loading...

Asmara di Salon dan Spa

Hendarto berhenti di depan pekarangan rumah dengan papan reklame "Asian Beauty Salon & Spa" di kompleks Citra Kencana Resort.  Ia berniat mengambil sebuah map milik istrinya, Anika, yang tertinggal di situ setelah tadi merapikan rambut serta membugarkan bagian badan lainnya dengan perawatan khusus spa. Sebagaimana umumnya zaman sekarang maka di resort ini pun ada tiga salon kecantikan sekaligus tempat gunting rambut bagi wanita dan pria

Namun yang satu ini paling laku karena dikombinasi dengan spa. Pemilik salon kecantikan dan spa ini adalah seorang wanita campuran asal pulau Bangka dan Jawa bernama Amalia Pujiastuti, biasanya dipanggil dengan sebutan tante Lia, terkadang juga tante Tuti. Suaminya, Argo Sutejo, adalah pengusaha textil pakaian sehingga sering sekali pergi berhari-hari untuk mengurusi bisnisnya, juga ke pelbagai negara asing, tak hanya di Asia, misalnya ke pabrik-pabrik langsung di Bangladesh, juga ke Australia dan USA.

Hendarto alias pak Darto telah kenal dengan Amalia karena mereka pernah satu sekolah ketika masih di SD. Hendarto adalah orang keturunan Cina walaupun dari luar tak langsung kelihatan ciri biologisnya, bahkan kulitnya termasuk hitam untuk orang keturunan. Sedangkan istrinya Anika juga berdarah keturunan dengan orang tua berasal dari Banjarmasin, bekerja sebagai sekretaris dari kantor pengacara dan notaris terkenal di ibukota.



Hendarto sendiri mempunyai kedudukan tinggi sebagai manager sebuah group hotel internasional sekaligus mempunyai franchise untuk perdagangan sanitair mewah 'made in Germany'.

Sebetulnya Amalia dan Hendarto sudah mengenal lama satu sama lain: mereka berteman di sekolah dasar yang sama sampai sekolah menengah, dan di sekolah menengah itu belakangan masuk Anika. Hanya Amalia tak pernah sekelas dengan Hendarto, sedangkan sejak masuk di sekolah menengah maka Anika selalu sekelas dengan Hendarto. Ketika mereka mulai memasuki usia remaja, dimana hormon puber mulai menguasai, maka secara tak sadar sebenarnya Hendarto lebih tertarik kepada Amalia daripada Anika. Keduanya sama setanding dalam soal kecantikan.

Anika adalah kecantikan khas oriental chinese, sedangkan Amalia terlihat ayu luwes bagaikan penari wayang orang. Tak heran karena ibu Amalia masih berdarah keraton, keturunan ningrat, dan derajat inilah yang menjadi alasan mengapa Hendarto tahu diri dan walaupun tertarik pada Amalia namun kemudian mundur teratur.  Sebaliknya orang tua Anika dan Hendarto banyak berhubungan dalam soal pekerjaan mereka di bidang pengolahan kayu serta perkebunan karet, sehingga akhirnya keduanya menjadi pasangan dan menikah, sedangkan Amalia memperoleh jodoh dengan Sutejo.

Secara kebetulan mereka akhirnya ketemu kembali setelah menjadi penghuni Citra Kencana Resort, dan Anika pun menjadi langganan dari Amalia yang memiliki salon kecantikan dan spa.

Karena tergesa-gesa maka Anika akhirnya lupa dengan sebuah map berisikan formulir penting tapi belum diisi, oleh karena itu Anika hanya menelpon suaminya agar mengambilkan map itu karena Anika hari itu pulang terlambat akibat adanya extra meeting di kantor tempatnya bekerja.

Sebetulnya Hendarto berniat cukur rambut di tempat langganannya di sebuah plaza yang besar, namun karena permintaan Anika, maka Hendarto akhirnya berpikir apakah tak lebih baik cukur kali ini di salon milik Amalia saja, terutama karena banyak demo hari ini di dekat plaza itu. Hanya Darto tahu bahwa salon itu selalu penuh dan hampir tak mungkin untuk dilayani jika tidak membuat perjanjian sebelumnya, tapi ya tak apalah coba dulu tak ada salahnya, pikir Darto.

"Hallo, saya bicara dengan Salon dan Spa di Resort Citra Kencana?" tanya Darto melalui handsfree telponnya ketika masih berada di tengah kemacetan jalan di pusat kota.

"Betul, bapak mau bicara dengan siapa?" jawab suara seorang wanita di ujung telpon yang lain.
"Cuma mau tanya, apakah saya kira-kira masih bisa datang cukur rambut nggak ya hari ini?" lanjut Darto, "boleh bicara dengan ibu Lia, sebut saja nama saya Darto, teman sekolahnya. Istri saya tadi pagi ketinggalan sebuah map setelah mengunjungi salon ibu Lia, jadi kalau sudah terlalu penuh dengan langganan hari ini, ya saya cuma mau ambil map istri saya saja."

"Oooh begitu, pak. Coba nanti saya tanyakan dulu ya sama ibu Lia, kebetulan ia sedang ke dalam." pegawai salon itu meletakkan telponnya dan kemudian mencari majikannya ke dalam.

"Hallo, ini Darto ya? Waaaah... kamu sombong deh, nggakk pernah mau mampir lagi, nyukur dong gitu sekali-sekali. Atau takut gagal ya sehingga kelihatan lagi pitaknya seperti waktu SD?" percakapan tersambung lagi dengan suara Amalia yang langsung berkelakar dan menggoda eks teman kelasnya.
"Bukan gitu, Lia, aku ini sibuk banget. Jadinya kalo nyukur ya sepulang tugas di dekat tempat kerja, maklum kan aku cuma pegawai kantor." jawab Darto sambil menginjak rem mendadak karena ada motor Honda bebek yang mendadak memotong di depan mobilnya. "Aku mau ambil map Anika, kalau bisa ya mau deh nyukur rambut. Aku udah gondrong juga, tapi pasti udah penuh ya hari ini?"

"Ya, sebetulnya memang penuh sejak seminggu lalu, tapi semua pegawaiku hari ini pulang lebih dahulu karena semuanya ingin melawat. Ada salah satu orang tua mereka meninggal, jadi sesudah jam tiga nanti salon tutup. Tergantung kamu deh berani nggak kalo aku sendiri yang cukurin kamu?" Amalia menjawab dengan suara lemah lembut, menyebabkan Darto langsung membayangkan wajah teman sekolahnya itu.
"Oke deh kalo gitu, nanti aku mampir. Masa sih gagal kalo yang ngerjain si boss sendiri?" Darto melihat jam tangannya dan ternyata waktu sudah jam 14.35 - dan dengan kemacetan seperti ini maka ia paling cepat baru akan sampai di Resort kediamannya sekitar jam 15.30 atau 16.00.
"Aku masih di jalan nih, macet. Kalo aku datangnya agak terlambat gimana?"
"Ya nggakk apa-apa. Asal jangan datang tengah malam, aku nggak bakal bukain pintu. Aku takut, lagian aku sendirian, Tejo sedang keluar dan pembantuku pulang kampung karena ada yang sakit."
"Baiklah kalo gitu, mungkin sekitar satu jam lagi aku nyampe kesitu, oke?"
"Baiklah, aku tunggu. Map istrimu sudah aku sediakan di atas meja tamu, jangan lupa lagi ya. Aku sendiri mau bebenah dulu, sampai nanti.” Amalia menutup percakapan mereka.

***

Lebih dari satu jam diperlukan oleh Hendarto sebelum akhirnya ia tiba di depan pintu pekarangan salon milik teman sekolahnya itu. Ternyata pintu pekarangan depan untuk masuk ke salon juga telah terkunci, sehingga Hendarto harus berkali-kali menekan bel yang tersembunyi di belakang pintu besi  yang dapat digeser ke kiri kanan itu, barulah dengan perlahan pintu masuk terbuka.
Amalia berlari-lari kecil ke arah pintu, ia memakai semacam kimono warna biru muda yang diikat dengan tali pinggang, namun tak dapat menyembunyikan betis dan lutut serta paha ketika berlari.
Sudah lama juga memang Hendarto tak melihat teman sekolahnya itu, dan entah kenapa hari ini penampilan Amalia terlihat lebih ayu, lebih luwes, menyebabkan jantung Hendarto berdebar-debar. Tak diduganya bahwa si pemilik salon itu berpakaian begitu bebas walaupun akan mencukurnya.
"Ayo masuk, To. Maaf, aku baru bebenah di dalam, jadi pakaianku tidak lagi resmi sebagaimana biasanya kalau salon dan spa buka. Lagian kamu kan bukan langganan yang masih asing. Tapi nanti aku tukar baju dulu ya, nggak enak pake kimono gini kalau harus cukur rambut kamu. Bisa banyak rambut melekat di bajuku, susah bersihkannya. Silahkan duduk dulu deh," Amalian menunjukkan Hendarto untuk duduk di ruang tunggu salon, dimana terletak banyak majalah dengan pelbagai foto selebritis - dan di ujung meja itu terletak sebuah map milik Anika, istri Hendarto.
"Iya, santai aja. Aku tunggu disini. Tapi terus terang aja nih, dengan pakai kimono begitu kamu koq kelihatan semakin cantik manis ya?" ujar Hendarto sambil tetap menatap temannya dan dilihatnya betapa tetap langsing tubuh Amalia, namun di balik sang kimono tercetak siluet tubuh wanita dewasa yang padat menggairahkan setiap mata lelaki.
"Ah, kamu bisa aja. Koq sekarang jadi pinter ngerayu gitu, Anika kan jauh lebih cantik. Kamu mau minum nggak?" Amalia tersenyum sambil membalikkan tubuhnya berniat masuk ke dalam.
"Nanti aja deh, sesudah nih rambut dicukur. Tapi bener lho, kamu tetap tampak muda seperti dulu. Nggak percuma jadi ahli salon kecantikan," lanjut Hendarto setelah duduk, namun matanya tetap terus mengikuti setiap gerakan luwes temannya.
Sepuluh menit kemudian Amalia muncul kembali dan kini ia hanya memakai celana pendek short dengan blouse kancing depan yang pas-pasan menutup bagian atas shortnya itu. Namun karena ujung kiri kanan blouse itu diikat membuat simpul di tengah, maka setiap gerakan tangan Amalia selalu menyebabkan tersingkapnya blouse itu, sehingga terlihatlah perutnya yang datar serta pusarnya yang mungil.
Sedemikian terpana Hendarto melihat betapa menggairahkan bekas teman sekolahnya itu sehingga harus dua kali dipersilahkan duduk di bangku klien yang akan dicukur, barulah ia sadar. Setelah itu Hendarto duduk dengan merapatkan kedua kakinya seerat mungkin karena dirasakannya sesuatu mulai tegang di balik celana dalamnya. Untunglah kain penutup lebar yang ditebar dan dipasang di depan tubuhnya oleh Amalia kini menutup tonjolan yang besar di balik jeans. Namun gelembung itu semakin membesar dan bahkan kini terasa agak menyakitkan, karena Hendarto mencium betapa sedapnya bau parfum Loreal du Paris tercampur aroma tubuh wanita. Apalagi ketika jari-jari tangan lentik Amalia dengan sangat terampil menyentuh kulit belakang kepala, kuduk dan bagian atas lehernya.
Lamunan Hendarto semakin melantur dan membayangkan bagaimanakah rasanya jika jari tangan Amalia tidak sibuk dengan rambutya, melainkan menyentuh dan mengusap-usap kepala penisnya yang saat ini terasa ngilu karena ereksi maksimal namun masih terjepit dan terhalang keluar. Amalia agaknya tak menyadari ketegangan yang dialami oleh Hendarto dan tetap dengan penuh perhatian menggunting rambut bekas temannya itu. Tanpa disadarinya beberapa kali Amalia agak menunduk sehingga melalui cermin besar di hadapannya Hendarto dapat melihat cekungan dan belahan dada di balik blouse yang dua kancing teratasnya dilepas.
Tanpa terasa nafas Hendarto semakin cepat dan berat, jakunnya sering turun naik dan lamunannya telah melantur ke adegan dimana Amalia telah berada di rangkulan dan tindihan tubuhnya – aaaah... pasti hangat dan lembut badan wanita berdarah keraton ini. Apakah putri keraton ini juga akan meronta menggeliat?
Lamunan Hendarto terhenti ketika Amalia mengangkat tutup penampung rambut yang telah dicukur dan mempersilahkannya bangun dari kursi pelanggan. Amalia rupanya akan membersihkan sisa rambut di situ, dan dalam keadaan menunduk itu Hendarto kini menyaksikan betapa indahnya gumpalan daging di balik blouse dan beha ungu muda berukuran 36 itu. Bahkan sedikit tersembunyi di balik itu mata Hendarto sempat mengintip puting coklat kemerahan menonjol menekan lapisan beha 36C, bagaikan kuncup bunga yang ranum mencuat mengundang jari lelaki untuk meremas mencubitnya.
Hendarto tak sanggup lagi menahan gejolak kelaki-lakiannya - dipegangnya kedua bahu Amalia, dan sebelum bekas teman sekolahnya itu memprotes, mulut Hendarto telah mencakup bibir manis merekah milik Amalia.
"Hmmppffh, To! Kamu lagi ngapain? Gila kamu, kan kita berdua udah berkeluarga. J-jangan, To, aku nggak mau! Jangannnn... emmpffhhhhh... To, udah dong!  Insaaaaf... emmmphhh!!" Amalia berusaha melepaskan dirinya dari pelukan erat.
Namun rontaan itu dirasakan Hendarto tidak sepenuh hati dilakukan oleh Amalia karena kedua tangannya yang sebetulnya bebas tidak berusaha mencakar wajah Hendarto, bahkan tak mencakar tangan yang kini menjalar di bawah blousenya.
"Ssshhhh... Lia manisku, sudahlah... sudah kepalang! Kamu cantiiiik sekali, dan kamu juga sebenarnya mau 'kan? Aku ingat kamu dulu gadis manis waktu sekolah, sekarang malahan semakin ayu. Dulu aku 'kan pernah nyowel pipimu, sekarang aku sempat mencium bibirmu, Lia sayang!" rayuan Hendarto semakin berani karena dirasakannya bahwa si nyonya cantik itu tak benar-benar melawan.
"Ssssshhh... udah dong, To, ini salah. Jangan diterusin, aku kan bersuami. Kamu juga udah punya Anika, temanku juga. Nanti ketauan orang jadi skandal, To. Lepasin dong!!" Amalia berusaha untuk mengingatkan teman sekolahnya, sementara bulu badannya merinding karena tengkuknya terus diciumi.
"Mau ketahuan dari mana, terkecuali kamu atau aku yang buka rahasia. Anika pasti masih lama di kantor, suamimu 'kan kamu bilang lagi di luar kota. Hhhhhmmhh... badanmu harum, Lia. Duuuuhh... empuk sekali gunungmu, pakai resep keraton ya? Hhhhmmmmh... Lia, aku boleh nyusu ya?"
Tangan Hendarto semakin berani melepaskan semua kancing serta simpul yang menutup di bawah blouse, setelah itu bebaslah kedua bukit daging yang sintal gempal dengan puting mencuat menggairahkan setiap lelaki.
"Jaaangaaan, To... ini nggak baik. Aku kan teman baik kamu dan Anika, jangan bikin rusak persahabatan kita. Oooooooohhh, Toooo... kamu nakaaaaal. Ssssssshhh, To... Lepasin dong!"
Amalia melihat dirinya kini didudukkan di kursi yang sebelumnya dipakai oleh Hendarto, blouse serta behanya telah terlepas; kedua buah dadanya yang putih dan sekal diremas-remas tangan Hendarto. Sambil menciumi bergantian kuduk Amalia, jari-jari tangan Hendarto yang kiri memilin-milin puting susu Amalia bergantian. Sedangkan yang kanan menyelusup melewati pusar mendekati celana short, dan mulai melepaskan ritsluitingnya; semuanya menyebabkan Amalia menggelinjang mendesah-desah.
Kini Amalia kembali ditarik berdiri oleh Hendarto, sehingga dengan mudah celana short-nya dilorotkan ke bawah. Tampaklah langsung betapa indahnya tubuh Amalia yang hanya terlindung oleh celana dalam string tipis berwarna merah muda. Sedemikian kecilnya celana dalam tipis berbentuk segitiga itu sehingga tampak jelas bahwa hanya segunduk kecil rambut kemaluan Amalia yang menghiasi bagian atas bukit kemaluannya. Tak menunggu protes Amalia berikutnya, maka Hendarto langsung mengangkat dan menggendong tubuh si nyonya cantik itu.
Betapa kontras warna kulit keduanya; berbeda dengan pada umumnya maka Amalia yang seratus persen darah Jawa berkulit mulus putih bersih, sedangkan Hendarto yang berdarah keturunan justru berkulit coklat hitam, mungkin karena ia sering olah raga di bawah terik matahari. Keduanya saling berpandangan dengan mesra ketika Hendarto sambil menciumi bibir Amalia menggendong kekasih sementaranya itu ke dalam dan mencari tempat untuk melanjutkan hasrat birahi yang telah membakar tubuh keduanya.
Amalia memberikan tanda untuk masuk ke sebuah kamar yang biasa dipakai untuk bekerja oleh Sutejo. Kamar itu lumayan besar, tergantung sebuah foto pernikahan Amalia, dua lemari dokumen, di samping itu terlihat juga meja tulis dengan laptop serta printer dan fax. Selain itu tak kalah penting terdapat sofa sebagai tempat istirahat jika Sutejo telah penat bekerja.
Perlahan-lahan Hendarto meletakkan Amalia di sofa tersebut, lalu dilepaskannya semua pakaiannya sendiri hingga bugil seluruhnya. Ditatapnya mesra Amalia yang merasa malu-malu menutupi kedua buah dadanya dengan menyilangkan tangan. Merekahnya kedua bibir merah basah serta kesayuan mata Amalia merupakan tanda yang tak mungkin disangkal bahwa wanita itu pun menantikan sesuatu.
Sambil tetap mengawasi wajah temannya yang ayu menarik itu, Hendarto perlahan menarik CD string minim Amalia ke bawah dan bagaikan tak sengaja, Amalia mengangkat sedikit pinggulnya untuk memudahkan CD itu terlepas. Akhirnya, kedua insan itu sempurna telanjang bulat.
Hendarto merebahkan dirinya di samping Amalia, dibelai dan diusapnya seluruh badan ramping nyonya pemilik salon kecantikan itu, sekaligus dirangkuhnya jari-jari Amalia serta dituntunnya ke arah rudal dagingnya yang telah membesar dan tegak mengangguk-angguk. Pertama Amalia ingin menarik tangannya kembali, namun Hendarto mencekal nadinya dan tetap menekan telapak tangan Amalia di batang kemaluannya. Terasa perlawanan Amalia melemah dan perlahan-lahan jari lentiknya mengatup melingkari batang kejantanan Hendarto, lalu mulai bergerak naik turun mengocok serta mengusap lembut tepi topi bajanya, menandakan pengalaman Amalia sebagai wanita dewasa.
Hendarto melenguh keenakan, apalagi pada saat ujung jari telunjuk Amalia menyentuh dan menggelitik lubang kencingnya yang sedikit membuka. Kembali ciuman hangat dan penuh kemesraan menghujani bibir Amalia, turun ke leher, ke bahu, lalu naik ke tebing putih halus untuk mencari puncak yang keras mencuat. Bermain-main sebentar di situ, kedua bibir Hendarto mengatup putingnya yang coklat kemerahan. Dia menyedot, memilin dan menggigit-gigit dengan gemas. Perjalanan bibir Hendarto itu disertai pula oleh perantauan jari tangan yang meraba mengusap betis, paha dan selangkangan Amalia, sekaligus juga menjelajahi bukit Venus yang ditumbuhi rambut halus sangat terawat, mencari celah yang tersembunyi di antara lipatan bibir kemaluan yang menggetar menandakan bahwa Amalia sebagai wanita yang kini telah amat haus mendambakan pemuasan.
"Ooooohh, To, kamu nakaaaaal... sssshhhh... aaaaaahh... geliiii... oooooohh iyaaaaaahh..., tanpa sadar Amalia mendesah dengan nafas semakin memburu bagaikan telah berlari-lari jauh.
Tubuhnya kini mulai menggeliat disertai hentakan kedua kaki jenjangnya, sementara jari-jari kakinya yang mungil menekuk ke dalam. Kedua pahanya menggesek tak teratur ke atas dan ke bawah sambil membuka menutup merasakan geli tak terkira ketika jari-jari nakal Hendarto menyelinap ke celah senggamanya. Amalia merasakan vaginanya semakin panas, semakin licin oleh aliran lendir dinding memeknya sebagai persiapan untuk menerima hunjaman senjata lelaki yang sedang menguasainya.
Hendarto tersenyum puas melihat wanita cantik di bawahnya menggelepar-gelepar menantikan tindakannya lebih lanjut. Dicelupkannya dua jari ke dalam vagina dan kemudian kedua jari itu dimasukkannya di celah mulut Amalia yang mungil, dengan gerakan sangat menggoda dikeluar-masukkannya disitu.
"Ini air madu kamu, sayang. Pernah nggak suamimu memberikan kesempatan mencicipi air madu kamu sendiri? Pasti manis sekali karena yang empunya juga semanis madu." betapa pandai suami Anika memuji korbannya, karena ia menduga bahwa Amalia adalah wanita yang senang pada rayuan halus.
Kedua pipi Amalia memerah hingga ke telinganya mendengar pujian sedemikian, namun harus diakui olehnya bahwa Hendarto memang pandai merayu, dan memang benar suaminya tak pernah memberikan kesempatan mencicipi lendir kewanitaannya sendiri yang terasa agak sepat manis.
"Sekarang giliranku untuk mencicipi air madu kamu ya, sayang, kamu juga pasti pandai bermain seruling kan?" demikian tanya Hendarto sambil mengubah letak tubuhnya sedemikian rupa sehingga wajah mereka saling berhadapan dengan selangkangan masing-masing.
Amalia merasa sangat malu dan berusaha melengos karena selama ini hanya penis suaminya saja yang pernah ia lihat. Harus diakui bahwa penis Hendarto walaupun berdiameter kurang lebih sama, namun jauh lebih panjang dari milik Sutejo, suaminya, disertai dengan pembuluh-pembuluh darah yang menonjol indah.
Sementara Amalia masih ragu dan melengos, sebaliknya Hendarto dengan langsung dan tanpa ragu segera membenamkan wajahnya di tengah kebasahan lembah sempit yang sangat memikat di selangkangan Amalia. Dijulurkannya lidahnya ke tengah belahan yang telah mengkilat oleh kelembaban air mazi dan dengan menekan lembut kedua paha Amalia ke samping maka lembah itu makin terkuak lebar. Ujung lidah Hendarto kini menyentuh G-spot serta liang keluarnya saluran kencing, dan ini sama sekali tak diduga oleh Amalia sehingga ia memekik sambil menghentak-hentak berusaha merapatkan pahanya tanpa hasil, lalu tanpa sadar menggenggam penis di hadapannya dan dicekalnya sekuat tenaga.
"Aaaiiihh, oooooohh, To... aku diapain sih? Geli, To... udaaaahhhh! Oooh iyaaaaahh... geliiiii," Amalia menjerit manja, "Nakaaal amat sih kamu, biar nih aku balas... slrrrppp, ssshhhhh, slrrrrrp,"
Pentungan daging Hendarto kini tak hanya dicekal sekuat tenaga, melainkan dijilat-jilatnya turun naik; mulai dari selangkangan yang berbulu lebat, sepanjang batangnya, kemudian kepala berbentuk topi baja dijilatnya penuh kegemasan bagaikan menjilat es krim, diusahakan dikulumnya walaupun tak langsung masuk semua. Amalia berusaha mengatur nafasnya hanya melalui lubang hidungnya yang begitu kecil, mulutnya kini dibuka semaksimal mungkin dan perlahan-lahan penis Hendarto dimasukkannya ke dalam, dibasahkan sebanyak mungkin dengan ludahnya. Masuk... masuk... semakin dalam, hingga akhirnya sebagian besar masuk ke dalam dan menyentuh langit-langit mulutnya.
"Ghhhueeekkk, sssshhhhhh, huuueeeeek... aku nggak kuat lagi, To, barang kamu gede banget sih? Aku nggak sanggup lagi, To... ssssshhhh, slrrrrp..." Amalia hampir saja terbatuk-batuk dan kini hanya berusaha menjilat dan mengulum kepala penis saja tanpa memasukkannya terlalu dalam.
"Hmmmmhh, memek kamu pake parfum ya? Wangi amat sih, Lia... cuppp, slrrrp, wuiih, manis lagi... aaah, masa sih nggak muat? Anika juga semula nggak sanggup, tapi sekarang udah bisa. Leher kamu jenjang gitu pasti sering deep throat kan? Ayo dong, masa kalah sama Anika!" sengaja Hendarto memanaskan hati Amalia karena ia menduga psikis Amalia tak mau kalah dengan saingannya.
Sambil menghasut Amalia agar tak mau kalah saingan dalam soal menyepong, Hendarto pun tak lupa menunaikan tugasnya. Dia semakin ganas menyentuh G-spot mangsanya, menyentuh lubang kencingnya, dan kemudian digigit-gigitnya kelentit Amalia sehingga wanita itu semakin meronta-ronta menggeliat.
Ternyata dugaan Hendarto amat tepat, karena dirasakannya Amalia semakin geregetan mengocok si'otong'nya dan berusaha memasukkan ke dalam mulutnya sedalam mungkin. Perempuan itu menahan nafas, lalu dikeluarkannya lagi rudal yang telah mengeras bagaikan pentungan kasti itu. Amalia merasakan bahwa gejolak geli panas dan gatal akibat ulah Hendarto di vaginanya dan menyebar ke otaknya tak akan mampu lagi ia tahan lebih lama. Ia tak mau kalau dan ingin membalas permainan Hendarto dengan memakai siasat yang pernah dibacanya di buku sex; maka dicengkeramnya batang penis Hendarto sekuat tenaga dalam genggaman tangan kiri. Kuku jari telunjuk tangan kanannya dengan sangat hati-hati digesek-gesekkan di muara lubang kencing Hendarto, digaruknya penuh mesra, kemudian dimasukkannya kembali penis itu sedalam mungkin ke rongga mulutnya.
Didengarnya geraman Hendarto ketika merasakan serangan tak terduga ini, tubuh pria itu agak mengejang, namun kini tak mau kalah : Hendarto menjepit menggesek-gesek klitoris Amalia yang memerah. Bagaikan dua hewan sedang bertarung mengadu nyawa, maka dalam waktu beberapa detik kemudian mereka mencapai orgasme bersama : kedua paha putih mulus Amalia menjepit sekuat tenaga wajah Hendarto ketika denyutan gelombang air mazinya membasahi muka temannya itu.
Di saat bersamaan Amalia merasakan semburan lahar panas di mulutnya yang sedemikian banyak dan tiba-tiba sehingga tak ada waktu lagi untuk mengelak. Untuk pertama kalinya sperma seorang lelaki terpaksa ia tenggak, diaturnya nafas agar tak batuk atau tersedak, dan dirasakannya cairan  kental dengan rasa sedikit asin sepat mengalir turun di kerongkongannya. Amalia berusaha menahan rasa mual karena hal ini baru pernah dirasakannya pertama kali, dan karena belum 'mahir' disertai banyaknya maka terlihat ada yang menetes keluar di sudut mulutnya yang mungil.
Ketika semburan sperma telah dirasakannya berhenti, Hendarto menarik penisnya keluar dan tanpa ragu diciumnya mesra bibir merah Amalia yang masih setengah terbuka agak terengah-engah itu.
"Hmmmm, manisnya bibirmu, Lia. Sekarang malahan ada rasa yoghurt alamiah, cuuupp, hmmm..." puji Hendarto sambil menciumi mulut Amalia yang basah dengan aroma campuran ludah wanita dan sperma, pujian yang menyebabkan wajah sang putri ningrat kembali merah padam.
Namun ia membalas ciuman mesra bekas teman sekolahnya itu terutama ketika ia rasakan tubuhnya mulai ditindih oleh Hendarto. Jari-jari kanan Hendarto merangkuh tangan kiri Amalia, ditekannya ke sofa di samping wajah yang ayu pasrah, sedangkan tangan kiri Hendarto kembali memegang pergelangan tangan Amalia dan dituntunnya ke bawah untuk mencekal penisnya yang tetap keras mengacung.
Sambil mengocok-ngocok dengan perlahan, Amalia yang mengerti apa kemauan Hendarto dan dibantu pula oleh keinginannya melanjutkan permainan terlarang itu, segera mengarahkan penis sang kekasih ke arah selangkangannya. Dia lebarkan kedua pahanya sejauh mungkin sehingga bibir kemaluannya yang telah basah kuyup akibat rangsangan Hendarto agak menguak.
Tak sukar bagi Amalia meletakkan kepala pentungan daging itu di tengah celah surgawinya karena daerah itu masih terasa amat panas dan gatal. Dengan elahan nafas panjang Amalia merasakan kepala penis temannya telah terjepit diantara bibir vaginanya, setelah mana dengan rasa tak sabar ia menantikan hunjaman Hendarto.  Rupanya memang Hendarto ingin membuat nyonya cantik berdarah keraton ini blingsatan, ia ingin melihat bagaimana wanita kelas ningrat meminta, memohon dan meratap ingin dipuasi.
Karena itu Hendarto sengaja tak langsung melesakkan senjatanya ke dalam vagina Amalia, penis panjangnya tetap hanya bertengger diantara bibir vagina Amalia, sesekali menggesot ke atas menyentuh dan menggosok kelentit Amalia yang telah membengkak dan sangat peka. Hendarto kini mencekal dan menekan kedua pergelangan tangan langsing mangsanya di atas kepala. Wajah Amalia tampak tak sabar dan frustrasi menantikan kepuasan yang tak langsung diberikan, kepalanya menggeleng-geleng ke kanan dan ke kiri, sementara napasnya semakin cepat mendesah. Amalia menggigit bibir bawahnya dan kini berusaha merangkulkan kedua betisnya ke pinggang Hendarto sambil menekan ke bawah, sedangkan pinggulnya sendiri diangkat-angkat, sebagai tanda seorang wanita ingin lekas dikuasai.
"Kenapa, Lia sayang, kamu nggak sabar ya? Bilang dulu mau apa, kamu minta diapain? Ayo, jangan malu-malu. Bilang dulu, mas Darto, aku pingin di...., nah pilih sendiri kata-katanya." Hendarto semakin menggoda penuh kepuasan melihat Amalia telah tak sanggup menahan dirinya.
Amalia hanya menggeleng-gelengkan kepala sementara pipi dan telinganya semakin merona merah, agaknya masih segan dan jengah untuk meminta sang teman guna menyetubuhinya.
Mengetahui bahwa pertahanan Amalia telah sangat tipis, maka Hendarto kini mencekal kedua nadi mangsanya hanya dengan satu tangan kanannya yang sangat kuat, sedangkan tangan kirinya mulai memilin dan mencubit bergantian puting payudara Amalia, sementara bibir Amalia kembali diciumnya dengan amat ganas, lidahnya menerobos ke dalam dan menyapu langit-langit menyebabkan rasa amat geli.
Semua serangan bertubi-tubi itu akhirnya menjebol pertahanan rasa jengah dan malu Amalia, dan dengan suara yang sangat merdu terdengar di telinga Hendarto si nyonya cantik ini mendesah-desah sambil mencoba menggigit bahu sang pejantan yang tengah menguasai dirinya itu.
"Ohhh, To... kamu jahaaat. Jangan siksa aku begini dong! Oooooh, To... masukin anumu itu, aku nyerah! Aku pasrah, To... puasi aku! I-iyaaaah, To... teruuuuuuuus, masukiiin ke dalem... ooooh iyaaaaaahh..." Amalia lupa segalanya, lupa rasa malu, hanya keinginan dikuasai dan ditaklukkan seorang pejantan.
Mili demi mili Hendarto kini menekan, membelah dan menjarah celah surgawi teman sekolahnya itu, memang licin namun sangat hangat, berdenyut-denyut seolah memijit alat kejantanannya.
Dengan gerakan tarik dorong dan maju mundur, secara ritmis Hendarto semakin lama menjelajah dan akhirnya sang kepala jamur menyentuh mulut rahim yang sangat peka, setelah itu barulah ia menghunjam dengan gemas. Untuk Amalia terasa hantaman itu seolah mendesak ke ulu hatinya.
"Aaaaah, ooooh, To... iyaaaah, aaauuuuuuw, pelaaaan-pelaaaaan... aaauuuuw, ngiluuuuu, To... pelaaan-pelaaaan doong... aaaauuuuuw, ngiluuuu, sakiiiiiit, ooooh iyaaaaah, teruuuuuusss..." Lia menceracau.
"Ngilu tapi enak kan, sakit sakit tapi nikmat kan, sayang? Aku cepetin lagi ya jedug-jedugnya, kamu pasti ketagihan!" Hendarto sengaja mengubah ritmenya, dipercepat, kemudian agak lambat, lalu kembali dihunjamnya sekuat tenaga mulut rahim Amalia sehingga si cantik menjerit-jerit kesakitan.
Karena terlihat Amalia telah menerima sepenuhnya semua tindakan yang ia lakukan, maka kini Hendarto melepaskan cekalannya di pergelangan tangan Amalia. Namun tak diduganya justru saat ini dipergunakan oleh si manis pemilik beauty salon itu untuk membalikkan tubuhnya sehingga ia berada dalam posisi di atas, rupanya Amalia senang dengan bercinta "woman on top".
Setelah berada di atas, rupanya Amalia ingin membalas karena kini kedua tangannya memegang nadi Hendarto dan diletakkan di atas kepala yang beberapa saat lalu baru saja dicukurnya. Setelah itu Amalia dengan ritmis menaik-turunkan tubuhnya yang sedang ditancap oleh lembing daging sang kekasih, ditundukkan wajahnya dan diciumnya Hendarto dengan penuh kemesraan.
Semua itu tak diduga oleh hendarto, tak disangkanya bahwa seorang wanita terlihat alim shalihah dan keturunan keraton memiliki nafsu yang tak kalah dengan istrinya sendiri, Anika.
Sebaliknya bagi Amalia percintaan terlarang ini merupakan pengalaman baru yang tak pernah diduga sebelumnya, pernikahannya dengan Sutejo berjalan sangat harmonis, juga di dalam urusan seks ia cukup memperoleh nafkah. Suaminya sangat mencintai dan memperlakukannya bagaikan barang porselen pecah belah dan si priyayi ini selalu bertanya di saat mereka bersanggama apakah ia tidak menyakiti istrinya , semuanya berjalan rapih teratur, bagaikan ritual yang selalu harus diikuti.
Kini Amalia dirajah dan dikuasai oleh teman sekolahnya dulu yang tak diduganya akan berani membawanya ke dunia syahwat badaniah, ke dunia nafsu birahi tanpa batas apapun, sakit dan ngilu adalah termasuk di dalam lezatnya hidangan seks sebagaimana nikmat dan ekstase. Keduanya kini telah tenggelam di dalam gelombang nafsu hewaniah, mereka seolah tak kenal waktu tempat dan batas apapun, mereka bergelut bergulat dan mendengus terengah-engah bagaikan hewan sekarat.
Setelah sekitar tiga perempat jam keduanya telah basah kuyup mandi keringat dan bergonta-ganti posisi sehingga akhirnya Hendarto berada di belakang Amalia yang menungging. Dalam posisi ini maka dirasakan Amalia betapa dalamnya hunjaman penis Hendarto, menyebabkannya amat ngilu namun nikmat tak terhingga. Lengking jeritan histeris Amalia bercampur dengan geraman jantan Hendarto merupakan tanda bahwa keduanya mengalami badai gelombang orgasmus bersamaan.
"Ooohhhh... iyaaaa, To, aku tak tahaaan lagi... auuuuuw, aku keluaaaar... akuu pipiiiiiss... ooooh, Tooo... aaaaaauuuuww, kamu nakaaaaaal... aaauuuuuuww!!" Amalia berontak dan kejang sekuatnya ketika Hendarto menyemburkan spermanya sambil dengan amat nakal menusukkan jari tangan kirinya sejauh mungkin di anus Amalia yang perawan, hal mana selalu dilakukannya dengan Anika.
Sepuluh menit kemudian keduanya masih berpagutan mesra dengan tubuh mandi keringat, lalu perlahan-lahan bangun menuju kamar mandi. Mereka menikmati guyuran air dingin di bawah douche, kemudian berpakaian kembali seolah-olah tak ada apapun yang terjadi sebelumnya.
Sambil pamitan mereka berciuman mesra bagaikan dua kekasih yang berat untuk berpisah, di saat mana Hendarto berbisik mesra, "Lain kali disambung lagi lebih lama ya, sayang ?"
"Udah ah, cukup sekali. Ntar jadi kebiasaan, nggak baik. Kalo ketahuan nggak baik," sahut Amalia, tapi sinar matanya terlihat ceria menandakan bahwa ucapannya tidak mencerminkan isi hati.
“Ah, jangan begitu dong. Kamu bohong, ngaku aja deh. Eh, tadi jariku masuk ke anu-mu kok teriak histeris gitu, kamu disitu masih perawan ya?" Hendarto bertanya iseng sambil dengan nakal tangannya mengusap-usap pinggul sekal bahenol kekasihnya, dan mendadak jari telunjuknya kembali berusaha menyelinap di celah pantat Amalia, menyebabkan si cantik menggelinjang melepaskan diri.
"Nggak enak, nggak boleh kamu nusuk-nusuk ke situ, pemali tahu. Mas Tejo aja nggak pernah main kaya kamu, dia sopan santun mainnya, nggak kaya kamu." Amalia pura-pura melengos sambil cemberut.
"Oke dah, ketahuan jadinya pantat kamu masih perawan. Lain kali aku jebol mau ya?" Hendarto berusaha menangkap dan memeluk kembali Amalia, namun perempuan itu mengelak dan mendorong.
"Nggak, nggak mau, nggak boleh main disitu. Itu bagian terlarang total, lagian pasti sakit sekali. Udah, pulang sana. Nih, kamu hampir lupa lagi map yang dipesan istrimu. Kalau mau main di situ, sama Anika aja. Kamu tahu kan aku dari dulu paling nggak tahan sakit." Amalia menyerahkan map berisi pelbagai formulir yang pagi tadi ketinggalan oleh Anika setelah set rambut di salon.
"Oke, kamu jadinya janji lain kali boleh aku mampir di situ, aku ajarin deh supaya nggak kerasa sakit." Hendarto berjalan ke arah mobilnya sambil mengerling penuh arti dan kebandelan.
Amalia hanya mencibirkan bibirnya yang manis lalu menjulurkan lidahnya, sesuatu yang tak lazim dilakukan oleh seorang wanita dengan derajatnya, namun ia tak perduli - sejak hari itu Amalia telah berubah.

TAMAT
loading...

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Asmara di Salon dan Spa "

Posting Komentar