yang terbungkus daster putih mini. Gairahku semakin meluap. Aku cuma bisa menelan ludah berkali-kali untuk mengendalikan birahiku. Tapi entah desakan dari mana, aku tiba-tiba saja sudah mengikutinya. Bahkan, sambil berjalan pelan agak berjinjit agar tidak bersuara, aku mendongakkan kepalaku ke atas  untuk melihat paha dan bagian dalam roknya. Samar-samar bisa kulihat celana dalam hitam tante Ratih yang sedikit berenda, juga gundukan mungil  menggiurkan yang ditumbuhi bulu-bulu halus di baliknya. Pemandangan itu membuat nafasku semakin naik turun tidak teratur. Di luar, hujan turun semakin deras, seperti membenarkan segala tindakanku.
Tante Ratih masuk ke sebuah kamar. Aku terus mengikutinya. Kulihat ia membungkuk untuk membuka sebuah laci dan mengaduk-aduk isinya, mencari naskah itu. Pelan, aku mengendap-endap di belakangnya dan berdiri tepat di belakang tubuhnya, menunggu tante Ratih berdiri. Mataku lekat menatap pantat bulatnya yang tersaji indah di depanku. Ingin aku memegangnya, tapi tidak berani. Juga kulirik bongkahan payudaranya yang menggantung indah saat dia membungkuk. Kucoba membandingkan dengan telapak tanganku, sepertinya tidak akan cukup kalau aku menangkup keduanya. Benda itu terlalu besar. Hhh, menghela nafas berat, aku berusaha mengumpulkan keberanian untuk menyalurkan birahiku yang rasanya sudah ada di ubun-ubun.
Tak lama kemudian, kelihatannya tante Ratih sudah menemukan apa yang dicarinya. Setelah menutup kembali laci itu seperti semula, ia pun berdiri, dan langsung dikejutkan oleh kehadiranku di hadapannya.
"Lho..." belum sempat dia menyelesaikan kalimat, aku sudah keburu memeluknya, sambil membungkam mulutnya dengan tanganku. Tentu saja tante Ratih langsung meronta dan berusaha berteriak, sambil tangannya bergerak liar memukuli punggungku. ”Hmph.. Hmphm.. Hhhh..” rintihnya.
”Maafkan saya, tante. Sebenarnya sudah lama saya memendam gairah ini. Dan hari ini, tante terlihat begitu menggoda. Saya jadi nggak tahan.” bisikku sambil semakin kuat mendekap dan membungkam mulutnya. ”Hanya ada kita berdua di rumah ini. Dan di luar, hujan turun begitu deras. Tidak akan ada yang mendengar meski tante berteriak kencang.” lanjutku mengancam.
Rupanya perkataanku itu membuat tante Ratih tersadar bahwa usahanya untuk melawan akan sia-sia. Tubuh montoknya pun perlahan menjadi lemas. Melihatnya pasrah seperti itu, aku pun mengendurkan dekapan dan bungkaman pada mulutnya. Tapi itu juga tidak lama karena aku langsung menggantinya dengan ciuman dan lumatan pada bibir sensualnya. Kulumat habis bibir tipis tante Ratih, juga wajah dan lehernya yang jenjang. Nafasku sampai tersengal-sengal karena saking bernafsunya.
"Hmph… a-apa yang kamu lakukan? Kurang ajar kamu!" hardik tante Ratih diantara ciumanku. Suaranya lemah, sama sekali tidak ada nada marah.
Tersenyum girang, kuteruskan ciumanku. Dan kali ini lebih liar dan ganas.
"Tenang, Tante. Jangan takut, tante nurut aja. Biar kita sama-sama enak," bisikku sambil terus melumat bibirnya. Tanganku juga sudah mulai menjamah bulatan buah dadanya.
"J-jangan, Leo. Please. Kenapa kamu nggak nyari perempuan yang lebih muda aja? Aku ini ibunya Tisha, Leo!" lirih tante Ratih sambil berusaha menepis tanganku yang sudah mulai meremas lembut puting kirinya yang masih terbungkus bra dan daster tipis.
"Iya, saya tahu, tante. Sudah deh, tante nurut aja. Ntar pasti Tante nikmatin juga. Percaya deh!" bisikku di telinganya, sambil kemudian kujilati telinga yang beranting berlian itu. "Mmh... Tante begitu harum. Kulit tante mulus dan wangi." sambungku sambil terus menggerayangi buah dadanya.
Tante Ratih tampak enggan mengakui kalau ia merasa tersanjung oleh kata-kataku, tetapi aku tahu, dalam hati kecilnya ia tergoda juga. Terbukti, ia sudah mulai mendesah sekarang. ”Sshh... ahh...”
Sambil mendorong tubuh tante Ratih agar rebah ke lantai, kutarik daster yang dipakainya ke atas hingga terpampanglah perutnya yang putih dan mulus. Walaupun agak sedikit gemuk, tetapi tak mengurangi keseksiannya. Ciumanku perlahan mulai turun ke leher, terus ke arah buah dadanya yang masih terbungkus BH, dan akhirnya mulai menggerayangi perut dan pusar perempuan cantik itu.
Rupanya ciumanku di bagian perut dan pusarnya lama-kelamaan menimbulkan kegelian yang amat sangat. Tak munafik, tante Ratih mulai menikmatinya. Teriakannya berangsur-angsur berubah menjadi desahan nikmat. Tangannya yang berusaha mendorong tubuhku, sekarang malah sesekali meremas rambut dan menekan kepalaku agar semakin dalam dan rapat dengan tubuhnya.
"Ssshh.. J-jangan, Leo... l-lepaskan... auhh!" bisik tante Ratih setengah hati, antara ingin menolak dan mulai menikmatinya. Ia tengah dilanda kebimbangan karena di satu sisi ia merasa harus mempertahankan harga dirinya agar tidak kuperkosa, namun di lain sisi ia juga mulai menikmati permainanku yang sedikit kasar itu. Sementara itu, tanpa disadari oleh tante Ratih, tanganku sudah berhasil menyingsingkan celana dalamnya ke bawah, dan mulai menggerayangi daerah kemaluannya.
"Nngghh..." tak sadar, tante Ratih melenguh nikmat saat tangan nakalku mulai mengelus-elus bukit kenikmatannya yang terasa sudah mulai basah. Ciumanku juga tak henti-hentinya menggerayangi bibir, leher dan buah dadanya yang putih montok dan masih terbungkus bra hitam berendanya itu.
"Ahh... sshh..." lenguh tante Ratih semakin keras. Tampaknya ia semakin menikmati kenakalanku. Saat ini ia justru mengharapkan agar aku berbuat semakin kurang ajar kepada dirinya. Matanya mulai terpejam seiring dengan semakin membanjirnya lendir kenikmatan dari liang vaginanya. Tante Ratih sudah tak merasa bahwa dirinya akan kuperkosa. Ia justru mendambakan segala sentuhanku.
Jemariku bermain di pinggiran celana dalamnya. Terus kuusap-usap tepi jahitan celana dalam hitam berenda yang semakin basah itu, sambil sesekali jemari nakalku menyelip masuk ke dalam celahnya untuk mengusap lembut gundukan daging hangat yang ada di baliknya. Tubuh tante Ratih bergetar, ia  terlihat sangat menikmati garukan tanganku di daerah sekitar liang vaginanya, membuatnya semakin tak kuasa untuk menahan lendir kenikmatannya yang semakin membanjir keluar.
"Aughh... nakal kamu ya!" jerit tante Ratih saat merasakan jari telunjukku menyelip masuk dan mengusap lembut labium mayoranya. Menerima kelakuanku, tante Ratih menjadi semakin terbakar oleh nafsu. Ia semakin lupa pada keadaan dirinya yang hendak kuperkosa.
Dan agaknya keadaan itu sekarang telah berubah menjadi keinginan untuk sama-sama saling memuaskan karena tante Ratih sudah mengambil posisi telentang di lantai dengan pahanya agak sedikit terbuka, mempertontonkan lubang vaginanya yang sudah sangat basah dan lengket kepadaku. Malah, saat aku asyik memelototi tubuh mulusnya, dengan tidak sabar tante Ratih langsung menarik kepalaku dan mencium bibirku dengan penuh gairah. Kemudian dijambaknya rambutku dan didorongnya agar mulutku mengarah ke liang vaginanya.
Aku yang memang sudah terbakar oleh nafsu sejak pertemuan pertama tadi, langsung saja menuruti keinginannya. Tanpa membuka celana dalam yang ia kenakan, langsung kujilati vagina tante Ratih dengan hanya cukup menarik sedikit pinggiran celana dalamnya yang berenda indah. Kujilat dan kugigit vaginanya dengan penuh nafsu sambil kepalaku terus dipegang dan dijambaki olehnya. Rupanya tante Ratih tak cukup hanya dipuaskan dengan jilatan-jilatan liarku, ia juga ingin mendusel-duselkan wajahku pada vaginanya. Hingga tak lama kemudian, aku merasakan daerah sekitar selangkangannya bergetar, dan makin lama getaran itu makin menghebat, hingga tak lama kemudian, saat aku sedang menggigit-gigit kecil klitorisnya, tante Ratih meracau dan berteriak keras.
"Ooughh... Leo! Terus! Ghhaahh... Tante mau keluar!" Dan tak lama kemudian, crroot... croott... croott... wajahku langsung tersembur oleh cairan yang hangat dan kental yang berasal dari dalam liang vaginanya.
Aku segera menarik kepalaku, kubiarkan cairan kenikmatan tante Ratih menyembur deras hingga meleleh sampai ke lantai. Aku kemudian menjilati kembali kemaluannya hingga membuat tante Ratih yang baru saja mencapai orgasmenya dilanda rasa geli yang amat sangat, namun dia terlihat sangat menikmatinya.
"Hhah! Stop! Stop, Leo! Gila... ohh hentikan! Sshh..." teriak tante Ratih sambil berusaha menjauhkan selangkangannya dari wajahku.
Tetapi aku justru tak mau memindahkan mulut dan lidahku dari liang vagina yang sedang dibanjiri oleh cairan kenikmatan. Aku terus mengumpulkan lendir tante Ratih di dalam mulutku dan kemudian langsung menelannya dengan rakus, hingga membuat mulut dan wajahku jadi belepotan oleh lendir.
Setelah merasa bahwa vagina tante Ratih telah bersih kembali, barulah aku  beranjak. Kali ini ciumanku mengarah ke bibir tipisnya, dengan masih mengulum lendir dari vaginanya, kusuapkan cairan bening itu ke mulut tante Ratih.
Tante Ratih yang mengerti apa yang aku lakukan, langsung membuka bibir seksinya seraya berkata, "Ludahkan! Ludahkan padaku, Sayang!" pintanya dengan tatapan sayu menggairahkan sambil meremas-remas lembut payudaranya sendiri.
"Cuhh..." aku langsung meludahkannya, dan langsung disambut dengan desahan bergairah oleh tante Ratih. "Mmmhh... nikmat banget, leo!" bisiknya setelah menelan lendir kenikmatannya sendiri dengan rakus.
Aku yang semakin terbakar gairah melihat adegan tersebut langsung melucuti pakaianku sendiri. Sejak melihat tubuh molek tante Ratih, aku memang sudah tak sabar untuk segera memasukkan penisku ke dalam liang vaginanya. Ingin kugarap tubuh mulus tante Ratih penuh nafsu seperti yang selama ini kuimpikan. Setelah telanjang bulat, aku berdiri sejenak dihadapan tante Ratih sambil mengacung-acungkan penisku yang sejak tadi telah menegang penuh.
"Woow..." kagum tante Ratih sambil menjulurkan tangannya untuk menggenggam penisku.
"Aaahh... Tante!" bisikku saat jemarinya mulai menggenggam dan meremas lembut batang penisku.
Tante Ratih langsung mengocoknya dengan penuh kelembutan, memakai tangan kanannya. Sementara tangan kirinya yang menganggur ia gunakan untuk mengusap-usap vaginanya sendiri yang mulai basah kembali. Rupanya ia pun tak sabar ingin kembali digarap olehku. Tante Ratih memindahkan tangan kirinya yang sudah basah oleh lendir kenikmatan ke penisku, ia membaluri penisku yang menegang keras itu dengan lendirnya, membuatnya jadi tampak begitu lengket dan mengkilat.
"Aaahh... anget banget, Tante... enak!" bisikku sambil memejamkan mata.
"Hmm, anget? Aku punya yang lebih panas, Sayang!" tantang tante Ratih  sambil mengarahkan bibir seksinya ke arah penisku, dan langsung mengulumnya dengan penuh nafsu.
"Ngghh... mmhh..." desahku cepat, sangat keenakan. "Ooohh... terus, Tante... sshh!" aku pun semakin meracau tak karuan sambil tak henti-hentinya mengacak-acak rambut tante Ratih.
Tante Ratih terus melakukannya sampai aku menjerit semakin nikmat sebelum akhirnya berhenti sejenak tak lama kemudian, tapi ia tetap berjongkok dihadapanku, ia menengadah menatap wajahku dengan tatapan sayu penuh gairah. Melihat wajah yang sedang terbakar oleh gairah itu membuatku semakin tak sabar untuk segera menggarap tubuh montok tante Ratih.
"Kau ingin lebih panas, Sayang?" tantangnya dengan tatapan penuh nafsu.
"Siksa aku, Tante! Siksa aku dengan tubuhmu!" pintaku sambil terus mengacak-acak rambutnya.
"As you wish, Honey!" jawab tante Ratih sambil melucuti baju dasternya sendiri.
Dia yang saat ini tinggal mengenakan bra dan celana dalam hitam berendanya kembali mengerjai penisku. Dikulum-kulum dan dijilatinya batang kemaluanku hingga penisku basah dilumuri oleh ludahnya. Tante Ratih  semakin menggila dan liar. Sampai-sampai bola matanya nyaris berputar kebelakang saat ia mengelomoti batangku. Sesekali juga digigitinya urat-urat kemaluanku yang mengular menonjol-menonjol akibat begitu tegangnya penisku hingga aku sedikit meringis kesakitan. Tapi aku sama sekali tidak menolak, habis enak sih.
Aku yang semakin tak sabar dan terbakar oleh gairah langsung saja menarik tubuh tante Ratih agar berdiri, dan langsung saja kuserang bibirnya yang tipis seksi dengan penuh nafsu. Kugigiti bibir dan lidahnya. Kuhisap-hisap air liurnya hingga tak lama mulut kami sudah saling menyatu dan menempel erat.
"Tante, saya sudah nggak tahan nih!" pintaku sambil terus memagut liar.
"Aku juga, Sayang! Cepat kerjai vaginaku, Leo!" balas tante Ratih dengan tatapan sayu memelas penuh nafsu."Sebentar, kubuka BH dan celana dalemku dulu ya, Honey!? Sabar, Sayang!" bisiknya.
"Nggak usah, Tante! Saya suka ngeliat Tante cuma pake pakaian dalem gitu," pintaku, "Tante jadi kelihatan lebih cantik!" sambungku menenangkan sambil meremas-remas lembut gumpalan daging putih di dada tante Ratih yang masih terbungkus bra hitam berenda. Rasanya begitu empuk dan kenyal, sangat hangat sekali.
Aku langsung mendorong tubuh montok tante Ratih agar membelakangi tubuhku, kemudian kuatur agar dia menungging. Tante Ratih yang  menyadari kalau aku ingin mengerjainya dari belakang, langsung mengambil ancang-ancang doggie style. Bongkahan pantatnya yang montok dan putih mulus itu menghadap ke arahku, siap untuk kumasuki. Dengan paha yang terbuka lebar, ia terlihat begitu menggairahkan saat itu, membuatku semakin terangsang dan tak sabar untuk melakukannya. Aku pun segera mengarahkan penisku yang sudah benar-benar tegang tepat ke arah liang vaginanya yang tersembul malu-malu dari celah celana dalamnya.
Walaupun sudah berumur, tetapi vagina tante Ratih masih terlihat memerah segar, kontras dengan kulitnya yang putih cerah. Bulu-bulu di sekitar vaginanya juga  terpotong rapi, menandakan bahwa dia cukup memperhatikan organ kewanitaannya tersebut. Pemandangan itu semakin membuatku tak henti-hentinya menelan ludah. Kukocok-kocok penisku sebentar, kemudian kugesek-gesekkan ke bagian labium mayoranya. Aku ingin menggoda tante Ratih sebentar.
"Cepat, Leo! Masukkan penismu! Aku udah nggak sabar, Sayang! Please..." rintihnya sambil meremasi buah dadanya yang masih terbungkus BH hitam berenda.
"Hmm... nggak sabar ya, Tante? Tadi katanya nggak mau?" godaku sambil terus menggesekkan penisku naik turun di bibir vaginanya.
"Ooohh, Shit! Persetan dengan tadi! Pokoknya aku mau penismu di dalam vaginaku sekarang! Ayo dong, Leo!" Rupanya tante Ratih sudah semakin tak sabar dan tak mempedulikan apa-apa lagi. "Mmmhh... Oohh…" rintihnya meminta sambil makin menyodorkan kemaluannya.
Aku yang juga sudah tak sabar, segera menyambutnya dengan sebuah tusukan keras. Bless... penisku yang besar dan panjang melesak dengan telak ke dalam liang vaginanya, begitu mudah sekali karena benda itu memang sudah begitu basah. Kejutan ini meski sangat diharapkan oleh tante Ratih, tapi tak urung tetap mengagetkannya juga karena aku memang tidak memberinya ancang-ancang, dan sama sekali tidak pelan-pelan dalam melakukannya.
“Oughhh!” ia menjerit pelan dengan kedua matanya melotot nyaris keluar. Entah karena kenikmatan yang dirasakannya atau karena rasa kagetnya, tetapi yang pasti tante Ratih terlihat sangat menikmatinya. "Ooohh... Gila kamu, Leo! Kenapa nggak bilang-bilang? Aaahh... ssshh... mmmhh..." racaunya.
Aku sengaja membiarkan pinggulku tak bergoyang dulu. Aku ingin menikmati saat-saat pertama kalinya penisku berada dalam relung vaginanya. Tapi begitu saja sudah membuat tante Ratih kelojotan tak karuan. Penisku yang berdenyut-denyut keras di dalam liang vaginanya seakan-akan memancing lendir kenikmatannya agar keluar semakin banyak. Tante Ratih membalas perbuatanku dengan mengkontraksikan dinding-dinding vaginanya untuk memijat-mijat penisku yang sedang memenuhi relung kewanitaannya.
”Eghm,” aku merintih.
Sambil menikmati denyut demi denyut dari liang vaginanya, kuremas-remas bongkahan pantat tante Ratih penuh nafsu, juga tonjolan buah dadanya yang menggantung indah terbungkus BH hitam berenda. Tingkahku saat itu mirip anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan. Tapi Kenakalanku malah membuat tante Ratih semakin menggelinjang tak karuan. Denyutan vaginanya pun semakin menggila, sehingga otomatis penisku semakin merasakan nikmat yang amat sangat.
Kukecup bibir mungil tante Ratih saat perlahan-lahan kugoyang penisku. Aku tak ingin melakukannya dengan tergesa-gesa. Gesekan penisku kulakukan perlahan, namun kupastikan tetap menimbulkan sensasi yang menggilakan. Terbukti dari mata tante Ratih yang semakin terpejam dan bibirnya yang tipis  semakin terbuka seksi.
"Ooohh... mmmhh..." desahnya mengiringi gesekan penisku dalam liang vaginanya.
"Tante... aahh... nikmat!" balasku.
"Iyah... terus, Leo!" bisik tante Ratih sambil mulutnya menganga lebar dan matanya terbelalak, pertanda ia amat menikmati goyanganku.
"Tante... nngghh!" aku amat menikmati setiap inci rongga vagina tante Ratih yang dilewati oleh penisku. Benda itu terasa begitu kenyal, panas, dan basah, juga terus berkedut-kedut seakan-akan sedang memijat batangku yang sedang bergerak keluar masuk di lorongnya yang sempit.
Sambil terus mengocok, aku menciumi seluruh bagian tubuh tante Ratih yang berada dalam jangkauan bibirku. Kugigit leher jenjangnya, kucucup berulang-ulang kulitnya yang putih mulus hingga disana-sini meninggalkan bekas cupang yang terlihat kontras dengan warna kulitnya.
"Aaahh... yyhhaahh... sshhh..." teriak tante Ratih saat penisku melesak masuk makin cepat ke dalam liang vaginanya, bahkan hingga mentok menabrak dinding rahimnya.
"Ggghhaahh... oooffhh... mmmhh..." racauku tak kalah nikmat menahan gairahku sendiri.
Kami terus saling berlomba mengayunkan pinggul. Aku yang sudah menahan nafsu sejak tadi terus memompa vagina tante Ratih secepat mungkin. Begitupun dengan dia, tante Ratih mengangkangkan selebar mungkin pahanya yang putih mulus dan mengimbangi gerakan pinggulku dengan sedapat mungkin menyambut tusukan penisku yang begitu liar dan kasar. Kami berusaha untuk memberikan yang terbaik buat pasangan masing-masing dan saling mengejar untuk meraih kenikmatan bersama. Ruangan kamar yang sempit itupun jadi dipenuhi oleh suara erangan dan rintihan kami, dengan sesekali ditingkahi decak becek dari vagina tante Ratih yang terus kuterobos dengan penisku. Sementara di luar, sayup-sayup terdengar suara hujan yang makin lama sepertinya semakin deras sehingga semakin menimbulkan hawa dingin yang justru makin membuat kami terbakar nafsu.
"Ooohh... masukkan penismu lebih dalam, Sayang! Puaskan aku! Perkosa aku! Nikmati tubuhku! Ahh... ahh... yiahh... mhh... ohh... terus, Sayang... terus... ngghh... shhh..." racau tante Ratih sambil kedua tangannya mempermainkan dan meremas payudaranya sendiri.
"Ooohh... Tante... mmhh... Tante, nikmat banget! Ughh... vagina Tante nikmat banget!!" balasku terbata-bata.
Tidak menjawab, tante Ratih semakin menggelinjang tak karuan dan semakin menggila oleh nafsu. Kakinya makin mengangkang lebar dengan bertumpu pada rak buku sambil kedua tangannya terus bergerilya di tubuhnya sendiri.  Sedangkan aku, dengan lutut bertumpu ke lantai dan mulut yang terus mengecupi seluruh bagian tubuh tante Ratih yang bisa kujangkau, memompa pinggulku semakin cepat dan brutal. Sesekali aku juga menjilati tubuh tante Ratih yang basah oleh keringat. Kami bertahan dalam posisi itu selama beberapa menit sampai akhirnya aku merasa pegal di kedua lututku. Aku pun mengajak tante Ratih untuk berganti posisi yang langsung disetujui olehnya.
Ia langsung mendorong tubuhku agar berbaring di lantai, kemudian tante Ratih menggenggam erat penisku dan mengocok-ngocoknya sebentar, sebelum akhirnya mulai dijilatinya dengan penuh nafsu. Ia tampak begitu menikmatinya padahal batangku masih penuh oleh cairan lendirnya. Tanpa rasa jijik sedikitpun, tante Ratih memoles batangku dengan lidahnya hingga tak ada lagi sisa lendir dari vaginanya yang menempel disana. Setelah penisku terlihat bersih, dia lalu berdiri dan memutar tubuhnya. Mengambil posisi berlawanan denganku, tante Ratih kemudian jongkok dengan posisi pantat dan vaginanya tepat berada dihadapan wajahku.
"Jilat, Sayang! Bersihkan juga punya Tante! Ssshh..." pintanya penuh nafsu.
"Mmmhh... Iya, Tante! Sssllrrpp..." tanpa membantah aku mulai menjilati lubang vaginanya. Jemariku juga ikut bermain dengan menusuk-nusuk lorongnya yang memerah, sesekali tante Ratih menjerit kecil saat merasakan dua jariku masuk ke dalam relung vaginanya.
"Aaw! Nakal kamu, Leo!" pekiknya suka. Dan... seerr! langsung saja vaginanya bergetar hebat dan tante Ratih pun mendapatkan orgasmenya yang entah keberapa kalinya. Tidak ingin melewatkan, akupun langsung mencaplok dan menghisap vaginanya kuat-kuat, berharap agar lendir kenikmatan yang keluar membanjir itu bisa kutelan semua.
"Aaahh... haahh... geli, Sayang! Ampun! Ooowww... mmmhh..." racau tante Ratih kegelian sekaligus nikmat. Vaginanya semakin berkedut-kedut tak karuan. Ia memejamkan matanya erat-erat menikmati semprotan cairannya yang terus mengalir memenuhi mulutku.
"Hentikan, Leo! Itu jorok!? Mmmhh... aaahh!" desis tante Ratih sambil menahan geli karena tak henti-hentinya mulutku menyedot-nyedot liang vaginanya.
"Jorok? Malah nikmat banget, Tante!" aku terus mengecup-ngecup ringan klitorisnya yang tampak mungil memerah, terlihat sangat indah sekali.
"Hmm... terserah kamu deh!" dalam hati tante Ratih mengakui kelihaianku  dalam membuai nafsunya. Belum pernah ia diperlakukan seperti ini oleh siapapun, terlebih suaminya yang seringkali tak pernah membuatnya puas, bahkan lebih sering meninggalkannya, sama seperti saat ini.
Setelah puas menikmati sisa-sisa orgasmenya, tante Ratih kemudian bangkit berdiri dan mulai mengambil posisi mengangkangi penisku yang masih tegak menegang dengan gagahnya. Aku yang telentang di lantai memandangi tubuh montoknya yang membelakangiku sambil mengarahkan selangkangannya tepat diatas penisku. Kupandu dia dengan memegangi bongkahan pantatnya agar tante Ratih segera melesakkan penisku ke dalam liang vaginanya.
Tapi tante Ratih rupanya masih ingin mempermainkanku. Ia tak langsung memasukkan penisku, namun malah memutar-mutar pinggul montoknya tepat di atas batangku, membuat vagina dan lubang anusnya bergesekan dengan kepala zakarku hingga semakin membuatku melenguh dan menggelinjang tak karuan.
"Ayo, Tante! Jangan nakal gitu dong! Saya sudah nggak tahan nih!" bisikku tak sabar, kuremas tonjolan payudaranya yang besar dan kupilin-pilin putingnya yang terasa mengganjal dengan jari-jariku.
"Biar tahu rasa kamu! Emang enak digodain! Aku juga bisa nakal, Sayang!” kerling tante Ratih nakal.
"Auw! Cepetan, Tante! Saya sudah mulai gila nih!" rajukku sambil berganti mengelus-elus bongkahan pantat putihnya.
"Hhh... beneran pengen sekarang?!" dia menggeraikan rambut ikalnya ke kiri dan menatapku nakal.
Aku mengangguk, ”Iya, cepetan, Tante. Aku mau tubuhmu!” kupencet pantat bulatnya semakin keras, kucoba menariknya ke bawah agar penisku bisa segera bertemu dengan liang surganya.
Tersenyum, tante Ratih kemudian menggenggam penisku dan mulai dibimbingnya perlahan-lahan memasuki belahan vaginanya. Bleesh!
"Ooohh... ssshh..." desah kami berdua penuh kenikmatan.
"Mmmhh... terus, Tante. Enak! Nikmat banget!!" bisikku sambil meregangkan kaki lebar-lebar dan semakin dalam menyorongkan pinggulku mendekati selangkangannya.
Tante Ratih terus menekan tubuhnya ke bawah. Dengan sedikit berjongkok ia memutar pinggulnya, berharap agar setiap sisi relung vaginanya dapat tersentuh oleh penisku. Setelah merasakan kepala zakarku sudah mentok membentur bibir rahimnya, barulah dia mulai menggoyangnya naik-turun.
"Mmmhh... nikmat, Sayang!" bisik tante Ratih sambil terus bergerak dengan tempo cepat tapi konstan. Dia mendesis seperti orang kepedasan. Kepalanya membanting-banting liar ke kanan dan ke kiri, menggeraikan rambut ikalnya yang kini terlihat makin awut-awutan. Ia terlihat semakin binal dan liar di mataku.
"Ohh... vagina Tante juga nikmat! Terus, Tante! Goyang lebih keras! Ssshh..." desisku sambil terus meremas-remas tonjolan buah dadanya dan mengimbangi gerakan naik turunnya sebisaku.
Kami terus bertahan dalam posisi itu sampai kira-kira lima menit. Tante Ratih tak henti-hentinya meracau dan terkadang mulutnya yang seksi itu mengeluarkan sumpah serapah dan kata-kata kotor lainnya. "Terus, Leo! Hamili aku! Oohh... ngghh... Gila! Penismu nikmat banget, Sayang!" racaunya tak karuan.
"Yiahh! Vagina Tante juga benar-benar gila! Bisa-bisa penis saya nggak mau lepas nih! Ohh... sshhtt!" teriakku tak kalah gemas sambil sesekali menampari bokongnya yang putih mulus yang tersaji mantab di hadapanku.
"Puaskan aku, Leo! Keluarkan spermamu dalam vaginaku! Ooohhff... Ngghh!" teriak tante Ratih semakin menggila.
Semakin lama ayunan pinggulnya menjadi semakin cepat dan brutal, seakan-akan sesuatu yang ia kejar akan segera ia dapatkan. Teriakan dan desisan nikmat dari bibir mungilnya berubah menjadi lenguhan keras yang begitu nikmat. Keringatnya bercucuran semakin deras, membuat tubuh montoknya yang sedang menunggangi tubuhku semakin terlihat indah dan menggiurkan.
Peganganku berpindah dari pinggul ke pundaknya, lalu beralih ke tonjolan buah dadanya. Sambil meremas lembut disana, ikut kuayun pinggulku semakin cepat. Suara liar gesekan alat kelamin kami membuat suasana sore itu menjadi begitu liar. Bola mata tante Ratih yang sipit nyaris berputar ke belakang karena saking nikmatnya.
Ia benar-benar melupakan akan statusnya sebagai ibu yang baru kehilangan anak gadisnya, juga istri yang baik dari suaminya, bahkan ia seperti lupa pada diriku yang merupakan pacar Tisha. Yang diinginkan tante Ratih sekarang cuma ngentot dan ngentot, atau bagaimana memuaskan nafsunya yang sudah begitu membakar ini. Ia ingin terus diperlakukan seperti ini olehku, pemuda yang sehari-hari bersikap cukup sopan kepadanya.
Dengan tusukan semakin cepat, tiba-tiba kurasakan vagina tante Ratih berdenyut kencang, selangkangannya bergetar gila-gilaan. Aku sadar bahwa dia akan merasakan orgasme lagi, sesuatu yang teramat jarang didapatkannya dari sang suami. Aku yang juga sudah tak tahan, terus mempercepat goyangan pinggulku.
Hingga di satu titik, aku berteriak penuh kenikmatan, ”Tante, aku keluar! Arghhh!” kupeluk tubuh montoknya erat-erat dan kutusukkan penisku sedalam mungkin ke relung liang vaginanya.
 Croott... croott... croott... Meledaklah larva panas milikku yang sudah kucoba tahan sejak tadi. Aku memuntahkan bermili-mili liter air mani yang panas ke dalam lorong vagina tante Ratih.
Dia yang merasakan semburan spermaku semakin tak dapat menahan orgasmenya. Selangkangannya yang sejak tadi bergetar hebat akhirnya ikut  berdenyut kuat tak lama kemudian. "Aaahh... Ggghhaahh..." teriak tante Ratih sambil menyemburkan cairan kenikmatannya.
Kami bertahan dalam posisi seperti itu untuk menikmati sisa-sisa orgasme yang seakan-akan tak mau hilang dan terus melanda tubuh kami berdua. Tante Ratih melenguh, ia merasa lemas pada bagian lututnya. Ia tak sadar bahwa ia telah bertumpu pada posisi seperti ini dalam waktu yang cukup lama. Selain itu, ia baru saja mendapat orgasme yang sanggup melemaskan seluruh persendiannya.
"Lepas dulu, Sayang! Lutut tante pegel nih! Pelan-pelan tapi ya!" pintanya kepadaku.
"Iya, Tante!" bisikku sambil mencabut penisku yang sudah mulai melemas tetapi tetap terlihat besar dari jepitan liang vaginanya.
"Ssshhtt... Ooohh..." desis tante Ratih saat alat kelamin kami bergesekan untuk yang terakhir kali, sebelum akhirnya terlepas dan terpisah sepenuhnya.
Rante Ratih berguling ke lantai, bersandar pada rak buku dengan posisi kaki mengangkang sambil tangannya mengelus-elus lubang vaginanya yang masih berdenyut-denyut kencang. Tampak cairan putih bening mengalir dari belahannya yang tipis. Tante Ratih meraupnya lalu kemudian dijilatinya dengan penuh nafsu. Matanya terbuka sayu dan rambutnya terurai acak-acakan. Pemandangan yang benar-benar membuat jantungku berdegub tak karuan.
Tak ingin ketinggalan bagian nikmat ini, perlahan kudekati selangkangan tante Ratih dan kujilati vagina yang masih basah itu dengan penuh nafsu. Kukulum dan kusedot-sedot klitorisnya yang membengkak memerah. Perlakuanku ini membuat tante Ratih menggelinjang tak karuan. Dia menjambak rambutku dan menekan keras wajahku pada vaginanya, ingin dijilat lebih dalam lagi. Merasa mendapat sambutan, akupun semakin mempergencar lumatan demi lumatan pada bibir vaginanya.
"Gila kamu, Leo! Masa masih kurang?" desah tante Ratih dengan tubuh menggelinjang tak karuan.
"Habisnya, vagina Tante begitu menggoda sih!" godaku disela-sela jilatan.
"S-sudah! Nanti Tante bisa pengen lagi!" dia mendorong kepalaku menjauh dan mengecup bibirku yang basah oleh lendir kenikmatannya. Kami saling melumat untuk beberapa saat sebelum akhirnya tante Ratih mengajakku untuk mandi bersama.
Di kamar mandi, setelah saling mengguyur dan menyabuni, langsung kudekap tubuh montoknya. Bibir kami saling berpagut penuh nafsu dan menyatu kembali. Sesekali ciumanku juga menjalar ke leher dan buah dadanya.
"Aduh... masa kamu mau lagi?" bisik tante Ratih keheranan saat melihatku menjilati puting susunya penuh nafsu.
"Kalau sama Tante, saya nggak akan pernah puas. Tapi untuk kali ini, kurasa cukup dulu. Asal kapan-kapan boleh begini lagi ya?" pintaku kepadanya.
"Gila kamu, Leo! Tapi Tante mana bisa menolak diajak nikmat seperti ini," jawab tante Ratih sambil mengecup lembut bibirku. ”Oh ya, ngomong-ngomong... kamu sudah sering melakukannya ya, kok kuat banget?”
Aku tersipu malu mendengar pertanyaannya. ”Sering sih nggak, Tante. Cuma pernah aja.”
”Sama siapa, jangan katakan kalau sama Tisha ya?” ia menebak.
Aku makin tersipu karena tebakannya benar.
”Dasar kamu!” tante Ratih mencubit pinggangku. ”Mulai sekarang temani Tante ya, agar tante bisa cepat melupakan kepergian Tisha.” bisiknya. ”Dengan kehadiranmu, mungkin Tante bisa mudah melalui ini.” ia kembali mengecup pipiku.
Kupeluk tubuhnya dan mengangguk mengiyakan.
loading...

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kepergian Tisha "

Posting Komentar